Cerpen : Perihal Tabah Karya Nasrul M. Rizal
Oleh:
Nasrul M. Rizal
Dalam
hati aku memaki Bu Tini. Tanpa ampun ia mencorat-coret skripsi yang susah payah
aku revisi. Entah hobi atau sekadar menguji, yang pasti Bu Tini selalu
melakukan hal itu ketika membimbingku. Entah karena Bu Tini yang terlalu pintar
atau aku yang terlampau bodoh, hampir dua semester tiket sarjanaku belum beres
juga. Jujur saja aku mulai lelah.
Aku
sudah mengikuti kemauan Bu Tini. Mencatat apa pun yang keluar dari bibirnya.
Tapi tak kunjung ia acc skripsi itu. Ia
mencorat-coret bab satu. Katanya latar belakang masalah tidak sesuai dengan
judul dan rumusan masalah tidak jelas. Lebih parahnya skripsiku itu dibilang
tidak layak. Mirip dengan makalah anak SMA. Hal ini yang membuatku bingung.
Padahal sudah sampai bab tiga masih saja bab satu direvisi. Padahal bab satu
itu sudah direvisi berkali-kali tetap saja salah di mata Bu Tini.
“Kamu
serius mau lulus?”
“Iya
Bu.”
“Kenapa
bikin skripsi macam gini.”
“Maaf
Bu.”
“Maaf
maaf maaf mikir!!” bentak Bu Tini.
Dadaku
sesak. Sabar sabar sabar. Orang sabar
disayang Allah, dalam hati aku melapalkan kalimat itu.
“Ini
perbaiki lagi!” dengan kasar Bu Tini menyerahkan draf skripsi yang penuh dengan
corat-coret.
Aku
menatap perempuan paruh baya itu dengan tatapan nelangsa
“Bu
untuk bab tiga bagaimana?” tanyaku terbata-bata.
“Bab
tiga apanya? bab satu juga belum beres!” Perempuan berkacamata itu melotot.
“Iya
Bu,” ucapku tanpa ada perlawanan.
Lengang
beberapa jenak.
Bu
Tini tidak terlalu tua. Usainya sekitar empat puluhan. Tapi ia seorang pelupa yang
akut. Aku ingat betul dua minggu yang lalu ia menyuruhku untuk memperbaiki
metodologi penelitian di bab tiga bukan latar belakang masalah. Atau
jangan-jangan semua dosen pembimbing memang pelupa, ya?
Bu
Tini melirik jam dinding berwarna cokelat yang menempel tidak jauh dari
mejanya. Pertanda sesi bimbingan sudah berakhir. Aku inisiatif untuk pamit.
Sama seperti bimbingan-bimbingan sebelumnya aku keluar ruangan dengan wajah
kusut.
Di
luar, mahasiswa lain berjajar menunggu giliran. Mereka seperti pasien yang
menanti namanya dipanggil oleh dokter, berharap penyakitnya segera sembuh.
Berbeda dengan dokter, dosen pembimbing tidak selalu menjanjikan kesembuhan.
Tidak jarang malah menambah parah penyakit yang didera. Dan itulah yang terjadi
padaku.
Melihat
wajahku yang kusut mahasiswa yang sedari pagi menunggu menjadi lebih gelisah.
Mungkin mereka takut senasib denganku. Bergadang berhari-hari demi merevisi
skripsi, sewaktu bimbingan diapresiasi dengan corat-coret dan bertambah banyak
apa yang harus direvisi. Kebanyakan mahasiswa yang menunggu adalah adik
tingkatku. Jadi tak ada satu pun yang berani menyapa. Bukan karena tidak ada
yang kenal, tapi mereka sudah paham, bertanya bagaimana hasil bimbingan hanya
akan membuat rasa kecewa semakin mendalam.
Aku
memutuskan langsung pulang ke kosan. Berlama-lama di kampus hanya akan
mempertegas harapanku yang pupus. Tinggal menghitung hari, Juni berganti Juli.
Lagi dan lagi aku gagal mengikuti sidang skripsi. Lagi dan lagi aku harus
menambah semester. Lagi dan lagi aku harus legowo mendapat predikat mahasiswa
abadi. Awan benar-benar mengerti keadaanku. Tinggal menunggu waktu ia akan
menumpahkan kesedihannya. Menangisi seorang lelaki yang untuk kesekian kali
patah hati oleh skripsi.
Awan
menangis tepat saat aku tiba di kosan. Aku melemparkan tas ransel ke sembarang
tempat, lantas merebahkan badan di atas kasur butut. Air hujan tanpa ampun menghunjam bumi. Sedangkan aku susah
payah mengendalikan diri, supaya tidak ada air mata yang membasahi pipi. Dalam
hati lirih kuberkata, Ya Allah apa yang
harus aku lakukan? apa yang harus aku katakan pada Mamah dan Bapa. Mereka pasti
kecewa. Tapi apalah daya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Teringat Mamah dan
Bapa di rumah, pertahanan diriku porak poranda, air mata berguguran begitu
saja. Menghujani pipi. Membanjiri luka di hati. Mah, Pa, maafkan anak sulungmu yang terus menerus mengecewakanmu.
Maafkan anakmu yang selalu menyusahkanmu.
***
Aku
terperanjat, bergegas mencari handphone,
megusap layarnya, lalu pergi ke kamar mandi. Aku bangun di penghujung salat
Ashar. Boleh jadi karena sudah dua hari terakhir bergadang, dan hujan membantu
untuk membalas dendam. Tidak tanggung-tanggung aku tidur selama empat jam. Betapa
bodohnya aku mengakhirkan salat.
Selesai
salat aku mengambil handphone,
membaca beberapa pesan yang masuk di whatsapp.
Perhatianku tertuju pada salah satu pesan.
Deni gimana
bimbingannya tadi? Ibu tidak marah-marah, kan?
Andai
saja pesan ini bukan dari Andini pasti sudah kuhapus. Malas sekali rasanya
membahas bimbingan. Tapi Andini pengecualian, pesan apa pun yang ia kirim pasti
aku balas.
Seperti biasa An.
Belum ada titik terang.
Eh maaf ya baru
bales. Aku ketiduran hehe.
Sambil
menunggu balasan Andini, aku membaca grup angkatan. Beberapa temanku yang sudah
lulus mengeluhkan akreditasi jurusan. Katanya akreditasi B tidak cukup bagus
untuk melamar kerja. Temanku yang lain bilang bosan jadi pengangguran. Sisanya
sibuk becanda pengin nikah muda. Baru empat jam aku tidak membuka Whatsapp pesan yang masuk di grup ini
sudah puluhan.
Huu dasar
kebooooo. Tidur mulu.
Duh sabar yaaa. Semoga
di lain waktu hati Ibu terbuka yaaa.
Mangatt Deniiiii.
Sigap
aku membalas pesan Andini.
Tau aja
wkwkwkwkwk.
Bantuin dong An
hihihi
Yokayyy Andini 😊😊
Salah
satu hal yang aku syukuri berkat lamanya dibimbing oleh Bu Tini ialah kenal
dengan Andini. Beberapa kali aku bimbingan di rumah Bu Tini. Di sanalah aku
bertemu dengan Andini. Waktu itu ia memakai baju berwarna merah dan kerudung
hitam. Ia menjawab salam di saat aku mulai frustasi.
“Mau
ke siapa ya?”
Aku
menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan, “Maaf Bu Tini ada?”
“Ibu
ada, tapi kami mau pergi.” jawab perempuan berkulit putih itu.
“Oh
gitu yaa. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
ia tersenyum.
“Saya
Deni, mahasiswa bimbingan Bu Tini,” kataku melihat raut wajahnya yang
kebingungan.
“Aku
panggilin Ibu yaa.”
“Eh
jangan,” sergahku. “Ibu kan mau berangkat. Takutnya marah. Tau sendiri Bu Tini
kan galak.” Aku menutup mulut.
Andini
melotot.
“Nanti
aku kesini lagi aja hehe.” Aku buru-buru pamit sebelum masalahnya bertambah rumit.
Aku
datang lagi untuk kedua kalinya. Hasilnya sama. Bu Tini tidak ada di rumah.
Yang ketiga ada di rumah, tapi cape dan tidak mau membimbing. Aku datang ke
sana bukan tanpa alasan. Bu Tini yang menyuruhku. Mungkin sudah muak melihat
wajahku yang mondar-mandir ke ruangannya. Dosen satu ini memang terkenal dengan
kesibukannya dan kehororannya. Paket komplit bukan?
Nah
di kesempatan ke empat barulah aku bisa bimbingan di rumah. Di waktu yang sama
pula aku memberanikan diri meminta nomor whatsapp
Andini, berdalih untuk menanyakan
keberadan dan kegiatan Bu Tini. Supaya aku tidak bolak-balik. Semakin lama aku
dibimbing, semakin erat pula hubunganku dengan perempuan berlesung pipi itu.
Ya, Andini putri bungsu pembimbing galakku. Lucu bukan?
Aku
asyik chatting hingga cacing
diperutku berdemo, lapar. Aku bilang ke Andini mau mencari makan di warteg
dekat kampus. Biar bisa sekalian salat Magrib di mesjid kampus. Kebetulan
sekarang hari kamis. Ada jadwal pengajian rutin di sana. Aku memilih warteg
mugni. Warteg langgananku ketika akhir bulan. Bukan karena enak, tapi murah
meriah. Makan enak bagi mahasiswa di akhir bulan adalah sebuah keajaiban.
Kosanku
tidak terlalu jauh dari kampus. Butuh sepuluh menit saja untuk tiba di warteg
Mugni. Penjaga warteg sudah paham menu yang aku inginkan; kangkung, telor dadar
dan sambal. Di sebelahku ada tiga mahasiswa. Mereka asik bercengkrama.
Sepertinya mereka mahasiswa baru. Terlihat dari kepalanya yang plontos. Dulu juga
aku sering seperti itu, membicarakan mata kuliah, tugas, dan dosen. Aku
teringat teman-temanku yang sudah wisuda. Tinggal aku sendiri yang menyantap
makanan di warteg paling ramah mahasiswa ini. Sungguh waktu berlalu begitu
cepat.
Aku
menyerahkan selembar uang sepuluh ribu pada Mas Warteg. Lelaki yang selalu
tersenyum itu memberiku satu lembar uang dua ribu sebagai kembalian. Aku
bergegas ke mesjid begitu azan Magrib berkumandang. Seperti biasa mesjid kampus
ramai oleh mahasiswa. Ada yang sengaja berangkat dari kosan, ada yang beres
rapat di selasar mesjid, ada yang baru beres mengerjakan tugas dan ada pula
yang memang tinggal di mesjid kampus terbesar di Indonesia itu.
Pengajian
dimulai. Ada puluhan mahasiswa yang ikut. Duduk bershaf menghadap mimbar. Penceramah hari ini Ustaz Ilyas, ketua
DKM. Aku serius mendengarkan ceramah bertajuk “Rencana” yang disampaikan dengan
serius tapi santai.
“Apa
itu rencana? Siapa yang membuat rencana? Untuk apa sebuah rencana? Kalian pasti
memiliki rencana misal, lulus tahun 2017, kerja, menikah tahun 2020 dan
seterusnya. Semua orang pasti memiliki rencana. Apalagi kita yang berkecimpung
di dunia pendidikan. Di mimbar seminar, di dalam kelas, orang-orang menyuarakan
supaya kita membuat rencana. Supaya hidup kita lebih jelas dan terarah.
Lantas
bagaimana jika kenyataan tidak sesuai dengan rencana? apakah kalian akan frustasi
jika tidak lulus di tahun 2017? stres belum bekerja? dan putus asa tidak
kunjung menikah? Menyalahkan, memaki dan membenci orang lain? atau
jangan-jangan mengutuk takdir. Jika kalian melakukan hal itu, berarti tidak
mengerti hakikat dari sebuah rencana.”
Aku
menunduk, merenungkan perkataan Ustaz Ilyas. Ini merupakan sindiran keras
untukku.
“Hakikatnya
manusia hanya bisa berencana. Perihal terlaksana atau tidak itu kuasa dari
Allah. Jika terlaksana maka yang harus dilakukan ialah bersyukur. Dan jika
tidak maka tabahlah, bersabarlah. Kuncinya satu. Berprasangka baik pada Allah.
Apa pun yang terjadi, jika kita menyerahkannya pada Allah, itulah yang
terbaik.”
Aku
bersyukur malam ini bisa ikut pengajian. Setelah mendengarkan perkataan Ustaz
Ilyas aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku pulang ke kosan, langsung
istirahat. Beberapa hari ke depan aku memutuskan berhenti mengerjakan skripsi,
rehat dari penat.
***
Aku
menemui Bu Tini dijadwal yang sudah ditentukan, kamis di minggu terkahir.
Kuserahkan draft skripsi yang telah direvisi. Semoga bimbingan kali ini tidak
seperti bimbingan sebelumnya.
“Ini
perbaiki lagi,” ucap Bu Tini sambil menunjukkan halaman yang ia coret. “Setelah
diperbaiki kamu langsung penelitian lapangan, kerjakan Bab empat.”
“Iya
Bu, terima kasih.” Aku tersenyum. Bimbingan kali ini ada kemajuan.
Malam
hari aku langsung revisi. Tak lupa kukabari Andini kabar gembira ini. Dia ikut
bahagia, mengucapkan selamat dan memberi semangat. Sebentar lagi skripsiku
kelar. Kalau lancar satu atau dua bulan lagi selesai. Di bulan ke tiga bisa
ikut sidang ujian skripsi. Aku kian bersemangat.
Penelitian
lapangan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa sekolah menolak dengan
alasan sedang PTS. Sisanya berdalih sudah banyak yang penelitian di sana.
Sekolah yang menerimaku pun memberi data yang tidak lengkap. Pilihanku hanya
dua, mencari sekolah baru atau menunggu PTS beres. Benar-benar pilihan yang sulit.
Perkiraanku
meleset. Butuh lima bulan, sejak Bu Tini mempersilakan penelitian lapangan,
untukku merampungkan skripsi. Aku mencetak rekor di angkatanku sebagai
bimbingan paling lama. Sungguh melelahkan. Tapi lamanya bimbingan ternyata membuahkan
hasil. Aku lulus sidang skripsi dengan nilai memuaskan dan minim revisi. Karena
hal itu aku sangat berterima kasih pada Bu Tini.
Perjalananku
menuju sarjana belum berakhir. Jurusanku melakukan akreditasi lagi. Ini
membuatku harus menunda wisuda. Jika wisuda di gelombang pertama, saat
akreditasi kadaluarsa, itu sama saja dengan bunuh diri. Tentu saja sulit untuk
kerja. Di sisi lain mencari kerja menggunakan surat keterangan lulus sama
sulitnya. Lagi dan lagi aku harus tabah.
Andini
memberi saran, sambil menunggu wisuda lebih baik mempersiapkan diri untuk
mengikuti CPNS. Kabarnya pertengahan tahun akan ada CPNS formasi guru. Aku
pikir tidak ada salahnya. Daripada energi habis untuk mengumpat keadaan, lebih
baik memanfaatkan waktu yang ada. Aku habiskan waktu mencari tahu, mempelajari,
dan berlatih soal-soal CPNS.
***
Aku
kembali teringat perkataan Ustaz Ilyas dulu, saat pengajian di mesjid kampus. Kuncinya satu. Berprasangka baik pada Allah.
Apa pun yang terjadi, jika kita menyerahkannya pada Allah, itulah yang terbaik.
Hari ini aku membuktikannya. Andai tidak dibimbing Bu Tini, aku tidak akan
kenal dengan Andini. Andai skripsiku tidak lama, aku tidak akan paham perihal
perjuangan dan tabah. Andai wisuda tidak ditunda, aku tidak akan lulus dengan
akreditasi A. Andai saja ketika menunggu wisuda aku hanya mengutuk keadaan,
saat ini aku tidak akan menjadi apa-apa.
Aku
menemukan jawabannya sekarang. Jalan berliku penuh luka yang harus kulalui
adalah yang terbaik untukku. Kesulitan yang kuhadapi semata-mata untuk menguatkanku.
Bu Tini, yang sempat aku benci, kini menjadi mertuaku. Saat menerima lamaranku
ia bilang, menghadapi ibunya saja mampu, apalagi menghadapi anaknya. Dan kabar
yang paling membahagiakan, sekarang aku menjadi guru PNS. Aku tidak merasakan
pedihnya menjadi pengangguran dan sulitnya mencari pekerjaan dengan akreditasi
B. Sepahit apa pun masalah, sepelik apa pun cobaan, semua itu akan menjadi
berkah kalau kita tabah menghadapinya. Aku sudah membuktikannya! []
Biodata Penulis
Nasrul
M. Rizal lahir tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Selain mengajar Ekonomi,
lelaki jangkung ini pun sering menulis cerpen. Penulis yang Menangis (2017)
adalah buku kumpulan cerita pendek pertamanya. Cerpen lainnya dipublikasikan di
beberapa antologi bersama, Pikiran Rakyat, Harian Medan Pos, Apajake.id,
majalah googirl (online), islampos.com dan media daring lainnya. Bisa disapa melalui email mr.nasrul19@gmail.com.
Cerpen : Perihal Tabah Karya Nasrul M. Rizal
Reviewed by Redaksi
on
April 07, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar