Cerpen : Pertemuan Kembali
Seperti naga biru yang meliuk-liuk melintas karpet
rerumputan hijau ... hingga akhirnya berakhir di laut timur.
—Michael
Wicaksono
Setelah beberapa bulan menetap di pulau seberang,
akhirnya dia bisa kembali menuju tempat kelahirannya. Setelah menghabiskan
beberapa hari bersama keluarga, dia menghubungi sahabat dekatnya, yang ingin
dia temui kembali setelah pengasingan yang cukup lama itu. Akhirnya mereka
sepakat untuk bertemu di alun-alun kota, pada suatu siang di bulan Desember.
Sesampainya mereka bertemu, mereka bersalaman, berpelukan
dan saling menanyakan kabar. Barulah mereka duduk.
“Pesan apa?” tanya tokoh kita kepada temannya, seorang
laki-laki yang tingginya sama persis dengannya.
“Ikut saja.”
Mereka pun memesan dua gelas es jeruk.
Tak lama kemudian, setelah mereka membicarakan banyak
hal, seorang perempuan mendekat. Awalnya, tokoh kita berpikir bahwa perempuan
tersebut mungkinlah seorang sales,
karena dandanannya yang rapi. Ternyata tidak.
“Kenalkan, ini pacarku.”
Tokoh kita terkejut, namun dia menerima jabatan tangan
perempuan tersebut. Parfum semerbak menyeruak ke otaknya.
“Salam kenal.” Kata mereka berdua—si tokoh kita dan si
perempuan—bersamaan; mereka tertawa canggung juga hampir bersamaan. Faktanya,
perempuan tersebut hanya menghampiri si lelaki—teman tokoh kita—untuk
menyatakan kepergiannya.
“Saya ada kuliah hingga jam empat sore. Tak apa anda
menunggu disini?” tanya si perempuan dengan nada lembut. Teman tokoh kita
mengangguk, dan si perempuan mencium tangan si lelaki. Perempuan itu pun pergi
memesan taksi.
“Kau beruntung sekali,” kata si tokoh kita, “mendapatkan
perempuan sebaik dia.”
Teman tokoh kita langsung menoleh ke tokoh kita, yang
sebelumnya memperhatikan pacarnya.
“Oh iya? Bagaimana bisa?”
“Itu rahasia. Yang jelas, kau sangat beruntung, teman.”
Mereka berdua tertawa, lalu bersulang.
“Jadi, bagaimana perjalananmu?”
“Pengasinganku, maksudmu?”
Mereka berdua tertawa, bersulang kembali. Si teman tokoh
kita mengangguk.
“Itu perjalanan yang panjang.”
Sebenarnya, yang mereka maksud—juga yang tokoh kita
maksud—dengan ‘pengasingan’ bukanlah proses pengasingan seseorang dari
tempatnya sendiri, karena kesalahannya atau semacamnya. Dia memutuskan
pengasingan itu sendiri, karena pada suatu hari beberapa tahun yang lalu, dia
merasa tak lagi menemukan semangat dalam hidupnya. Dia pergi ke kampung halaman
ayahnya, yang jauh dan cukup tertutup dari orang-orang kota—karena minimnya
ketahuan orang luar dan ketertarikan mereka mengunjungi pulau tersebut—dan juga
memastikan dirinya tak memiliki kontak dengan orang luar pulau tersebut. Dia
tak membawa telpon atau alat komunikasi; dia bersurat ke keluarganya ketika ada
perlu atau rindu kampung halamannya. Di desa kecil tempat ayahnya dilahirkan
dia beradaptasi dan dan menyesuaikan diri, melambungkan imajinasinya dalam
buku-buku karya pemikir terkemuka seperti Machiavelli Peppicero; juga dia mendalami karya-karya sastra yang memukau
seperti Don Quixote, puisi-puisi
Wordsworth, serta karya-karya penulis-penulis yang namanya tak terlalu tercatat
pada sejarah kesusasteraan. Dia telah mempelajari banyak hal, yang dia ragukan
bisa dia ketahui dengan menetap di kota yang sekarang dia kunjungi lagi. Dia
juga bertemu dengan seorang perempuan, yang mengagumi hal yang sama dengannya: filsafat dan sastra; mereka sering berdiskusi dalam jam-jam yang cukup lama. Itu
tak mengherankannya, sebenarnya, bahwa ada seorang perempuan desa yang
mempunyai pengetahuan cukup tinggi tentang bidang tersebut, karena beberapa
orang sudah sadar bahwa memaksa seorang perempuan untuk tak jauh dari dapur
adalah ketololan yang nyata. Dia bangga, dalam konteks yang nyata, dalam
pertemuan fisikal yang sayangnya
sangat singkat, dia benar-benar bertemu dengan sesosok Kartini: seorang
perempuan yang mendobrak tradisi lama, dan berani mengambil hak yang memang
seharusnya dia miliki. Perempuan itu juga mengantarnya ketika dia berpamitan
pergi. Terakhir kali tokoh kita melihat perempuan itu, ialah ketika perempuan
cantik itu melambaikan tangannya di dermaga. Setelah itu yang dia lihat
hanyalah horizon, dan laut yang tak ada batas. Dia menceritakan seluruh
pengalamannya di pulau itu kepada temannya, hanya bagian-bagian yang penting.
“Hanya itu? tak ada perempuan yang kau sukai dan
semacamnya?”
“Wah, itu rahasia.”
“Oh, kenapa rahasia?”
“Karena beberapa hal sebaiknya memang tak diceritakan.”
Mereka tertawa bersama lagi, bersulang.
Tokoh kita melihat kelakuan temannya. Dahulu, dia
mengenalnya karena kebetulan di sebuah seminar tentang budaya dan pengaruhnya
terhadap kepribadian perseorangan. Dari sana mereka semakin akrab, dan menjadi
teman dekat. Lelaki itu dulu bringar sekali sikapnya. Tokoh kita masih ingat
ketika pada suatu hari dia bersama temannya menyaksikan sebuah kecelakaan.
Tokoh kita bergegas menolong korban tabrakan itu—seorang perempuan
cantik—sedang temannya itu hanya diam saja.
“Kau bodoh!” kata teman kita. “Kenapa kau tak bantu?”
“Kau tak tahu—diam saja. Dia mantan pacarku.”
“Lalu?”
“Mantan itu bekas,” kata temannya itu, beberapa tahun
sebelumnya, “dan sebagaimana barang bekas, tidak perlu kita pedulikan lagi.
Lihat? Aku hanya berpikir rasional. Aku hanya memperlakukannya sebagaimana dia
harus diperlakukan.”
Tokoh kita tampak tenang, mengangguk santai seolah
menerima pernyataannya begitu saja; namun di dalam hatinya dia tak terima, dan
sejak itu dia berpikir bahwa temannya memang tolol. Apakah temannya itu
berpikir bahwa dia sudah cukup memberi mantan pacaranya itu uang, sebagaimana
yang telah dihabiskan oleh orang tua si perempuan sejak perempuan itu masih
bayi, sehingga temannya yang tolol itu dengan santainya menyebut perempuan yang
baru saja si tokoh kita tolong, dengan sebutan “barang bekas”? Dia hanya
berharap bahwa lelaki itulah satu-satunya lelaki tolol yang berpandangan demikian.
Semoga dia tak menemukan teman lain yang berpandangan serupa, karena satu saja
sudah bikin muak.
Kini, dia bersama temannya yang memuakkan itu. Tokoh kita
berpikir, dari cara temannya kini berujar, bertingkah dan berkata, kemungkinan
temannya itu telah tumbuh lebih dewasa. Beberapa orang memang butuh waktu cukup
lama untuk menemukan kebijaksanaan sejati, dan mulai menggunakan akal sehatnya.
Tokoh kita melamun, dan lamunannya buyar ketika temannya
menepuk meja yang ada di depan mereka.
“Hey lihat, disana. Itu. Perempuan yang ada di sana.
Lihat?”
Tokoh kita mencari-cari kepada siapa telunjuk temannya
mengarah, hingga akhirnya dia menemukan seorang perempuan berkaos merah, celana
ketat hitam, dan sepatu putih khusus olahraga.
“Perempuan berpakaian merah itu? ya.” Sahut tokoh kita.
“Kemarin lebaran dia ke rumah, silaturrahmi. Ketika
kutanya kenapa dia datang, dia menjelaskan bahwa tak ada gunanya memutus tali
silaturrahmi.”
“Memang betul, kurasa.”
“Ah, kau tak tahu dia. Dia itu rubah. Itu bukan maksudnya
yang sebenarnya. Dia ingin mengajakku menjadi pacarnya kembali.”
Tokoh kita mengangkat alisnya, berpaling ke temannya.
“Bagaimana bisa? Dia bilang begitu?”
Temannya menggeleng. “Batinku yang berkata begitu, tapi
jelas aku menolak terang-terangan—dalam batinku juga—mengingat dia itu
mantanku.”
Tokoh kita tahu kemana arah pembicaraan temannya.
“Aku pernah bilang padamu, kan? Mantan itu ibarat barang
bekas, dan aku tak pernah tertarik untuk memungut ulang barang bekas. Aku hanya
memperlakukannya sebagaimana seharusnya.”
Persis, pikir tokoh kita. Kejadiannya hampir persis
seperti yang terjadi tahun-tahun yang lalu, begitu pula yang dikatakan si
temannya itu. Beberapa orang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendalami
logikanya sendiri, juga mencapai kebijaksanaan. Namun beberapa lainnya, pikir
tokoh kita, justru lebih memilih terpuruk dalam ketololannya sendiri, menolak
sebuah kemungkinan bahwa apa yang dipikirkannya mungkin mengandung kesalahan.
Tokoh kita tak sabar untuk pulang ke rumahnya. Dia mencari-cari alasan untuk
pulang.[]
Situbondo, 25 April 2019
Cerpen : Pertemuan Kembali
Reviewed by Redaksi
on
Mei 19, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar