Puisi : Levhicausta Karya Nurillah Achmad
Keliru Menyamakan
Cemburu dan Diam
Aku
malu-malu menyatakan betapa
keliru
menyamakan cemburu dan diam
bagiku,
murung bertemu bingung
adalah
keriuhan yang tak mesti dimulai
aku
malu-malu mengungkapkan jika
cemburu
mesti pura-pura diam
padahal
saat punggungmu bersandar di pepohonan
dadaku
bergetar-getar ingin menebang
dongeng
yang dimulakan
kini, aku
takkan malu memasang tampang
sekali saja
dedaun itu bersinggungan dengan tubuhmu
kutinggalkan
dan kutanggalkan rahasia pohon yang
gemar
menimang buah orang
Levhicausta
; jiwa-jiwa
tertambat makna
Terbayang
syair abu nawas lewati petang sebentar
beraroma
kenakalan saat sembunyi di hammam
menghindari
genangan amarah guru Adel dan Indah
yang dari
kedua bibirnya menjura amuk merah yang luas
dicampur
kasih abu-abu turun dari atas
dan kita
memainkan sulap muslihat
yang
dipelajari dari kakak tingkat
kini,
ketika tarhim menjerumuskan aku ke dalam rindu sekecil lubang jarum
adegan masa
lalu tiba-tiba bertakbir
Allahu
akbar
Allahu
akbar
tujuh kali
semakin kukibaskan
suaranya agar tak sekarat menahan pertemuan
makin
kencang ia menyoraki perpisahan
Allahu
akbar
Allahu
akbar
semoga kita
tetap bermadah persahabatan
MahaGuru
; Alm.
Kiai. M. Idris Djauhari
Pada
perasaan paling senyap
tak ada
dekat yang bisa dijangkau
kecuali;
suara doa keluar dari pertemuan lama
ikuti irama
air mata yang bersibantun ke utara
tapi di
sini tak ada doa baru
beribu-ribu
dosa menyembunyikannya di batu
lalu
bagaimana aku menyapamu, MahaGuru
ini pukul
delapan pagi
harusnya
kau di depan kami
berjalan
bersanding tongkat
gemetar
kakimu menahan kami tak bernafas
sebab redup
suaramu pas di telinga, mantap di hati
Hari Terakhir
Mencintaimu
Jika ini
hari terakhirku mencintaimu
putarlah one million years seperti memutar
ceramah
di bulan suci
ikutlah
menyanyi seraya mendengar kisah-kisah lama
sebab ia
hanya ada di masa lalu bukan masa kini
biarkan
nada mayor dan minor mengusung melodi
-yang
barangkali tak lebih dalam daripada rasa di dada
Mari,
lagukan sejarah kita
sebelum
kutukar segumpal doa dengan salam pembuangan
sebelum kau
kulepas ke matahari di seberang
Rindu yang terjungkal
Seperti abu
di tumpukan debu, rindu ini melingkari
bebatu yang
randai ke tepi kangai
semakin
malam; senyummu landai timbul tenggelam di pepohonan
saat
matahari menabur titik-titik api
ia menjelma
buih di kali mayang
menggelembung
lalu hanyut terapung
semakin
siang; melindas daun-daun menuju lautan
barangkali
rindu tak bisa menandai hari
mana hati
yang tabah jika belia bibirmu dilipat rapi
di bawah
bantal
iblis pun
terjungkal
menahan
pertemuan yang dieram bermalam-malam
Pada Puisi yang
Sesekali Muncul
Aku kirim
puisi ini pada rindumu yang angin-anginan
biarkan ia
duduk bersisian
sedekat
tulang dan empuk daging
maka aku
akan merubah diri jadi darah mengalir
bila tak
percaya
pahami
setiap penjuru ketemu huruf
ada keburu
berpacu cemburu
ada remang
menunggu tubuhmu yang lampau biru
niscaya kau
saksikan
pangkal
kalimat tak akan mengucap harap
IDENTITAS PENULIS
Nurillah Achmad. Alumni TMI Putri Al Amien Prenduan, Sumenep. Saat ini tinggal di
Jember, Jawa Timur.
Puisi : Levhicausta Karya Nurillah Achmad
Reviewed by Redaksi
on
Mei 05, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar