Home
/
Ahmad Maghroby Rahman
/
Apacapa
/
Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ
Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ
Sebulan
yang lalu saya berkesempatan menonton sebuah pementasan di Teater Salihara yang bagi saya menarik untuk dituliskan. Hal yang
menggugah saya untuk menulis pengalaman ini adalah bagaimana proses menuju
pementesan itu dan apa yang saya rasakan selama pementasan, sangat berkaitan
erat degan apa yang saya pelajari sebagai mahasiswa Antropologi.
Adalah
pementasan dengan naskah yang diadaptasi dari naskah asli, karangan Serafin dan
Joaqun Alvarez Quintero yang berjudul, A
Sunny Morning, yang dipentaskan malam itu. Naskah ini kemudian
diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, penyair yang saya anggap banyak
menginspirasi saya, dengan judul terjemahan Pagi
Bening. Naskah ini dibawakan oleh Padepokan Madura yang berasal dari
Sumenep.
Adaptasi
naskah ini menceritkan Nyai Misbah dan
Kae Maskat yang dulu sebenarnya pernah menjalin asmara. Kae Maskat adalah putra
Kiai di Sumenep yang dijodohkan dengan Nyai Misbah, seorang yang berasal dari
keluarga biasa. Mereka berdua sudah dijodohkan sejak Nyai Misbah dalam
kandungan. Kebetulan mereka memang saling cinta walaupun dijodohkan. Namun,
suatu saat Kae Maskat harus berangkat perang melawan agresi Belanda di
Suarabaya, bergabung dengan pasukan lain. Jadilah Nyai Misbah menunggu lama
kekasihnya yang tak kunjung pulang. Dan akhirnya orang tua Nyai Misbah terpaksa
menikahkan putrinya dengan orang lain, karena takut anaknya menjadi perawan
tua.
Sore
hari sebelum malam pementasan, teman saya yang berasal dari Jember menghubungi
dan mengatakan akan ada pementasan di Teater Salihara oleh Padepokan Madura.
Awalnya saya menolak. Namun teman itu memaksa dan kebetulan saat itu saya
tengah gabut, akhirnya saya mengiyakan ajakan itu. Yang menarik saat saya tanyakan
kepadanya, mengapa hanya saya yang dia ajak menonton pertunjukan tersebut,
mengapa tidak juga mengajak teman lain untuk menonton, ia menjawab “ye pas engko’ tao sè tampil Padèpokan Madhurè,
engko’ langsong ènga’ be’en, polana madhurâ.”
Kami
tiba di tempat kira-kira lima belas menit sebelum open gate. Sambil menunggu, saya duduk merokok sejenak. Lalu,
tiba-tiba teman saya berbicara kepada
saya dengan Bahasa Madura, dengan nada sedikit keras, seolah-olah saya
menangkap kesan, dia ingin suaranya juga didengar oleh orang di sekitar.
“Jhâ’ nying-ranying
rapa, jhâ’ engko’ ta’ kopok,” kata saya.
“Dhina, molè rèng
laèn tao jhâ’dinna’ Rèng Madhurâ, mi’pola bisa kenalan sesama seniman Madhurâ,”
begitu kata dia.
Sepuluh
menit kemudian, pintu dibuka. Kami pun masuk ke gedung pertunjukan. Tak lama
setelah kami duduk, pembawa acara masuk dan membacakan beberapa peraturan yang
harus dipatuhi oleh penonton selama pertunjukan dihelat.
Selamat
menikmati, silah pembawa acara setelah membacakan peraturan.
Tak
lama kemudian saronen dengan suara sengaunya membelah kuping saya dan seisi
ruang yang sesaat sebelumnya masih sunyi. Lalu, hentakan gendang khas Madura
dan suara cempreng salah satu pemain yang menyanyikan lagu khas Madura menyusul.
Tiba-tiba, seakan ada yang membuncah di dada saya, ada yang sesak di dada saya,
ada yang kemudian memaksa memaksa air mata saya melipir di pojokan mata, entah
itu apa. Saat itu, saya tidak tahu perasaan macam apa ini?
Dalam
adegan awal, Nyai Misbah berdialog dengan salah satu cucunya, yang meminta
uang. Dalam pertunjukan ini si cucu tidak berwujud aktor, namun dihadirkan
dalam imajinasi. Sehingga Nyai Misbah hanya bermonolog seakan-akan berbicara
dengan cucunya.
Ghi’ kèni’ la
minta pessè malolo
Apah? Ghebey mellè
sapè
Saya
pun tersenyum geli mendengar monolog itu. Saya jadi teringat dengan kakek saya
di Situbondo yang sejak dulu beternak sapi dan setiap Sabtu pergi menggunakan
truk ke sattoan (pasar hewan setiap
hari Sabtu).
Kemudian,
saya semakin tertawa terpingkal-pingkal mendegar dialog di adegan-adegan
berikutnya. Misalkan, saat adegan Kae Maskat menyuruh cucunya, Junaidi, untuk membuat
kopi. Adegan itu persis seperti adegan saya dan mbah saya: mbah yang bawel dan cucu yang menggerutu.
Cong kopi cong
èngghi…
Cong ai…
èngghi,
engkèn kade’
Cong kopi cong ai
mak…(kali ini dengan sedikit membentak)
Beh engghi engkèn
kaade' ghi’ è gheluy (kali ini dengan jengkel)
Atau
dalam dialog lain saat Kae Maskat menyuruh Junaidi untuk melintingkannya
tembakau. Junaidi dengan jengkel menjawab:
Bhuh jhâ’ la toa,
ghi’arokok
Hampir
di setiap adegan, saya dan teman saya selau tertawa. Padahal ada beberapa
kalimat yang tidak lucu setelah saya pikir-pikir. Mungkin, tertawa saya lebih
seperti kepada kekaguman atau kebanggan: Kok ada kalimat-kalimat itu atas
panggung, di tengah masyarakat Jakarta.
Bahkan, saya dan teman saya seakan-akan sengaja tertawa dengan agak keras dan
seakan-akan ingin mengumumkan pada publik di situ, ya engko’ rèng madhurâ. Uniknya lagi, dalam kegelapan di tribun
penonton, tertawa seakan mempertemukan saya dengan sesama Rèng Madhurâ. Dalam
kegelapan itu saya merasa rasa ke-maduraan saya bangkit, walaupun saya tak
dapat melihat siapa yang tertawa itu? Duduk di sebelah manakah dia? Perempuan
atau laki-laki kah? Tapi yang jelas saya merasa ada rèng madhurâ di sana. Saya menjustifikasi bahwa yang tertawa hanya orang
Madura.
Sesaat
setelah pertunjukan usai, saya mulai berpikir. Mengapa identitas saya sebagai
Orang Madura menguat? Padahal Saya tidak begitu familiar dengan musik tong-tong
dan saronen, begitu juga dengan lagu yang dibawakan yang baru kali itu saya
dengar. Hanya ler-saaler yang agak
familiar dengan saya. Apalagi semenjak kecil, saya dibesarkan di kabupaten
Situbondo, Kabupaten yang ada di Pulau Jawa, bukan di Pulau Madura. Kalau kata
orang: Madura-nya, madura swasta.
Belum lagi, saya bukan dibesarkan di pedesaan Situbondo yang mungkin tradisinya
masih kental dan mirip dengan yang ada di Pulau Madura. Sebaliknya, saya
dibesarkan di daerah kota yang kadar ke-urbanan-nya lebih tinggi dan terlahir
dari ibu Jawa. Tapi, mengapa saya merasakan bahwa itu semua: musik tor-tor dan
suara cempreng pemain itu adalah saya: sebagai Orang Madura? Padahal saya tidak
familiar dengannya.
Dan
mengapa saya dan teman saya menonjolkan identitas kemaduraan saya dengan
bangga? Padahal di Situbondo, perasaaan yang muncul tidak semenyeruak itu,
kerinduan dan romantisme yang saya rasakan tak se-sensasional saat itu? Atau rasa kebermilikan saya terhadap
Madura tidak sedahsyat itu?
Saya
baru tersadar bahwa apa yang saya alami adalah fenomena etnistas yaitu,
menguatnya identitas etnik dan pengartikulasiannya. Di situlah saya menemukan
bahwa sebenarnya menguatnya identitas etnik menyoal tentang situasi kontak
sosial yang di dalamnya terlibat orang dengan kebudayaan yang berbeda. Artinya, menguatnya identitas
ke-madura-an saya sangat berkaitan erat dengan siapa saya berinteraksi. Dalam
konteks ini, saya tengah menonton pertunjukan di tengah penonton, yang saya
asumsikan berasal dari berbagai daerah dengan kebudayaan yang berbeda dari
saya.
Saat
kita berinteraksi dengan lingkungan yang heterogen, kita akan menggali jati
diri kita. Dengan kata lain, lingkungan yang heterogen itu akan mengkontraskan
siapa diri kita sebenarnya. Itu alasannya mengapa etnisitas saya sebagai orang
Madura tidak semenguat saat itu di Situbondo, saat berinteraksi dengan sesama
Orang Madura.
Akhirnya,
dari pengalaman dan refleksi, saya agaknya setuju dengan quotes anak indie yang
berbunyi: merantaulah untuk tahu makna
pulang. Karena dengan merentau dan pergi ke zona yang sama sekali berbeda,
kita akan tahu identitas manakah yang kita anggap sebagai rumah dan oleh
karenanya kita harus pulang kepadanya.
*Ahmad Maghroby Rahman adalah Mahasiswa yang tengah mempelajari Antropologi yang berasal
dari Cappore (kaporan) Situbondo. Sedang giat menulis apapun, puisi terutama. Jomblo dan jika nanti datang waktunya, akan
menjadi suami setia
Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ
Reviewed by Redaksi
on
Mei 15, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar