Bahagia Literasi : Teruslah Mencari
Oleh
: Syaif Zhibond Renk Qobhien
2030
: Kekacauan Awal
12
Bulan yang lalu, kawan seperjuangan saya yang juga aktifis Rumah Paneleh
Situbondo berkunjung ke kampung kami di Desa Sumbernyar untuk berbagi
pengetahuan tentang buku karya A. Dedi Mulawarman. Judulnya 2024 : Hijrah untuk
Negeri; Kehancuran atau kebangkitan Indonesia dalam ayunan Peradaban.
Latar
belakang adanya nyator buku adalah untuk mencari cerita lain dibalik ungkapan
sang calon presiden yang mengungkapkan bahwa 2030 Indonesia akan bubar, yang
katanya itu berasal dari analisa fiksi buku ghost fleet. Jagat politik
Indonesia menjadi ramai memperbincangkan pernyataan sang calon presiden. Tak
terkecuali anak Kedai Coffelosof binaan
bung Rian yang biasa menggembala pikirannya di Literasi Sumbernyar, juga ikut
tervirusi wacana tersebut. Muncul berbagai pendapat yang mendukung dan tak
sedikit menolak soal 2030 Indonesia akan bubar. Para pendukung wacana tersebut
mengungkapkan bahwa Tiongkok saat ini semakin kuat, Amerika Serikat semakin
brutal melakukan serangan perang dagangnya. Tidak menutup kemungkinan suatu
saat akan terjadi perang besar yang memperebutkan teritorial. Indonesia yang
juga sedang menjadi negara berkembang mulai tumbuh perekonomiannya, bisa
saja dihabisi. Baik dari segi ekonomi
ataupun teritorial jika kekuatannya tidak sebanding dengan para negara adidaya
yang rakus dengan kekuasaan.
Namun
ada juga yang membantah bahwa wacana itu tidak mungkin terjadi. Selama masih
bersarang Nasionalisme dalam diri anak bangsa, tak akan dibiarkan sejengkal
tanah pun direbut oleh bangsa Asing. Ekonomi Indonesia semakin membaik, saat
itu tumbuh 5%. Kemungkinan kedepan akan semakin naik sesuai dengan target yang
diharapkan Pemerintah.
Dibantah
lagi oleh pendukung Ghost fleet, bahwa hutang Indonesia semakin besar, dolar
semakin tak terkendali, pangkalan Militer Tiongkok sudah standby di Laut Cina Selatan, Amerika pun sudah mempersiapkan
militernya di beberapa sudut samudra. Tinggal menunggu waktu yang tepat, suatu
saat perang fisik tidak akan terelakkan. Diskusi semakin chaos dengan berbagai macam sudut pandang yang berbeda, antara
pendukung dan pembantah wacana 2030 Indonesia akan bubar.
Tapi
disela-sela diskusi itu, muncul
celetukan yang agak geli. Eh kita ini anak kampung, terpencil, daerahnya
tertinggal lagi. Mana mungkin bisa merubah kondisi negeri yang sangat besar,
apalagi merubah dunia. Buat mengisi perut saja masih menunggu suapan emak. Buka
Medsos masih nunggu setoran belanja paketan dari eppak. Keberatan deh diskusi
yang dibicarakan ini, mending diskusi tentang bagaimana cara memperoleh jodoh
dengan cepat saja. Atau tukar informasi dimana titik-titik gadis gadis manis
yang baik budi berada. Kalau diskusi soal itu, kemungkinan besar akan nyata
hasilnya.
Peserta
lain mengeroyok rame-rame peserta yang mementahkan diskusi soal negara akan
bubar. Mereka bilang, kalau setiap anak bangsa pesimis dan tidak peduli dengan
kondisi negeri saat ini, tidak menutup kemungkinan 2030 Indonesia akan benar-benar bubar. Sambil
meneguk segelas kopi, diskusi berlanjut dengan kesimpulan akhir, kita perlu
mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana kondisi masa depan berdasarkan
analisa-analisa futuristik. Muncul ide mendatangkan Zainul yang saat itu
menjadi koordinator Rumah Paneleh Situbondo. Kita membuat janji, tanggal 3 Mei
2018 disepakati sebagai waktu untuk melakukan kegiatan Nyator Buku.
2024
: Hijrah untuk negeri
Malam
itu, Zainul hadir dengan membawa buku berwarna hitam putih dengan bertuliskan
"2024: Hijrah untuk Negeri". Secara cepat diurai satu persatu poin yang
ada di dalam buku tersebut. Dalam Al-qur’an dan Sunnah banyak cerita dan
analisa masa lalu, masa kini dan masa depan, dan dengan itu penulis buku
melakukan hal yang sama di Indonesia, yaitu melakukan penelusuran masa lalu
sekaligus memandang ke depan, di mana masa kini pasti punya keterikatan di
antaranya. Sejak lama penulis buku memang gandrung pada gerakan-gerakan negeri
dalam konteks diskursus peradaban, karena peradaban adalah kata kunci perubahan
sejarah. Sebagaimana Islam pula, menurut pendapat penulis, rancangan dari
langit bukan untuk menjadi pegangan bagi individu-individu menuju surga saja,
tema seperti itu hanyalah bagian dari desain besar pesan keumatan yang
menyejarah, sebuah keharusan kontekstual untuk diterjemahkan dalam agenda
setiap umat Islam yang memahaminya. Fathul Mekkah 629 M bukan hanya keinginan
diri kanjeng Nabi Muhammad SAW atau dorongan para sahabat untuk menisbahkan
kekuasaan di Jazirah Arab. Fathul Mekkah yang didahului dengan puncak-puncak
peristiwa dari Iqro’-nya nabi Muhammad SAW menerima pesan langit di Gua Hira’;
Isra’ Mi’raj dari dunia menuju langit ke tujuh; Aqabah 1-2 dilanjut dengan
Hijrah ke Madinah; serta kemenangan pertama umat Islam di Perang Badar 624 M;
adalah pesan-pesan yang sarat kekuatan Invisible Hand asali, Allah SWT, demi
menegakkan Izzul Islam wal Muslimin, peradaban manusia yang berkebudayaan
bernilai religiusitas.
Membincang
peradaban juga bukan sekedar menelusuri sejarah tokoh dan peristiwa-peristiwa
penting pada pusat-pusat kekuasaan Yunani, Romawi, China, India, Amerika
Serikat, Amerika Selatan, Jepang, Majapahit, Perlak, Malaka, Demak, Mataram
Baru, Ternate, dan Tidore, serta pusat-pusat kejayaan lainnya saja. Membincang
peradaban juga bukan hanya masalah “makan” dan “kuasa”, ekonomi dan politik saja,
dan dengan itu pula maka peradaban bisa hancur, luluh lantak tak berkeping,
hilang dari sejarah masa kini dan masa depan. Pandangan tentang peradaban
manusia dalam buku ini tidak melihat seperti itu, dan tidak melihat pula bahwa
kemakmuran dalam rentang peradaban sejak manusia muncul, menggunakan pandangan
orientalisme yang selalu meletakkan Timur sebagai ladang milik Barat yang sah
untuk dieksploitasi sesuai kehendak mereka; sedangkan masyarakat di dalamnya
perlu dikasihani dan dituntun menuju perbaikan hidup, dan Barat sekali lagi
adalah dewa penyelamat di dunia Timur; maka dengan demikian, agama, ekonomi,
politik, budaya, dan life style wajib
diimpor dari negeri mereka.
Hak
sosiologis yang dipaksakan Kristen Barat sejak Revolusi di Inggris tahun 1381
setelah didahului kiamat pes “the Black Death”, memicu perjalanan mereka
menyeberangi dunia-dunia baru di luar Eropa, dimulai dari tahun 1500-an, hingga
dipuncaki revolusi Perancis, revolusi Amerika dan lainnya; semua dengan
pertumpahan darah atas nama kemakmuran Kristen Barat dan ajarannya yang
menyebar serta bertransformasi menjadi liberalisme sekuler ke seluruh pelosok
hingga kini. Akhirnya, kotak pandora keserakahan atas nama kemakmuran terbuka,
melalui ledakan penduduk, perebutan sumber daya alam, kehancuran lingkungan,
yang dimungkinkan memuncak tahun 2024 pada saat jumlah anak manusia di bumi
mencapai 8 (delapan) miliar, hasil dari 5 kali kelipatan 12 tahunan sejak 1975.
Ini merupakan kejadian demografis luar biasa yang belum pernah terjadi
sepanjang sejarah kemanusiaan. Semua berawal dari revolusi industri di Inggris,
setelah kejadian Deus Absconditus, Tuhan tersembunyikan, dipisahkannya dunia
(sains, teknologi, ruang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan
kebudayaan) dari keberadaan Tuhan, Tuhan dianggap pensiun, cukuplah berada di
Singgasana Langit.
Memang,
dampaknya, taraf hidup di Barat meningkat kemakmurannya, tidak di Timur, luar
biasanya perkembangan sains teknologi, jaminan pendidikan meningkat drastis.
Lawrence Smith mengatakan hal itu adalah hak Barat, bukan hak Timur. Karena,
atas nama modernisasi lebih baik tidak melakukan pergerakan melakukan
peningkatan kapasitas kemanusiaan menuju kemakmuran di semua wilayah di dunia,
cukuplah mereka yang sedang dalam situasi “the
most impoverished, dangerous, and depressing on Earth” diberi improvisasi
aksi sosial atas nama kemanusiaan, tidak lebih dari itu. Fukuyama mengatakan
sebagai simbol kemenangan Liberalisme dan Demokrasi Liberal, dan Barat adalah
pemegang sah status sosial Manusia Terakhir di muka bumi. Tetapi, kemakmuran
ternyata juga dibarengi dengan kehancuran moralitas seperti bencana kebebasan
LGBT – lesbong hombreng, meningkatnya kejahatan, aborsi, masifikasi penggunaan
narkotika, serta kejahatan-kejahatan lainnya, yang melejit melampaui dunia
Timur. Bukan hanya itu, institusi inklusif ekonomi dan politik yang
digadang-gadang Acemoglu dan Robinson berbasis demokrasi liberal-nya Fukuyama
di Barat, ternyata diungkapkan Fukuyama sendiri sebagai realitas paling bobrok,
birokrasi sebagai simbol institusi inklusif adalah pusat segala kebobrokan yang
menyebabkan pembusukan politik, political
decay.
Masalah
kemakmuran, sekali lagi yang ada di benak Barat, hanyalah kemakmuran berbasis
materialisme, tidak lebih. Maka, membincangkan peradaban yang dilakukan di
sepanjang buku ini bukan yang seperti itu, tetapi lebih dan bahkan melampaui
kekeringan intelektual semacam itu. Kemakmuran seharusnya, sebagaimana saya
yakini, adalah bagian dari integralitas berjiwa Langit untuk memberikan yang
terbaik bagi umat, dan setiap manusia maupun masyarakat di dalamnya, memiliki
hak, keinginan, kebersamaan yang sebenarnya, serta kebaikan yang perlu
didakwahkan kepada siapapun untuk mencapai umatan wahidah sekaligus wasathan, umat yang utama, sekaligus
umat yang sejahtera seiring sejalan. Tetapi, sulit sekali menjelaskan bahwa
idealisme Islam dan kearifan Nusantara yang telah menjelma dalam ruang sejarah ke-Indonesiaan
seperti sekarang ini bila tidak diawali dengan penjelasan runtut akan kesalahan
paradigmatik dalam memahami realitas, sejarah, dunia, dan kemanusiaan itu
sendiri. Apalagi bila itu sudah dipenjara dalam kenyataan pikiran dan laku
pragmatisme ilmiah, materialisme, liberalisme dan sekularisme yang terangkum
dalam ruang kesejarahan tanpa peran Tuhan sama sekali di dalamnya, Deus
Absconditus, atau lebih lungrah bila Tuhan dipahami hanyalah sebagai mesin
raksasa tak nampak bermekanisme otomatis atas kerja dan pengaturan yang
terdapat di alam semesta, Gaia, dan dengan demikian alam semesta berjalan
sebagaimana adanya. Tuhan tidak dipahami sebagai Wujud Ketuhanan sebagai Yang
Satu, Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kuasa, Maha Melakukan
Segala Sesuatu, Maha Meliputi, Maha Hadir di setiap aktivitas, dan Mahanya Maha
di seluruh alam semesta termasuk dalam diri maupun peradaban manusia.
Pesan
624 M adalah kenyataan sejarah sekaligus titah Langit, begitu Saya memahaminya,
tak bisa memahami terpisah bagaimana kenyataan sejarah harus dilepaskan dari
titah Langit, entah karena ini adalah dogma yang telah mengakar habis di
seluruh kejiwaan dan fikiran, atau memang pesan itu adalah teriakan semesta
dalam ruang jiwa atau rasionalitas memandang sejarah. Hal itu jelas sekali
merupakan masalah yang tak bisa dipaksakan oleh siapapun. Hadits Gusti Pangeran
Muhammad SAW yang mengatakan bahwa setiap 100 tahun pasti akan muncul
pembaharu, bagi saya bukan hanya bersifat personal, atau individu, tetapi di
dalamnya terdapat sifat keumatan, yang tercerahkan oleh setiap tetesan dan
guyuran ayat-ayat langit tak henti barang sepertriliiun triliun detik bahkan
tak hingga di semesta ini, dan dengan demikian maka seluruh semesta bersama
seluruh pembawa titah langit di manapun akan bergerak bersama menebarkan
kebaikan, keadilan, kebenaran yang terpatri tak lekang jaman. Rentetan tahun-tahun
sejak 2010 hingga 2016 adalah aksi kesejarahan yang khas dan dipenuhi
tanda-tanda kegelisahan umat, dan mungkin akan memuncak dalam ruang-ruang
kesedihan sampai tahun 2019. Tetapi kesedihan tak akan berlangsung lama, karena
insya Allah selalu bersama umatnya yang sadar dan selalu mendekat kepada titah
dan takdir-Nya, hingga 2020 situasi akan menjadi terang benderang, menjadi
simbol dilakukannya perubahan yang berpihak pada umat, memuncak pada 2024,
hingga Fathul Mekkah di negeri ini tahun 2029, bukan 2030 saya rasa.
Pesan-pesan Qur’an terutama Surat Thaha jelas sekali dan sangat gamblang, bloko sutho, tanpa tedeng aling-aling,
menunjukkan bahwa abad ini, di seratus tahunannya, 2024 M hingga 2029 M
nantinya, kebangkitan harus dijemput dan ditegakkan. Sebagaimana Jang Oetama
HOS Tjokroaminoto di tahun 1924 M, Pangeran Diponegoro dan Kaum Paderi di tahun
1824 M, Sultan Agung (1624), Sultan Trenggono (1524), Megat Iskandar Syah
(1424), Sultan Aru Barumun (1324), Sultan Alaidin Sy Abbas Syah (1224), Nashiruddin
al-Thusi (1224), Umar Khayyam (1038/104-1123/1132), Ibn Sina (980-1037); Al
Biruni (973-1051), Al Kindi (801-873) Hunain ibn Ishaq (810-877), Al Khawarismi
(…-863), Al Farabi (870-950), Mas’udi (…-956), atau Khalifah Al Ma’mun masa
Dinasti Abbasiyah berhasil mengonsolidasi kekuatan Islam tahun 824 dan Yazid
tahun 724 masa Ummayah setelah dikuatkan dasar peradabannya oleh Ummar bin
Abdul Aziz tahun 711-720. Itu hanya contoh, pasti tak terkira di era-era yang
sama, para mujtahid-mujtahid dan mujahid-mujahid mendorong untuk, seperti
diistilahkan Ismail Raji Al Faruqi, Pax Islamica, di manapun, kapanpun.
Akhirnya,
saya memahami dan meyakini bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang
mengedepankan Marwah Masjid, bukannya, sebagaimana diistilahkan Kuntowijoyo
“Pasarisme”, dengan syarat bahwa kemakmuran dan peradaban yang lebih baik
adalah milik bersama, milik umat. Maka, kata kunci pentingnya adalah
Konsolidasi Umat, di negeri ini harus disegerakan untuk mencapai kemakmuran
bersama, dimulai dari kebangkitan 2024 melalui Hijrah, ya Hijrah Untuk Negeri
tahun 2024, melalui hijrah kebudayaan religius sebagai desain ideologis,
melakukan hijrah syuro sebagai antitesis demokrasi liberal, dan hijrah ekonomi
berbagi sebagai antitesis ekonomi liberal sebagai desain konstruktif. Dengan
itu maka desain strategis, taktis, dan praktis diarahkan pada dua hal utama
itu, desain ideologis-konstruktif.
2019:
Hijrah Nyata
Ulasan
singkat di atas menjadi pengimbang arus kekhawatiran yang selama ini
diwacanakan sang presiden bahwa 2030 Indonesia akan bubar. Memang dari beberapa
peserta, ada yang berusaha membantah melalui pendekatan sebagaimana yang
disampaikan sang calon presiden. Tetapi tidak semuanya tertarik untuk
mengembangkan bantahan, pernyataan dan pernyataan berlanjut dengan analisa
analisa optimis terhadap masa depan. Hingga suatu peristiwa penting terjadi
pasca selesainya acara Nyator buku. Zainul bersama beberapa teman yang lain
beralih pembicaraan pada hal hal kecil yang bisa dilakukan. Salah satunya dia
bercerita tentang dunia usaha yang menjanjikan untuk masa depan kalangan
milenial. Namun dia mendapat bantahan. Untuk apa berwirausaha yang kemudian
menghasilkan keuntungan, Namun uang hasil keuntungan usaha tidak ada yang
mengelola. Ujung-ujungnya akan habis untuk makan dan rokok. Anak muda identik
dengan pola hidup yang royal. Karena tidak ada yang bisa mengendalikan
keuangan.
Lalu
dalam pembicaraan itu muncul gagasan untuk memperkenalkan seorang gadis desa
yang sopan dan sudah berkarir dengan baik itu kepada Zainul. Kita tunjukkan
fotonya, diceritakan tentang prestasinya, dan saat itu langsung sepakat untuk
berkenalan dengannya.
Waktu
demi waktu telah dilalui, hijrah 2024 lebih maju di 2019. Zainul mendahului
dengan meminang gadis desa yang dibicarakan pasca Nyator buku 2024: hijrah
untuk negeri. Ha -hal besar memang harus didahului dengan hal kecil yang
bermanfaat dengan dampak yang terus menerus.
Teruslah
mencari. Bahagia Literasi.
Bahagia Literasi : Teruslah Mencari
Reviewed by takanta
on
Juni 22, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar