Cerpen : Maha Tipu Maha Guru Durna
(1)
Pada sebuah sore yang keperakan. Bambang Ekalaya
benar-benar takzim melihat kepiawaian Resi Durna dalam hal melatih olah senjata
bermain panah pada murid terkasihnya, Arjuna. Akhirnya, Bambang Ekalaya yang
sedari tadi mengintip di atas pohon beringin yang rindang, ia keluar dari
persembunyiannya itu. Bambang Ekalaya langsung sembah sujud di kaki Resi Durna,
dan memohon untuk menjadikannya sebagai murid.
“Kisanak bangkitlah,” kata Resi Durna sambil berjungkuk,
dan memegang pundak Bambang Ekalaya supaya berdiri.
“Bapak Resi, aku mohon jadikanlah, aku muridmu.”
“Sekarang tunjukkanlah kebolehanmu dalam hal bermain
panah.”
Bambang Ekalaya pun segera mengambil busur dan anak
panahnya yang terselempang di punggungnya.
Bukan main piawainya Bambang Ekalaya dalam hal bermain
panah itu, bidikkannya tak pernah meleset dari sasaran. Hingga, akhirnya
Bambang Ekalaya dan Arjuna diadukan kemampuan mereka oleh Resi Durna—dalam hal
kebolehan membidikkan anak-anak panah pada sasaran.
Tampak anak panah Bambang Ekalaya secara bersamaan
melesat seiring bersama dengan anak panah Arjuna memburu sebuah sasaran, berupa
orang-orangan yang terbuat dari jerami. Secara bersamaan pula kedua anak panah
dari kedua kesatria tersebut tertancap tepat di dahi orang-orangan jerami
tersebut.
Resi Durna sepontan bertepuk tangan, lantaran salut
menyaksikan kedua kesatria dengan kemampuan memanah yang amat luar biasa, jauh
melampaui kemampuan para kesatria pada umumnya. Namun, Resi Durna menangkap,
ada perubahan dari raut wajah pada diri Arjuna, dan memang benar adanya dalam
lubuk hatinya Arjuna terdalam, terbersit saja—ia tak mau tersaingi oleh
siapapun dalam hal kemahiran bermain panah. Pun dengan Resi Durna mengerti akan
perasaan murid terkasihnya itu, Resi Durna juga tentunya tak mau kemampuan
memanah murid terkasihnya ada yang menyaingi.
“Kesatria, aku tidak dapat menerima kau menjadi muridku,
karena aku hanya diperkenankan melatih olah senjata pada para Pandawa dan
Kurawa, sedangkan kau bukan berasal dari keduanya,” Resi Durna dengan tegas.
Bambang Ekalaya mengerti, keputusan Resi Durna tak
mungkin lagi dapat berubah. Namun, Bambang Ekalaya dalam hati kecilnya
berjanji—bahwa dirinya layak mendapat pelajaran dari Resi Durna, kendati
dirinya bukan berasal dari keluarga Pandu atau Pandawa ataupun Kuru atau
Kurawa.
(2)
Disinari benderangnya sinar rembulan yang bercahaya keperakan,
tampak seorang kesatria sedang serius dan fokus membidikkan anak panahnya pada
sebuah sasaran berupa orang-orangan yang menyerupai Resi Durna. Adapun bidikkan
anak-anak panah kesatria tersebut tak pernah meleset dari sasaran yang hendak
dikenai anak panah sang kesatria tersebut. Dan, kesatria yang dimaksud tak lain
adalah Bambang Ekalaya, ia benar-benar telah menjadikan Resi Durna sebagai
gurunya dalam hal olah senjata panah-memanah. Bambang Ekalaya telah berhasil
menjadikan dirinya sebagai murid Resi Durna—kendati hanya dalam imajinasinya
sendiri. Namun, siapa sangka kehebatan Bambang Ekalaya dalam hal memanah
memanag sulit mencari tandingannya—Arjuna sekali pun, belum tentu dapat
mengalahkannya.
*
Hingga pada suatu hari, diketahuilah oleh Resi Durna dan
Arjuna, di salah satu sebuah hutan yang masih termasuk wilayah kekuasaan
Hastinapura, bahwasanya ada seorang kesatria yang berlatih memanah dengan fokus
sasaran orang-orangan yang menyerupai Resi Durna.
“Kau telah menjadikan aku sebagai gurumu,” kata Resi
Durna sambil menatap tajam Bambang Ekalaya yang sedang bersimpuh di hadapannya.
“Guru, maafkanlah aku, jika kau tak berkenan. Sebagai
murid, aku siap melaksanakan atau melakukan darma apapun demi Guru.”
“Baiklah, buktikanlah darmu itu padaku.”
“Apapun yak kau pinta, pasti akan kuturuti, Guru.”
Tampak, Resi Durna mengeluarkan sebuah pisau belati dari
saku jubahnya, dan memberikan belati tersebut pada Bambang Ekalaya.
“Cabutlah belati itu,” perintah Resi Durna.
Tanpa pikir panjang lagi, Bambang Ekalaya mencabut belati
itu dari sarungnya. Bukan main mengkilapnya belati itu, pertanda belati itu
tajamnya tiada diragukan lagi.
“Sekarang potonglah ibu jari tangan kananmu, dengan
belati itu,” pinta Resi Durna.
Masih tetap dalam keadaan bersimpuh di hadapan Resi
Durna, tiada ragu lagi untuk melaksanakan darmanya pada sang guru, Bambang
Ekalaya pun memotong ibu jarinya sendiri dengan belati tersebut, tampak darah
bercucuran dari ibu jari tangan kanan Bambang Ekalaya yang telah terpotong, dan
potongan ibu jari Bambang Ekalaya tergeletak di antara Bambang Ekalaya dan Resi
Durna.
Setelah ibu jari Bambang Ekalaya terpotong, tanpa kata
lagi Resi Durna dengan menggampit lengan Arjuna meninggalkan Bambang Ekalaya
yang masih bersimpuh. Dan, dengan terpotongnya ibu jari tangan kanan Bambang
Ekalaya, itu sama artinya; bahwa Bambang Ekalaya telah kehilangan segala
kepandaiannya dalam hal panah-memanah. Melihat kenyataan yang telah dan tengah
dialaminya, tampak pasang mata Bambang Ekalaya berkaca. Ia pun segera pergi,
dan mencari daun babadotan untuk
menghentikan darahnya yang terus-menerus mengalir itu, keluar dari ibu jarinya
yang telah terpotong.
Lambat-laun pendarahan pada ibu jari tangan kanan Bambang
Ekalaya reda juga. Tampak, Bambang Ekalaya berjalan gontai dengan membawa
kekecewaan yang bersarang dalam hatinya, ia berjalan mengikuti kedua ibu jari
kakinya. Hingga sampailah di belakang sebuah istana, yakni Istana Pancala yang
dirajai oleh Prabu Drupada. Bambang Ekalaya duduk bersila di semak-semak,
lantas memejamkan mata, ia melakukan olah tapabrata di sana.
(3)
Waktu terus melaju, hari berganti hari, bulan-bulan pun
terus bergani, tahun-tahu terus melaju, musim-musim datang silih berganti. Dan,
orang-orang telah lupa akan peristiwa darma Bambang Ekalaya untuk sang mahaguru
Resi Durna—dengan cara memotong ibu jari tangan kanannya. Betapa, peristiwa
darma yang sangat dipolitisasi oleh sang resi tersebut—dikecam oleh para
kesatria dan para alim suci brahmana. Namun, semuanya berpulang pada kehedak
Dewata, sebab segala perkara atau kejadian kembali berpulang pada-Nya.
Sore itu, tak biasanya Dristadyumna kakak sulungnya
Drupadi yang berarti anaknya Prabu Drupada penguasa Pancala. Ia berkuda
menyelipir kebelakang istana. Dristadyumna menghentikan laju kudanya, ada
sesuatau yang menarik hatinya, dari semak-semak itu melayang-layang sebuah
harum mawa bunga. Ada apakah gerangan di balik semak-semak itu? Demikian gumam
Dristadyumna, ia pun turun dari kudanya menyibak semak-semak menghampiri sumber
keharuman tersebut. Setelah tersibak, bukan main terkagetnya Dristadyumna
tampak olehnya seorang yang sedang bersila berada di dalam semak itu, di mana
seluruh tubuhnya telah dipuhi lumut dan rerumputan, karena rasa penasaran
dibersihkanlah tubuh petapa itu. Setelah bersih, perlahan pasang mata sang
petapa terbuka.
“Anak muda kau telah berani-beraninya membangunkan
tapabrataku!” bentak sang petapa matanya yang menyala semerah api menatap anak
muda yang berdiri di hadapannya, membuat Dristadyumna mundur beberapa langkah.
Tampak sang petapa bangkit dari bersilanya, ia mencabut
dua pedangnya yang terselip di pinggang kiri dan kanannya, sungguh kemahiran
permainan pedang kembar sang petapa—membuat terperangah putra sulung Prabu
Drupada.
“Karena kau telah membangunkanku dari tapabrata, maka kau
harus mau menjadi muridku!” kata sang petapa sambil menyelipkan kembali kedua
pedangnya pada sarungnya.
Dan, petapa itu tak lain adalah Bambang Ekalaya, kendati
ia telah kehilangan kemampuannya dalam hal bermain panah, namun keahliannya
dalam bidang permainan pedang masih sempurna dikuasainya.
Bambang Ekalaya; setelah merasa bahwa semua ilmu olah
pedang yang dikuasainya telah diturunkan pada muridnya, Dristadyumna. Dan,
tanda kelulusannya yakni—pedang kembar tersebut diberikan oleh Bambang Ekalaya
pada Dristadyumna.
Dengan menguasai kebolehan memainkan pedang dua secara
bersamaan, maka Dristadyumna menjadi kesatria pilih tanding yang sulit dicari
padanannya. Sabetan pedang Dristadyumna bagai sebuah kilat saja, sekilas dan tahunya
kepala lawan telah terlepas dari lehernya. Prabu Drupada melihat kesaktian
putranya terkasih dalam hal olah senajata pedang membuat dirinya besar hati,
kelak tahta kerajaan yang tengah di dudukinya akan jatuh pada orang yang sangat
tepat.
(4)
Pada hari keempat belas perang Baratayudha, di padang
Kulusetra sebagai medan—telah dibanjiri darah, mayat bergelimpangan di
mana-mana. Korban berguguran di antara dua kubu—yakni kubu Pandawa dan Kurawa
yang sedang bersateru.
Perang yang semula dimulai pada saat fajar menyingsing,
dan diakhiri ketika senja telah terjaring malam. Namun, karena kobar dendam dan
kebencian yang semakin membakar nurani kedua kubu, karenanya peperangan
berlangsung hingga malam menjelang, dengan obor sebagai penerang.
Pasukan raksasa yang dipimpin oleh kesatria Pringgandani
Gatotkaca serangannya pada malam hari semakin menggila, pasukan itu menyerang
pasukan Kurawa dari udara. Pasukan Kurawa pun kian kucar-kacir, kewalahan
melawan serangan udara pasukan raksasa Gatotkaca.
“Karna, cepat bunuh Gatotkaca!” teriak Duryudana yang
nyaris putus asa.
Memang, tak ada lain, yang dapat menghentikan laju
serangan udara Gatotkaca kecuali Karna yang memiliki tombak sakti pemberian
dari Dewa Indra. Tombak itu, tadinya dimaksudkan Karna untuk membunuh musuh
bebuyutannya yakni Arjuna. Namun, apalah daya, Karna sendiri telah terkena
salah satu anak panah pasukan Gatotkaca, membuat amarah Karna meluap-luap. Dan,
akhirnya Karna pun melemparkan tombak Bata Indra itu ke arah Gatotkaca, membuat
Gatotkaca gugur, perlaya di medan
perang.
Dengan meninggalnya Gatotkaca, semangat tempur pasukan
Kurawa kian berlipat ganda. Resi Durna yang tengah menjadi panglima perang Kurawa di mana anak-anak panahnya tak
pernah gagal dari sasarannya, membuat pasukan Pandawa limbung keteteran.
Tambah pula Resi Durna telah membacakan mantra bramastra mantra yang memiliki kekuatan magis, di mana wujud Resi
Durna tak tampak oleh musuh-musuhnya, dan anak panah Resi Durna melesat ratusan
kali lipat kekuatannya.
“Resi Durna dengan mantra bramastra tak dapat dikalahkan,” bisik Semar pada Kreshna ketika
kereta kuda yang disaisi Kreshna itu berhenti, setelah berbisik demikian Semar
yang sama sekali tak terlibat perang kembali ke pinggiran hanya sebagai
pemerhati perang.
Kershnya yang tengah menjadi sais kuda Arjuna membisikkan
apa yang dibisikkan Semar barusan, membuat Arjuna terkesiap.
“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanya Arjuna.
“Mahaguru Durna, akan padam semangat tempurnya, bahkan
padam semangat hidupnya bila mendengar Aswatama, puta terkasihnya mati di medan
Kulusetra,” kata Kreshna.
Setelah minta persetujuan Prabu Yudhistira atau Puntadewa
Kreshna pun segera memerintahkan Bimasena untuk membunuh seekor gajah besar
yang bernama Aswatama. Tanpa ragu lagi, Bimasena menghantamkan gadanya tepat ke
kepala gajah yang bernama Aswatama itu, dan bertieriak dengan kerasnya;
“Aswatama matiii!!” dan teriakan tersebut disambut oleh teriakan pasukan
Pandawa yang lainnya dengan berteriak; Aswatama mati, Aswatama mati....
Resi Durna dalam kekuatan manta bramastra betul-betul menggila, tak ada satu kekuatan pun yang
dapat menangkis ataupun menahan serangannya. Namun, ketika samar terdengar
olehnya; bahwa putranya Aswatama mati, seketika Resi Durna menghentikan
serangannya, wajahnya yang tadi sangar kini kian meredup, matanya yang tadi
liar kini kian berkaca-kaca, hatinya tak lagi berambisi memenangkan peperangan,
dalam hatinya tak lain hanya ingin memastikan; apakah benar Aswatama telah
mati? Tak adalah tempat bertanya bagi Resi Durna yang dapat dipercayanya selain
Prabu Yudhistira. Perlahan Resi Durna melajukan kudanya ke arah Yudhistira.
“Prabu Yudhistira benarkah, Aswatama telah terbunuh?”
tanya Resi Durna.
“Awatama, telah mati,” jawab Yudhistira dengan lantang,
“Aswatama gajah itu,” kata Yudhistira dengan lirih. Namun, suara lirih tersebut
terkalahkan oleh ingar-bingar suara pedang yang beradu dan suara pekik
pertempuran, oleh karenannya tak terdengar oleh Resi Durna.
Setelah bicara demikian pada Resi Durna, tampak kereta
kuda yang tengah ditumpangi Yudhistira yang selalu mengambang empat inci di
atas permukaan tanah—sebagai tanda manusia suci lagi terpercaya. Namun, kereta
kuda tersebut kembali menapak di atas permukaan tanah, pertanda Yudhistira
telah melanggar salah satu darma sucinya yang senantiasa menjunjung tinggi
kejujuran dan kebenaran. Yudhistira telah membohongi Resi Durna dengan sebuah
tipu muslihat yang lincin nan licik itu. Dengan demikian, sehingga Yudhistria
layaknya manusia biasa yang kerap berbohong itu. Tampak muka Yudhistita memerah
karena menanggung malu yang tak terkirakan, perbuatan hina tersebut kali
pertamanya ia lakukan, itu pun sangat terpaksa, lantaran keadaan yang sangat
mendesak. Jika nggak begitu maka pasukan Pandawa akan hancur lebur, dibinasakan
oleh Resi Durna yang tiada tandingnya.
Adapun Resi Durna setelah mendengar Aswatama mati,
langsung hilang daya hidupnya, ia turun dari kudanya, seraya duduk bersila dan
merundukkan kepalanya, mengambil posisi bersemedi, beryoga—menyatukan diri
dengan semesta sebagai perwujudan kemaha luasannya Dewata.
Dristadyumna puta Prabu Drupada murid terkasinya Bambang
Ekalaya yang tengah menjadi panglima besar pada kubu Pandawa tak mau
menyia-nyiakan kesempatan, lantas ia loncat dari punggung kudanya, tak
menghiraukan teriakan orang-orang yang melarangnya. Dristadyumna menghempaskan
pedangnya ke tengkuk Resi Durna. Tak dapat ditawar-tawar lagi, kepala Resi
Durna pun copot terlepas dari lehernya bergelinding di atas permukaan tanah.
Selesai
Yogyakarta, 3 April 2016-2019
TENTANG PENULIS
Agus
Hiplunudin 1986 lahir di
Lebak-Banten. Cerpenya telah dimuat berbagai media masa di antaranya
Swara Sastra, Satelit Pos, Koran Madura, Takanta.Id. Adapun kumpulan cerpennya
yang telah dibukukan 1) Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut,
Morfalingua-2017. 2) Edelweis Merbabu yang Merindu, Spektrum Nusantara-2019.
Kumpulan puisinya terhimpun dalam buku berjudul ‘Nya’ diterbitkan Spektrum
Nusantara-2019. Selain cerpen dan puisi penulis juga telah menerbitkan novel
pada 2019; 1) Derita, 2) Cincin Perak, 3) Awan, 4) Orang Terbuang dipublis oleh
Spektrum Nusantara.
Alamat Sekarang:
Des Nameng, Kp Parakan Mesjid, RT 004/004, Kec.
Rangkasbitung, Lebak-Banten.
Email : agus.hiplunudin@yahoo.com
Hp : 081-774-220-4
Facebook, IG : @Agus Hiplunudin
Cerpen : Maha Tipu Maha Guru Durna
Reviewed by Redaksi
on
Juni 02, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar