Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan
Wayan Jengki dan Imam Sufyan (GSM) |
Masa tua seperti apa yang Anda harapkan kelak: Hidup bersama anak cucu dan tinggal bersama kehangatan keluarga, atau menjalaninya di sebuah panti jompo?
(Rusdi Mathari, Pada Sebuah Panti)
Martin
Aleida duduk di baris paling belakang peserta diskusi. Kaki kirinya ditekuk
sejajar dada. Kaki kanannya selonjoran. Tangannya diletakkan di belakang
punggungnya. Menopang badannya. Sambil mencari tumpuan duduk yang nyaman, sorot
matanya memandang ke arah mimbar kecil yang terbuat dari teras keramik putih
setinggi 20 sentimenter. Di mimbar itu, Wayan Jengki Sunarta bersiap memulai diskusi
sesi terakhir acara Kayumas Bersastra.
Di
sela penyampaian materi diskusi atau lebih tepatnya ngobrol santai bersama Mas
Jengki, saya berniat tidak melewatkan dua hal: apa yang dibicarakan Mas Jengki
dan apa yang dilakukan Pak Martin. Khusus yang terakhir, saya menyimpan
penasaran yang lebih. Saya mengira Pak Martin akan bertahan ikut diskusi selama
15 sampai 20 menit, atau paling lama setengah jam. Setelah itu rebahan lalu istirahat. Tidur.
Maklum, ketika Mas Jengki mulai bicara, waktu sudah menunjukkan pukul 23.35.
Waktu yang cukup larut untuk seorang seusia Pak Martin. Sementara itu, beberapa
peserta terlihat mulai rebahan dan ada juga yang sudah tidur. Termasuk Mas
Sigit Susanto.
“Santai,
ya. Kita tanya jawab saja. Teman-teman tanya, saya berusaha menjawabnya”, kata
Mas Jengki sambil tersenyum memegang mic.
Mas
Jengki mulai menjawab pertanyaan satu-persatu. Beberapa pertanyaan memang
mengarah pada proses kreatif Mas Jengki dan kabar perkembangan geliat sastra di
Bali. Setelah menjawab beberapa pertanyaan, Mas Jengki lebih banyak bercerita
tentang Umbu Landu Paranggi, seorang penyair yang dijuluki “Presiden Malioboro”.
karena menjadi mentor/inspirasi bagi penyair dan seniman di Yogya kala itu.
Tentu saja melalui Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas sastra di mana
Umbu menjadi salah satu pengasuhnya.
Di
mata Mas Jengki, Umbu merupakan guru menulis yang bertangan dingin, nyeleneh, dan susah ditebak. Mas Jengki
menyimpan kenangan yang menarik tentang Umbu. Ingatan Mas Jengki kembali pada
suatu hari di Sanggar Minum Kopi (SMK), sebuah sanggar tempat kongko atau
diskusi penyair Denpasar. Saat itu
malam Minggu, Mas Jengki sedang diskusi puisi dengan beberapa temannya.
Tiba-tiba Umbu datang dengan membawa kresek.
“Jengki,
ini nasi untuk kamu. Nasi Republika”, kenang Mas Jengki meniru perkataan Umbu.
Mendengar
perkataan Umbu, seketika teman-teman Mas Jengki ikut tertawa bersama Umbu. Mas
Jengki bingung kenapa Umbu tiba-tiba memberinya nasi yang ia sebut nasi
republika itu. Sebelum akhirnya Mas Jengki tahu puisinya dimuat di koran
nasional “Republika” untuk kali pertama. Belakangan Mas Jengki tahu nasi itu
merupakan jatah makan Umbu dari tempat kerjanya.
Momen
itu, membuat Mas Jengki senang. Ia mendapatkan dorongan semangat dalam bentuk
yang lain: suatu wejangan sederhana dari seorang yang namanya ia letakkan di
tempat spesial. Di tempat terhormat. Sebungkus nasi dari Umbu yang menjadi
metafor; bekal untuk Mas Jengki agar terus menempuh jalan kreatif yang panjang.
Yang padanya hidup Mas Jengki wakafkan untuk permenungan yang sepi, tapi juga
asyik. Berkarya sepanjang usia.
Di
samping momen personal itu, Mas Jengki juga bercerita tentang sikap Umbu yang
hangat kepada siapapun. Menurut Mas Jengki, Umbu tak pernah memosisikan dirinya
sebagai guru. Umbu sering kali datang berkumpul bersama teman-teman penyair
muda dengan sangat sederhana. Tidak menggurui. Biasa saja. Tapi, sangat
telaten.
“Kadang,
ia datang hanya untuk main gaplek.
Ngobrol ngalor-ngidul yang gak penting. Tapi di sela itu, ia
merhatikan betul apa yang ditulis teman-teman. Ia bawa buku. Ia suruh baca tu buku puisi atau apa gitu yang menurut Umbu sebagai nambah perbendaharaan kata bagi tulisan
teman-teman. Supaya tulisannya berbobot”, kenang Mas Jengki.
Mas
Jengki juga mengenang kebiasaan Umbu yang tak biasa. Masih mencakup hal yang
sederhana dan tak begitu penting.
“Kita
kalo nonton bola gimana? Yang penting-penting saja, kan. Nah, Umbu beda. Ia tonton
tu semua pertandingan bola satu per satu dari awal sampai akhir turnamen. Baik
pertandingan tim-tim besar sampai tim semenjana. Pokoknya aneh Umbu itu”, kata
Mas Jengki sambil tertawa.
Floribertus
Rahardi yang lebih banyak diam di sesi terakhir, menyampaikan kenanganya
tentang Umbu. Pak Rahardi tahu betul peran Umbu dalam mengorbitkan penyair dan
seniman muda berbakat kala itu. Seperti Cak Nun, Linus Suryadi AG, Korrie Layun
Rampan, dan Yudistira Adi Nugraha. Meski hal itu tidak pernah diakui Umbu. Wajar
saja karena Umbu memang tidak pernah meninggikan perannya. Dan itu memang sikap
hidup Umbu.
Menurut
Pak Rahardi, lahirnya PSK pada tahun 1968 itu menjadi bagian dari momentum
geliat perpuisian indonesia modern. Saat itu, PSK punya Mingguan Pelopor
sebagai rubrik puisi. Selain tentu saja rubrik puisi di majalah Basis yang
ketika itu diasuh oleh Sapardi Djoko Damono.
“Nah,
rubrik-rubrik puisi itu lah yang memantik kaum muda yang punya minat menulis
puisi menemui wadahnya, sehingga banyak sekali penyair muda bermunculan kala
itu. Dan itu tentu salah satu peran Umbu masuk di situ. Sehingga kemudian oleh
para penyair saat itu Umbu dijuluki Presiden Malioboro,” ungkap Pak
Rahardi.
Pada
tahun 1975, Umbu tiba-tiba pergi dari Yogya. Tidak ada yang tahu Umbu pergi ke
mana. Di kalangan seniman ada yang menyebut ia pulang ke Sumba Timur, tanah leluhur
Umbu. Belakangan ia diketehui menetap di Bali. Menurut Mas Jengki, Umbu jadi
pemantik geliat perpuisian di Bali. Caranya tetap unik dan menarik. Umbu
mendatangi tiap kabupaten di Bali untuk menggairahkan minat orang-orang
terhadap apresiasi sastra, lalu dengan telaten berdiskusi secara personal
dengan anak-anak muda yang berbakat dalam kepenulisan.
“Umbu
ini padahal cucu dari seorang raja di Sumba. Hidupnya tentu saja sudah enak.
Tapi ia tinggalkan itu semua untuk berkelana dan bergeliat di perpuisian ini,” tutur Mas
Jengki.
“Ya,
Umbu ini kalau dalam ajaran Hindu Budha bisa dikatakan moksa. Lepas dari
hal-hal materi. Ia dekatkan dirinya dengan kesenian dan puisi sebagai alat
penghalusan budi,”
ujar Pak Rahardi.
“Tidak
ada yang perlu dicongkakkan. Meskipun sudah menulis banyak karya atau buku.
Tetap rendah hati. Lihat saja itu Pak Martin. Ia tetap bisa berbaur dengan
kalangan muda. Ngobrol apa adanya, berbagi. Bahkan tidur ya seperti itu sudah,” tambah Pak Rahardi sambil menunjuk ke posisi
Pak Martin tidur. Suara Pak Rahardi terdengar serak.
Saya
menoleh ke belakang, Pak Martin sudah tidur. Ia memakai topi koplo’. Tidur berbantal baju dan handuk
yang digulung. Tangannya ditekuk berdempetan di atas dadanya. Tubuhnya rebahan
di atas karpet warna merah yang disediakan panitia.
Saat
itu, jam menunjukkan pukul dua pagi. Sebetulnya Pak Martin baru saja tidur.
Mungkin sudah setengah jam. Karena saya tahu Pak Martin mengikuti betul diskusi
yang disampaikan Mas Jengki hingga pagi. Sepanjang diskusi, ia beberapa kali
mengubah posisi duduknya: selonjoran, menekuk satu kaki, bergeser, sampai
tiduran miring dengan tangan menyangga kepalanya, hingga kemudian memilih
tidur.
Perkiraan
saya meleset. Pak Martin bertahan ikut diskusi sekitar dua jam lebih. Satu
setengah jam lebih lama dari yang saya perkirakan. Padahal usianya sudah 75
tahun. Usia yang tak lagi berada pada fase menyala untuk sebuah diskusi yang sudah
larut pagi. Tapi, Pak Martin seolah meruntuhkan kalkulasi usia dan waktu itu.
Saya kagum kesehatannya sangat terjaga. Saya juga penasaran bagaimana ia
menjaganya.
****
Empat
penulis nasional yang hadir di acara Kayumas Bersastra meninggalkan kesan
menarik. Bagi saya, Gerakan Situbondo Membaca (GSM) secara khusus memberi
panggung kepada orang tua yang menyenangkan. Tentu bukan sebagai orang tua
biologis yang pada setiap perkataannya wajib dipatuhi dan dijalankan, melainkan
orang tua ideologis dalam konteks sastra, buku dan kepenulisan, yang setiap
perkataannya adalah sebuah panggung terbuka. Siapapun boleh mementaskan apa
saja. Kapan saja.
Karya
mereka adalah lantai panggung, yang menjadi pijakan teman-teman muda untuk
mementaskan karya baru. Andaipun memilih berpijak di lantai yang lain, boleh
saja. Karena mereka tidak menulis kitab suci yang ajeg dan harus, wajib begini
begitu. Melainkan narasi kehidupan yang dikumpulkan dalam satu jilid yang sama:
karya manusia. Tetapi, baik kitab suci maupun karya manusia, setidaknya dari
apa yang disampaikan empat penulis tersebut adalah alat untuk menghaluskan
budi.
Pak
Martin, Pak Rahardi, Mas Sigit Susanto, dan Mas Jengki menyiapkan masa tua
tidak dengan memikirkan panti jompo atau menghimpun masa dengan sebutan people power, melainkan dengan berkarya
dan memantik semangat generasi muda yang mencintai sastra dengan cara
silaturahmi dan berdiskusi. Diskusi yang sederhana dan menyenangkan. Lantas,
masa tua seperti apa yang sudah dan akan kita siapkan, kawan? Mari berhenti
bertanya pada rumput yang bisa goyang nasi padang.
_________________
_________________
*) Penulis merupakan Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Situbondo, penggiat Literasi Sumberanyar, Pimred takanta.id.
Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan
Reviewed by Redaksi
on
Juni 04, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar