Puisi : Jendela dan Selaksa Bayang Karya Imam Ar-Ruqi
Puisi-puisi
Imam Ar-Ruqi
Euforia Sunyi
Sempurnalah
kesunyian ini, setelah tragedi panjang menyamarkan kegaduhan
Segaduh isi
dada meneriakkan namamu dalam setiap larik sajak-sajakku
Selaksa mawar
merekah atas putik yang seharusnya mengalpa tanpa adanya kumbang.
Sementara malam
membunga dengan purnama ke empat belas
Serta
iringan gonggongan serigala memarade tanpa adanya undangan
Mencipta
gelombang suara yang di dalamnya tersimpan eeforia gundah
menyakralkan kerinduan
Entah dari
siapa atau kepada siapa.!
05-05-2018
Suluk Yahya bin Zakaria*
Selama ini
binal jiwa-jiwa yang terbang
Doa-doa
diterlantarkan
Padamu aku
berseru
Ihwal rindu
yang menggebu
Air mata
lukai pipi
Menjelma
laut kuminum sendiri
Masih
pantaskah menyampaikan kegundahan
Bila
menatap-Mu saja sudah lama tak kulaksanakan sayang
Pahit,
tawar asin dosa
Pekat hitam
kedap suara
Membangun
sunyi sendiri
Dalam
nyinyir harap digali
Oleh
sesalku yang mengebiri
Oh cahaya
di atas cahaya
Padamu aku
bersimpuh
Berharap
semua luntur dan runtuh
14
Agustus 2018
*seorang
pendosa dalam cerita sebuah kitab
bernama “Irsyadul I’bad” pada bab Taubat
Jendela dan Selaksa Bayang
Nopember
pecah setelah sebelumnya baskara menyengat ubun-ubun kita
Seperti
sekarang memandangmu detik ini cakrawala diselimuti kabut rindu
Laron-laron
terbang memarade bermesraan dengan rinai hujan
Syahdan
terberkatilah wangi tanah mengulang kembali masa bocahku dulu
Membentang
jarak, bermain hujan sambil memburu burung
yang kehilangan sarang
Indah
seperti mencintaimu etri diam bukan berarti tak takut tuk kehilangan
Tetapi
menikmati lebih baik ketimbang sayap akan menusuk sepi meski tak ada angin
membuli
Kekasih di
ritmis air ini harapku menjelma amin, disetiap liat lumpur jejakku mengukir
takdir
Gigil
tubuhku mengkristal ditikam dingin dan hangat berperang berebut kau
Antara
siapa paling pantas
menamakan dirinya setia paling lama sakral
08-11-2018
Diantara Sejuta pintu
Tabahlah,
cahaya mentari jadi satu-satunya kehangatan ini
februari seringkali menamai dirinya lebat hujan
Sedang kayu
di perapian tak ubahnya pelacur yang menunggu pelanggan
miris orang
menyandang ustad mencabuli muridnya di
kamar mandi masjid
penyair
memasak rasa dalam kata-kata yang paling tentram
Para santri
mengaji berharap karunia ilahi
Seorang
ayah bermandi keringat mencari nafkah untuk anak istri
Dan para
sufi berkhalwat dengan yang maha mencitai
Sementara
aku masih bingung pintu mana harus di masuki
seperti butir embun di daun jati yang ranggas di
bulan juli
rela gugur
dan memuai pada cahaya paling binal
Menjadikan-Nya
kompas untuk tubuh terhempas pada yang memberi nafas
Annuqayah,
Lubangsa 06- juli 2018
Sesunyi
Sungguh
terlalu rumit memaknai suarasuara sumbang tengah malam
Seperti
menerjemah bahasa sunyi
Selalu
melahirkan ketakutan pada perut yang kelaparan
Seringkali
kegelapan merindukan purnama yang merona
Saban saat
nurani tertutupi naluri dalam batas wajar dan sadar
Syahdan,Sempurnalah angin berbisik menakar dingin setiap hangat perjumpaan
Senantiasa
rapal tasbih terpanjat untuk menyekat segala yang pekat
Serupa debu
di cermin, harus di usap agar wajahku tampak dan tak retak
Oh.. Allah
padamulah segala pengertian akan membiak
Annuqayah,
Lubangsa 21-07-2018
Multatuli
“aku
sudah cukup banyak menderita”
Ya,1860
penamu menari atas nama kesengsaraan pribumi
Penderitaan
terjajah sistem kekuasaan yang mengerang kesakitan
Kerakusan
kolonial menjadi saksi air matamu pada resahnya impian
Bagai lilin
kau hidupkan dengan api semagat kebangsaan
Supaya
nurani merapal, bahwa semua perlu
kesadaran
Ihwal
eksploitasi, kekuasaan, feodalisme harus di gusur secepat cahaya
Agar gelap
yang selama ini mendekap tak lagi kalap
Dan rakyat
bisa memaknai cinta tanah air secara sempurna
Serta
menikmatinya tanpa ada yang melaknat
03 Agustus
2018
Gelora Revolusi
Seperti
orang gila yang dipasung atas nama kewarasan
Kau masih
berkiblat pada perasaan; ditengah serakahnya kolonial
Rantai-rantai
semakin erat membelenggu keadilan
Membuat
frustasimu memuncak kala keringat dipaksa keluar
Hingga benih jagung padi dan kekayaan lain
Terpaksa
disiram dengan air mata rakyat tanpa bisa mengelak
Dan Max
Hevelaar-mu menyiratkan pesan
--;Tiang-tiang
harus berdiri
Agar tak
selalu tersakiti
--;Bendera
revolusi harus diimani dan diamini
Agar
luka tak tak semakin membiakkan elegi
27 juli
2018
Akulah Waktu
Akulah
waktu
Di dalamnya
racun dan madu
Bercampur
jadi satu-satunya penawar rindu
Bergantian
tahun-tahun gugur disesaki bunga-bunga candu
Melingkari
almanak pada saban rencana yang keluar di setiap dadaku
Mensyukuri
dengus nafas sebelum sakral ruh hilang terlepas
Insaf rapalku; mencintai lebih mudah dari memahami
puisi
Tetapi
menikmati sudah terberkati menjelma aku yang sepi
Gendewa,
22-10-2018
BIODATA PENULIS
Imam
Ar-Ruqi nama pena dari Imam Hambali adalah anak dari seorang petani,kelahiran
rajun pasongsongan sumenep tepatnya pada
02 juli 1998, Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi semester VI INSTIKA, santri aktif PP.Annuqayah Lubangsa, bersetubuh dengan: Sanggar
AIDS IKSAPUTRA, Teater GENDEWA dan komonitas Merunyam Sepi .Menulis
dalam beberapa antologi dan majalah salah satunya: Radar Surabaya,Rakyat
Sultra, Memoar Perjalanan MA 1 Annuqayah (centrik 2016) Requiem Tiada
Henti(ASEAN-1 Puwokerto 2017)IJE JELA (Tifa Nisantara 3, 2016) 100
Puisi terbaik NU Maroco (2016) Di bawah pohon willow(Gennom 2016) Kepada
Toean Dekker (Multatuli 2018) A Skyful Rain(Banjar’s baru
2018)Majalah Panji (BBJT 2016)Majalah SIDOGIRI (2017) Kembang Api
(ellunarpublisher2016) Indonesia Bersajak (SSAN& Rumah kita 2016) Serangan perlawanan (SSAN& Rumah kita 2016) Fb: Imam Ar-Ruqi
Alamat jl. Makampahlawan NO 02 PPA.LubangsaGuluk-Guluksumenepjawatimur
69463 no email: averousluka@gmail.com
Puisi : Jendela dan Selaksa Bayang Karya Imam Ar-Ruqi
Reviewed by Redaksi
on
Juni 09, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar