freepik |
Tak ada
perubahan dalam tellasan kali ini,
kecuali waktu. Waktu yang menyuguhkan kisah-kisah berbeda.
Oleh : Moh.Imron
Tellasan dalam bahasa Indonesia lebaran (Idulfitri), begitu bahasa di daerah
saya yang dominan Madura. Sementara ngojhungi
ialah berkunjung/mengunjungi dalam hal ini silaturrahmi
ke sanak famili, saudara dsb. Pada saat momen tellasan.
Ngojhungi merupakan rutinitas utama pada saat tellasan. Namun ada 3 hal besar yang
melekat sebelum tellasan tiba; (1) mudik,
bagi mereka yang merentangkan jarak dengan keluarga atau saudara, (2) menyiapkan
makanan atau jajanan untuk suguhan tamu, dan (3) busana baru. Ketiga inilah
yang mempunyai peran penting pada saat momen ngojhungi; bersua dengan keluarga atau berbagai saudara dan tentu
juga sahabat dan saling maaf-memaafkan.
Sejatinya, saling memaafkan dan silaturrahmi bisa
dilakukan kapan saja. Begitulah manusia, kadang gengsi, malas, tidak mempunyai waktu, terlalu
sibuk dsb. Maka bersyukurlah, tellasan
menjadi kegiatan tahunan yang memberi jeda untuk saling silaturrahmi dan maaf-memaafkan.
Malam
takbir, di desa saya diwarnai dengan kembang api, takbir keliling, takbir dari masjid dan langgar. Pun paginya, mercon masih mewarnai suasana tellasan. Baik sebelum atau sesudah salat id.
Sejak saya
masih kanak, ayah saya sering mengajak saya salat id di langgar Kyai Mahmudi,
tempat mengajinya bapak dulu dan dekat rumah asal bapak, Dusun Sekarputih
Utara, Desa Trebungan. Biasanya dilanjut dengan silaturrahmi ke saudara di sana.
Tapi dalam 5 tahun terakhir ini saya salat id
di Masjid Baitul Hamid, kisaran 150 meter ke utara dari rumah saya. Kemudian dilanjut ke makam ibu dan kakek, utara
masjid. Rasanya sudah 10 tahun melewati tellasan
tanpa kehadiran ibu. Bulan puasa tahun 2009 ibu telah mangkat, tellasan kala itu terasa berat. Dalam
momen lain, saya sempat menemukan salah satu kenangan ibu, selama saya tinggal
di pesantren kecil di Situbondo, orang rumah menyebutnya; nyolok. Yaitu foto ibu dengan ukuran 4 x 6 terpampang dalam semacam
sertifikat untuk orang-orang yang kurang melek aksara latin. Ibu saya tidak
bisa membaca dan menulis. Ada juga buku tulis yang berisi tulisan-tulisan ibu
seperti anak TK. Ibu rupanya ikut KF (Keaksaraan Fungsional) Ibu mengajarkan saya; belajar menuntut ilmu tidak mengenal
usia. Bahkan sampai mati. Untuk salah satu alasan itulah saya ingin terus
bergelut dalam aksara; dalam hal ini terus berusaha belajar baik dengan membaca, maupun
menulis.
Tahun lalu (2018), sore, menjelang malam takbir. sepeda motor
saya macet, seher mesin harus
diganti. Toko-toko dan tukang service tutup apalagi keuangan saya kala itu sudah habis. Saya
tidak silaturrahmi ke saudara kecuali
yang dekat. Barangkali motor saya sedih, karena sudah lama tidak diboncengi
seorang kekasih. Atau
motor saya emang tidak pernah dirawat.
Dan Tellasan kali ini, kesehatan bapak
sering terganggu. Jadi tidak banyak keluar rumah.
Sementara adik saya ikut suaminya, menemani kerja di Kalimantan. Adik perempuan yang kadang merawat saya dan bapak seperti
menjelma seorang ibu. Barangkali tahun depan adik bisa kembali dan tinggal di
kampung halaman.
Sejak kecil
bapak saya selalu mengajak silaturrahmi saat
tellasan, begitu banyak sanak famili yang harus saya datangi. (1)
Keluarga sekitar, nenek dari ibu mempunyai empat saudara, tiga diantaranya
tinggal di depan rumah, seberang jalan, dan masing-masing sudah mempunyai cucu.
(2) Kakek dari ibu juga mempunyai saudara, asal kakek dari dari Dusun Sekarputih
Timur. (3) Nenek dari bapak juga punya saudara yang tinggal di Dusun Sekarputih
Utara dan (4) kakek dari bapak asalnya dari Gumuk, juga mempunyai saudara di
sana. (5) adik kandung bapak dan keluarganya. Dulu pada saat silaturrahmi,
bapak membonceng ibu dengan sepeda ontel kala itu kisaran tahun 2000-an,
sementara saya bersama membonceng adik.
Selesai
salat id dan selesai ke makam ibu dan kakek, saya langsung ke rumah tunangan. Saat tiba di
sana, saya masih ingat momen pertamakali ke sana, terlebih saya harus
berhadapan dengan bapak untuk melamar anaknya, sendirian. Saya disuguhi bakso dan
dilanjut dengan silaturrahmi ke bude,
saudara tunangan saya. Hari itu pula dilanjut dengan mengunjungi saudara saya yang
pernah diajarkan bapak sejak kecil, meskipun sebenarnya melahkan. Tapi
tidak apa, setahun sekali. Ini momen pertama saya pada saat tellasan, sungguh membahagiakan. Bertemu saudara, menikmati jajanan, menggunakan busana-busana baru dan obrolan-obrolan penuh tawa. Ini salah satu tellasan
yang istimewah. Tellasan bukan hanya momen ngojhungi, ada juga yang ngumpulin ontalan atau angpau bagi mereka; anak-anak atau remaja dalam keadaan tunangan. Sebab menjalin silaturrahmi dan berbagi hadiah adalah sunnah.
Jadi, sesedih
atau
seberat
apapun
cobaan
hidup,
suasana
tellasan mampu meredamnya, menggantikan dengan penuh kebahagian. Entah kalau
sudah selesai momen tellasan hingga
ketupat? Namun
kesalahan, kesedihan, kebahagiaan punya sendiri untuk hinggap di masing-masing
manusia.
Saporana!
Hilir mudik
tellasan berlangsung sampai lebaran
ketupat. Jadi selamat merayakan tellasan
katopak. []
Tellasan dan Ngojhungi
Reviewed by Redaksi
on
Juni 08, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar