Cerpen : Karet Gelang Pemberian Ibu
Sebelum
aku pergi merantau, ibu berpesan agar menjaga karet gelang ini dengan baik. Aku
masih ingat ibu memberikan karet gelang berwarna merah polos ini ketika aku berpamitan
untuk menggapai cita-cita di kota. Dengan berhati-hati ibu mengenakannya pada tangan
kiriku sembari berpesan “Karet gelang ini, jangan sampai kamu lepas,” diuliknya
gelang itu dengan baik, ibu mencengkram mesra pergelangan tangan kiriku. Ibu
juga berkata suatu saat nanti aku akan menemukan karet gelang yang sama pada
pergelangan tangan yang berbebeda.
Aku
mendengar dari nenek karet gelang yang ibu berikan padaku itu sama seperti yang
dipakai pada tangan kiri ayah. Karet gelang itu bukti kasih yang mengikat orang
tuaku. Ayah memberi ibu mahar karet gelang lantaran ayah tidak cukup biaya
untuk membelikan ibu perhiasan yang mewah. Nenek juga bercerita tentang sosok
ayah yang hingga kini tak pernah kembali, dan aku juga tak tahu dimana ia
berada. Kata nenek ayah saat ini berada di kota yang tengah aku tuju, bekerja
serabut untuk menghidupi dirinya sendiri, meski sebenarnya nenek tidak tahu
tepat dimana ayah berada.
Ibu
tidak pernah berkehendak untuk menceritkan sosok ayah padaku, ada semacam rasa
yang tertahan di kedalaman hatinya. Rasa yang sejak lama ia pendam sendirian
sembari membesarkanku. Sejak aku berumur 2 tahun, ayah sudah tidak pernah
pulang, bahkan ayah sudah berhenti mengirimi kami uang.
Ibu
terpaksa mencari usaha sebagai bekal penghidupan, saat itu keluarga kami begitu
kesulitan. Ditambah nenek yang sudah tidak mampu bekerja, juga menjadi beban
tanggungan ibu. Mulanya, ibuku usaha berjualan bakso, namun tidak bertahan
lama. Rencana yang ibu gagas pertama kali itu menemui kegagalan setelah seorang
pembeli dengan terang-terangan mengatakan bakso buatan ibu rasanya ambyar.
Ibu kemudian tersedu, aku yang masih berumur 10 tahun kala itu belum mengerti
mengapa ibu begitu sedih seperti itu.
Setelah
kegagalan usaha pertamanya, keluarga kami harus mencari pinjaman sana sini.
Hutang keluarga kian membengkak, ditambah rentenir yang datang saban Senin
untuk menagih hutang ayah. Hingga suatu hari rentenir yang dikenal orang
kampung merangkap menjadi mucikari menawari ibu sebuah pekerjaan.
Aku
masih belum paham ibu bekerja sebagai apa, dimana kantornya, dan siapa bosnya.
Kala itu aku masih berusia 10 tahun lebih 7 bulan. Setiap jam 3 malam, saat
nenek tengah membangunkanku untuk salat malam, ibu terlihat sudah terkapar di atas
dipan dengan baju setengah lengan, dan rok mengangkang, lengkap lipstik merah
marun yang belum layu dari bibirnya. Aku bertanya pada nenek “Mengapa ibu tidak
nenek bangungkan?”.
“Ibumu
pasti masih kecapekan, ia harus bekerja keras membanting tulang”, setiap nenek
berkata kalimat itu air matanya selalu mengucur. Seusai salat aku amati sajadah
nenek yang basah dengan linanga air mata. Sejak kejadian itu aku tidak tega
untuk bertanya lagi soal ibu.
***
“Hei
jangan kabur,” ucapku dengan nada terangkat mengacungkan pistol siap membidik
kaki seorang pencopet yang mencuri dompet. Copet itu tidak menghiraukan
ucapanku, ia terus berlari sebisa yang ia jangkau. Umurnya yang lebih tua
sekian puluh tahun dariku membuat staminanya tidak stabil. Aku hanya terpaut
beberapa langkah dibelakangya, sementara pistol ditanganku sudah siap dengan
peluru hendak menyembur ke arah si pencopet.
Saling
kejar mengajar pun terjadi, sementara jauh tertinggal di belakang dua anak
buahku yang tengah berusaha menenangkan korban yang baru saja dicopet dompetnya.
Aneh rasanya seorang copet begitu berani melancarkan aksinya didekat petugas
berseragam cokelat hitam yang siap berjaga-jaga keamanan lalu lintas.
“Darr”
si lelaki paru bayu itu jatuh tersungkur, tidak kuat lagi melangkah. Dari saku kiri
celana dinas cokelat hitam kukeluarkan borgol, dengan aba-aba sudah siap
meringkuknya.
“Mau
kemana kamu, sudah diam,” entah mengapa setelah kuucapkan kalimat itu, tanganku
tertahan, mataku terbelalak melihat karet gelang berwana merah ditangan lelaki
itu. Dompet yang dicurinya ia sembunyikan dibalik punggung, dengan tangan kanan.
Sementara tangan kirinya hendak menghalau borgolku. Kita saling menatap dengan
wajah seolah sudah saling mengenal sebelumnya. Sembari memelas rasa kasihan ia
berkata dengan nada sengau pada ku “Pak jangan tangkap saya, saya mencuri hanya
untuk makan pak, tidak lebih.”
Aku
masih terdiam lalu ingat pada cerita nenek dan pesan ibu tentang karet gelang
pemberian ibu, dengan merendah aku bertanya pada lelaki itu. “Bapak dari mana?”
***
Setelah
aku beranjak dewasa, aku memutuskan untuk merantau ke kota. Tempat dimana ayah katanya
hidup disana, meski aku tidak tahu dimana tepatnya. Aku sangat ini memeluk ayah,
merasakan kasih sayang seorang ayah pada anaknya. Belaian tangan kasar dan
luapan kasih sayang seperti yang kulihat ketika hari perpisahan sekolah. Aku
akan mengajak ayah kembali ke kampung berkumpul menjadi keluarga yang utuh
kembali, dan ibu bisa berhenti bekerja banting tulang.
Saat
itu aku sudah mengerti ibu bekerja sebagai apa, tetapi aku tidak kuasa untuk
menyebut ibu demikian. Aku juga tidak enak hati melarang ibu berhenti bekerja,
bagaimana pun ia tetaplah ibuku, surga berada di telapak kakinya. Aku bisa
menyelesaikan pendidikan menengah atas juga berkat keringat ibu.
Setelah
aku lulus dari sekolah menengah pertama, kesehatan nenek semakin memburuk. Usia
nenek sudah begitu renta, memasuki awal pendaftaran sekolah menengah atas ibu
kebingungan mencari biaya pendidikan. Meski begitu, ia selalu meyakinkanku
“Nak, kamu harus tetap lanjut, masalah biaya biar ibu yang usaha, ada kemauan
pasti ada jalan.”
Beruntung
dan menyedihkan, menjelang beberapa hari sekolah yang aku tuju menutup
pendaftaran, nenek kutemukan sudah tidak mengeluarkan napas sedikit pun diatas
sajadah tempat biasanya ia menangis.
Saat
itu hari masih sangat dini, sekira pukul empat lebih beberapa menit. Aku bangun
dari tidur merasa bersalah pada nenek dan Tuhan karena telah melewatkan salat
malam. Ketika beranjak dari tempat tidur aku beranggapan nenek mungkin lupa
untuk membangunkan. Aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk kemudian
menunaikan salat subuh. Di tempat salat biasanya aku beribadah bersama nenek,
kutemukan ia tengah sujud. Setelah selesai dari salat, nenek masih dalam
keadaan sujud, merasa ada yang aneh aku menunggu beberapa saat. Hingga sepuluh
menit berlalu, nenek masih dalam posisi yang sama.
Akhirnya
ku berikan diri untuk membangunkan ibu. Meski kelihatannya ibu baru pulang
beberapa jam yang lalu, dengan baju setengah lengan, dan rok yang mengangkang. Ibu
membaringkan nenek dengan ekspersi yang datar, dalam beberapa saat ibu berkata
“Nenekmu sudah mati, besok kamu bisa pergi mendaftar ke sekolah itu, biaya
tanggungan ibu sudah berkurang.” Aku senang sekaligus sedih mengdengar ucapan
ibu yang tetap dengan wajah datar.
Karena
keterbatasan biaya, nenek dimakamkan dengan prosesi alakadarnya. Ibu tampak tidak
begitu bersedih, akupun demikian. Berkat kematian nenek itulah beban ibu
semakin berkurang, dan aku bisa melanjutkan pendidikan.
***
Poncopet
itu tidak kunjung menjawab pertanyaanku, ia hanya tertunduk sayu. Dari matanya
kuamati ada yang tengah ia tahan, nampaknya bapak itu terisak. Aku melupakan
cerita nenek, bapak itu diringkus oleh dua orang anak buahku yang datang
beberapa saat setelah bapak itu jatuh tersungkur.
Dompet
yang ia sembunyikan telah aman ditanganku, lalu kuberikan pada pemiliknya.
Tetapi ditanganku kini ada satu dompet kulit dengan bagian luarnya mengelupas.
Kubuka dompet itu, isinya kosong kerontong, menyisakan beberapa kartu tanda
pengenal. Kuraih salah satu kartu yang ada di dalamnya. Tertulis identitas
dengan alamat sama persis dengan alamat rumahku, Jl. Sriwolutunggal, no 125,
Kec Samagenang, Cilacap, Jawa Tengah. Kuamati dalam-dalam foto pria dalam kartu
itu. Aku seperti begitu akrab dengan guratan di wajahnya. Dan kemudian aku
ingat ciri lelaki pencopet itu, karet gelang merah di tangan kirinya.
Segera
aku bergegas menuju mobil yang telah siap meringkusnya. Dari arah belakang
kuteriakkan sebuah panggilan dengan keras, “Ayah,”dengan segera lelaki itu
berkelibat dari pegangan kedua temanku. Ia berlari dengan kaki tertatih, dan
memelukku.
BIODATA
PENULIS
Dani Alifian, penulis merupakan
mahasiswa semester 2 PBSI – Universitas Islam Malang. Buku antologi puisi
pertamanya berjudul Harta, Tahta, Wanita (2019). Saat ini aktif menulis di
beberapa media daring, dan blognya sendir bacotsam.wordpress.com. Dapat
dihubungi melalui IG: @dani_alifian, Akun FB: dani alifian,Twitter: @dani_alifian
Nomor telepon: 082338868178.
Cerpen : Karet Gelang Pemberian Ibu
Reviewed by takanta
on
Juli 23, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar