Home
/
Apacapa
/
Mohammad Farhan
/
Sejarah Situbondo
/
Diskusi Penyelamatan Cagar Budaya: Sebuah Ikhtiar Membuka Mata Pemerintah Situbondo
Diskusi Penyelamatan Cagar Budaya: Sebuah Ikhtiar Membuka Mata Pemerintah Situbondo
dokumentasi PICB |
“Persoalan kita, teman-teman pegiat cagar
budaya sekarang ini adalah berlawanan pada orang-orang yang belum tahu, kadang
kala tidak mau tahu juga,” Marlutfi Yoandinas melontarkan mukadimahnya dalam
sebuah diskusi bersama pegiat sejarah Situbondo pada Rabu pagi.
Diskusi
berselang di halaman rumah Irwan Rakhday, Gang Sorakerta 11 Asembagus, di bawah naungan pohon mangga. Karpet warna
hijau dan merah terhampar berurutan di antara dua lincak yang mengapit di sisi
kanan dan tumpukan kayu di sisi kiri. Di ujung timur, gardu kuno dengan ornamen
khas situbondoan menutup sebagai background.
Sementara di ujung barat, karpet ditindih dengan dua replika miniatur candi
setinggi 50 sentimeter sebagai pintu masuk.
Di
dekat pintu masuk, terdapat tungku dari tumpukan bata. Apinya menyala.
Memanaskan penay di atasnya yang
berisi air. Di sebelah tungku ada meja dengan toples berisi gula dan kopi.
Peserta terlihat bergantian membuat kopi sendiri, lalu melanjutkan diskusi.
Pukul 10.15 diskusi dimulai.
Marlutfi
memulai dengan menjelaskan tantangan gerakan pegiat sejarah Situbondo hari ini.
“Lawan dari gerakan teman-teman ini utamanya kan pemerintah, yang memposisikan
dirinya tidak mau tahu,”. Marlutfi dan peserta tertawa tipis. Marlutfi
melanjutkan. “Sudah berkali-kali teman-teman menyuarakan ini itu tapi kadang
kala mereka acuh saja, ya. Tidak mau tahu”.
Kondisi
itu, menurut Marlutfi seharusnya tidak melunturkan semangat teman-teman pegiat
cagar budaya Situbondo untuk terus bergerak. Konsisten menghimpun data sejarah
dan mengkoordinasikannya antar anggota. Kemudian, pelan-pelan melakukan teknik
pemunculan, yakni segenap informasi itu bisa terdistribusi dengan baik ke
masyarakat Situbondo. Harapannya, ketika itu menjadi informasi kolektif yang
terus dibicarakan, pemerintah Situbondo bersedia membuka mata.
“Saya
kira, setiap gerakan yang berangkat dari bawah itu akan punya akar atau dasar
yang kuat. Sebagaimana pertemuan ini kan bukan dalam rangka mengunduh sesuatu,
melainkan untuk belajar dan saling menguatkan”, jelas Marlutfi.
Marlutfi
kemudian mepersilakan Irwan Rakhday melanjutkan diskusi.
Irwan
Rakhday menulis status di facebook,
enam hari sebelum acara. Isinya sebuah undangan terbuka pada 10 Juli 2019 yang
ditujukan kepada seluruh pegiat cagar budaya di Situbondo. Irwan mengangkat
tema diskusi: Ikhtiar Swadaya Penyelamatan Cagar Budaya Lokal. Status Irwan itu
kemudian ia bagikan ke beberapa dinding facebook
teman secara personal dan komunitas. Tertulis 45 dinding facebook yang ditandai oleh Irwan.
“Tema
ini kan sebenarnya pembicaraan yang sudah-sudah. Ikhtiar penyelamatan itu juga
sudah kita lakukan bersama-sama, ya. Banyak tantangan dan dinamika”, buka
Irwan.
Menghadapi
segala bentuk tantangan dan dinamika pergerakan itu, Irwan ingin teman-teman
menyamakan persepsi. Karena, Irwan paham betul tantangan gerakan teman-teman
pegiat cagar budaya di Situbondo sering berhadapan dengan birokrasi yang bebal.
Meminggirkan posisi teman-teman pegiat cagar budaya yang secara konsisten
bergerak dalam rangka penyelamatan aset budaya lokal.
“Meski
tidak ada hirarki, saya harap teman-teman dari komunitas yang berbeda ini
memaksimalkan otoritasnya masing-masing, tetapi berjalan pada muara yang sama,
yakni merawat kecagarbudayaan lokal dan meluruskan narasi sejarah Situbondo
yang kurang tepat itu,” lanjut Irwan.
Komunitas
yang dimaksud Irwan antara lain: LSM Wirabumi, Rumah Sejarah Balumbung (RSB), Situbondo Residual Concourse (SRC), Generasi Sadar Sejarah Situbondo
(Gessit), Info Warga Situbondo (IWS), Takanta.id, dan Literasi Sumberanyar.
Irwan
juga menjelaskan bahwa diskusi ini diselenggarakan untuk meresmikan satu
komunitas pendukung, yakni Pusat Informasi Cagar Budaya Situbondo (PICB). PICB
yang swadaya ini diharapkan dapat menjadi rujukan data arkeologi di Situbondo.
“Jadi,
data arkeologi hasil observasi kita, teman-teman, itu bisa dikumpulkan di PICB
ini. Tujuannya ketika ada yang bertanya atau membutuhkan informasi data arkeologi,
rujukannya ya ke PICB ini,” jelas Irwan.
Ada
dua bentuk produk yang akan digarap PICB, data arkeologi manual dan virtual.
Data arkeologi manual bisa diakses dengan mendatangi langsung ke PICB. Data
dapat difotokopi. Sedangkan yang virtual bisa diakses melalui website PICB yang
sedang dalam penggarapan.
Kim
dari SRC kemudian menjelaskan keterhubungan tiga komunitas tersebut yang
memiliki peran strategis. PICB sebagai penyimpan data arkeologi atau registrasi
cagar budaya, RSB sebagai tempat penyimpanan artefak, SRC sebagai penghimpun
dan mengolah referensi data sejarah yang telah dinarasikan. Tiga komunitas
tersebut akan dikawal oleh LSM Wirabumi yang fokus bergerak di bidang advokasi.
“Dari
semua data yang dihimpun itu, output nya
nanti berupa buku. Buku sejarah Situbondo,” jelas Kim.
Pada
teknisnya, Kim mengajak Marlutfi untuk terlibat dalam proses pembuatan buku
sejarah tersebut.
Saat
diskusi berlangsung, saya duduk diantara Ilyas dan Faris. Ilyas merupakan warga
Asembagus yang tertarik pada sejarah lokal. Sementara Faris adalah anggota Gessit. Menurut Faris, setelah
diresmikan pada 2017, Gessit
secara khusus bergerak sebagai distributor informasi sejarah lokal di kalangan
pelajar di Situbondo. Di samping Ilyas, Novianto duduk sambil sesekali menulis
catatan. Ia datang mewakili IWS.
Di
depan peserta diskusi berjejer dua piring berisi pisang goreng dan tiga toples
kecil berisi jagung marning. “Monggo
gorengannya, mas. Jangan nulis terus,” ajak saya pada Novianto. Saya
tersenyum, Novinato juga tersenyum lalu menyimak lagi dan mencatat lagi.
Pemerintah
Mengecewakan
Dalam
upaya penyelamatan cagar budaya lokal, Irwan pesimis terhadap peran pemerintah.
Dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Situbondo. Irwan
menilai, instansi tersebut gerakannya terbilang setengah hati, bahkan tidak
serius.
“Kalau
kita hanya menyandarkan pada peran pemerintah, yang ada hanya kekecewaan,” keluh Irwan.
Penilaian
Irwan bukan tanpa alasan. Irwan bercerita pengalamannya lagi. Irwan pernah
melakukan observasi ke Situs Melek baru-baru ini. Ia mendapati struktur situs
ada yang rusak. Hal tersebut kemudian disuarakan oleh pegiat cagar budaya
Asembagus, namun tidak kunjung ada respon dari dinas.
Kasus
lain, Irwan menemukan satu artefak yang datanya tertulis milik Situbondo.
Artefak tersebut didata oleh Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala (SPSP) pada
tahun 1988, SPSP kemudian berganti nama menjadi BPCB. Artefak itu masih atas
kepemilikan seseorang atau pribadi. Ia melaporkan itu pada orang dinas. Dengan
harapan dinas berkenan “membawa pulang” artefak tersebut sebagai upaya
penyelamatan aset budaya lokal. Tetapi orang dinas selalu bilang tidak ada
anggaran untuk hal itu.
“Padahal
untuk benda semacam itu butuh langkah taktis. Butuh cepat untuk diselamatkan.
Saya khawatir benda itu hilang di pasar gelap jika tidak segera dikuasai oleh
pemerintah daerah secara resmi,” harap Irwan.
Upaya
Irwan menyelamatkan aset budaya lokal itu sering mendapat tanggapan miring. Ia
dan beberapa pegiat cagar budaya dianggap akan membisniskan atau menjual temuan
benda-benda cagar budaya itu. Oleh karena itu Irwan berpendapat bahwa
benda-benda yang diduga maupun yang telah resmi sebagai cagar budaya harus
dikuasai atau atas kepemilikan lembaga.
“Kalau
dikuasai pribadi, ada kemungkinan anak-cucu orang tersebut tidak paham
pentingnya benda cagar budaya itu lalu menjualnya,” tutur Irwan.
Cara
lain yang Irwan dan teman-teman pegiat cagar budaya lakukan yakni dengan
mendekati kolektor. Langkah ini bukan untuk mejual-belikan benda-benda cagar
budaya itu tetapi untuk menghimpun informasi atau penelurusan kemungkinan
benda-benda cagar budaya itu berada di tangan kolektor. Sebagaimana batu cagar
budaya dengan data tahun 1395 saka yang ditemukan Irwan dan Kim berada di
kolektor dan berhasil diselamatkan. Cara ini tidak pernah dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Pemerintah
daerah sering alpa kalau benda cagar budayanya telah diperjualbelikan. Karena
pemerintah tidak pernah turun untuk menginventarisasi benda-benda cagar budaya
yang ada di wilayahnya.
“Kita
yang tahu itu ya miris. Makanya
kolektor itu kita dekati. Kita pepet. Untuk mengetahui rekam jejaknya
benda itu dari mana. Nah, pemerintah itu tidak bisa mengendus pasar gelap itu,” lanjut Kim.
Kim
bercerita pengalamannya ketika berkunjung ke Kukusan. Ia mendapati warga di
daerah tersebut menemukan benda cagar budaya. Termasuk emas. Warga penemu emas
melapor ke kepala desa. Tetapi kepala desa tidak mengetahui bahwa benda itu
sangat penting.
“Pak,
kaulâ nemu emas. Mana emasnya? Sobung
è jhuel,” Kim menirukan
dialog seorang warga dengan kepala desa.
Seketika
semua peserta diskusi tertawa. Sementara Irwan meminta Ilyas untuk menghidupkan
api di tungku. Karena airnya sudah dingin, sementara peserta yang lain hendak
membuat kopi. Ilyas kebetulan duduk di dekat tungku.
Undang-undang
Cagar Budaya
Marlutfi
menyapu pandangan ke semua peserta diskusi, lalu mencatat sesuatu di gawainya.
Kemudian, ia mengarahkan diskusi pada topik undang-undang cagar budaya.
“Apakah
gerakan teman-teman ini melanggar peraturan kecagarbudayaan?” tanya Marlutfi.
“Tidak,” Kim menjawab
seketika.
“Undang-undang
cagar budaya yang terbaru itu memperbolehkan hak kepemilikan benda cagar budaya
secara perorangan,”
lanjut Kim.
“Dalam
rangka penyelamatan kan, mas,” sela Marlutfi.
Kim
menyinggung pemerintah daerah yang sering tidak paham tentang mekanisme kepemilikan benda yang
diduga maupun yang sudah resmi cagar budaya.
“Ketika
kita blusukan lalu menemukan barang arkeolog, maka instansi, institusi, maupun
birokrasi tidak boleh serta merta mengambil barang itu. Karena itu hak pemilik
si penemu,”
jelas Kim.
Kim
merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pada Bab
IV pasal 12 ayat 1 dijelaskan bahwa, setiap orang dapat memiliki dan/atau
menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya,
dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang.
“Tetapi
ada catatan lain ketika barang itu ditemukan, maka si penemu harus melaporkan.
Saat melapor, pihak penerima laporan tidak boleh menyita barang itu karena itu
miliknya si penemu. Baru ketika sudah dilakukan penelitian oleh BPCB dan resmi
dinyatakan benda cagar budaya, barang itu boleh ditebus,” lanjut Kim.
Pernyataan
Kim sesuai dengan isi Pasal 16 ayat (1) Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang
dapat dialihkan kepemilikannya kepada negara atau setiap orang lain; (3)
pengalihan kepemilikan sebagaimana ayat 1 dapat dilakukan dengan cara
diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi dan/atau
penetapan atau putusan pengadilan; (4) Cagar Budaya yang telah dimiliki oleh
Negara tidak dapat dialihkan kepemilikannya.
Harapan
Baik
Pergerakan
teman-teman pegiat cagar budaya diharapkan dapat diaktualisasikan. Segenap ide
dan informasi sejarah lokal dapat dikonsep menjadi sebuah pertunjukan budaya.
Hal itu dipercaya dapat mendekatkan pemahaman sejarah lokal kepada generasi
muda secara lebih ringan dan menyenangkan.
“Sejarah
lokal, khususnya di Asembagus itu menarik kalau dibuat pertujukan teater atau
drama kolosal gitu,” saran Agus Radjana, seniman Asembagus yang dari awal
diskusi lebih banyak mendengarkan.
Sejarah
yang dimaksud Pak Agus yakni sejarah 5 September 1947. Saat itu terjadi agresi
militer Belanda di Asembagus. Agresi tersebut menjadikan Asembagus sebagai
benteng terakhir pertahanan Situbondo melawan Belanda. Pertempuran itu terjadi
di Pariopo dengan tokoh atau pahlawan lokal bernama Ismail Bakri.
“Ini
harapan baik. Kita tidak perlu bagusnya, tetapi spirit perjuangan melawan
penjajah oleh pejuang di Asembagus ini tersampaikan. Terutama dalam rangka
menumbuhkan semangat
patriotisme di kalangan generasi milenial,” tutup Pak Agus.
Menanggapi
ide Pak Agus, Iwenk dari RSB menginginkan keterhubungan antar komunitas berjalan
dengan baik dan intens. Agar setiap hal yang direncanakan menjadi satu
distribusi informasi sejarah yang valid. Tidak lagi fiksi atau fiktif. Senada
dengan Iwenk, Agung dari Pokdarwis Situbondo juga optimis gerakan teman-teman
pegiat cagar budaya dan sejarah ini menjadi daya tawar yang baik untuk
pariwisata. Kuncinya kolaborasi.
Marlutfi
menyisir pandangan ke semua peserta diskusi. Ia memastikan peserta diskusi
tidak ada yang terlewat untuk menyampaikan pendapatnya. Peserta bilang cukup.
Marlutfi menutup diskusi dengan singkat.
“Teruslah
memperbanyak diri dengan ide-ide kreatif,” tutupnya.
Mereka,
yang berkumpul selama tiga jam ini, bukanlah orang-orang barisan sakit hati,
yang terlempar atau tidak dapat jatah kursi di pemerintahan kota. Tetapi, mereka
duduk bersama dengan persamaan rasa: kesadaran kolektif tentang
ketidakberpihakan pemerintah kota terhadap pegiat cagar budaya dan sejarah.
Mereka berkumpul, ngopi, diskusi, berusaha berbuat yang baik untuk kotanya.
Lalu mengulanginya dengan cara yang menyenangkan. Karena, memang seperti itulah
seharusnya hidup ini dijalani. []
Diskusi Penyelamatan Cagar Budaya: Sebuah Ikhtiar Membuka Mata Pemerintah Situbondo
Reviewed by takanta
on
Juli 14, 2019
Rating: 5
mantaaap
BalasHapusThanks,bang~
HapusLuar biasa jurnalisme sastrawi
BalasHapusMasih belajar 😃
HapusOwalah jadi acara ini tho kmrn, aku penasaran soale hha mantabbb
BalasHapusHehe, thanks, bro~
Hapus