Oleh:
Mohammad Farhan*
Saya
tidak punya menu khusus dalam hal makanan. Saya bisa makan dengan menu-lauk apa
saja dengan sama nikmatnya. Misalnya, saya bisa makan dengan lauk mie instan
yang sudah direbus plus menu tambahan
ikan bakar. Bagi sebagian orang, paduan menu tersebut mungkin terasa aneh dan
tidak nyambung. Apalagi Anda yang hidup dalam keluarga yang lihai memasak.
Kebiasaan saya itu pastilah jadi bahan olok-olokan yang renyah. Tapi, saya
tidak peduli. hehe
Ketika
makan, saya pun tidak bisa duduk di satu tempat. Makan pertama di depan TV,
kalau nambah, saya bisa pindah ke dapur atau ke teras depan. Di teras depan,
saya biasa makan dengan ditemani ayam-ayam kampung piaraan saya. Biasanya saya
berbagi makanan dengan mereka. Sambil makan, kepala ikan, tulang, dan gumpalan
nasi yang agak keras saya lempar ke kerumunan ayam. Mereka rebutan. Saya
bahagia.
Semua
itu karena saya ingin menikmati apapun yang ada di sekitar saya. Yang
ditakdirkan datang untuk saya. Sederhana. Mengalir saja. Makanan-makanan itu,
adalah rejeki yang Tuhan kirim untuk saya. Mana mungkin saya menolaknya hanya
karena penilaian rasa sebagian orang bahwa itu menu yang tidak cocok. Tidak
nyambung dimakan bersamaan. Sedangkan ayam-ayam itu. Mereka adalah kawan makan
yang baik dan menyenangkan. Karena berkat mereka, tidak ada yang mubazir dari sisa
makanan yang tertinggal di piring. Yang sengaja tidak dihabiskan karena alasan
kenyang dan sebagainya.
Tapi
hari itu, saya tidak ingin berbagi makanan dengan ayam-ayam saya. Karena saya
sedang tidak di rumah. Saya sedang berada di Nine Cafe bersama Imron. Pagi itu,
saya baru bangun tidur. Dari lantai dua saya turun ke lantai satu.Saya lihat
Imron sudah bangun. Ia main laptop. Saya lihat ia memutar lagu via youtube.
Saya duduk persis di samping Imron.
“Kok
gak ada makanan, ya,” ujar saya sambil
melihat-lihat sekitar ruangan.
Imron
tidak merespon. Ia tetap main laptop sambil senyum-senyum sendiri. Saya rasa
dia mulai kesurupan jin cafe atau jangan-jangan dia tidak sepenuhnya sadar. Masih
ngelindur. Saya tengok laptopnya,
ternyata dia sedang menonton kartun. Dia mutar lagu plus film kartun secara bersamaan. Ya Allah, seusia Imron
tontonannya masih kartun. Pantas saja kalau dia gak berani menikah karena mungkin alam bawah sadarnya masih
anak-anak. Masih unyu-unyu. Tapi,
jangan khawatir, dia sudah tunangan, kok.
Jihu ala Wilda |
Tidak
berapa lama dari keanehan Imron, Wilda datang. Ia menyalami saya dan Imron
kemudian duduk di sebelah kanan saya.
“Wilda
bawa apa itu?” ujar Imron.
“Jihu,
mas,”
jawab Wilda.
“Wah,
enak itu. Cobalah buka. Saya lapar ini,” lanjut Imron.
Asem
Imron ini. Tadi saya ajak ngobrol gak
merespon. Giliran ke Wilda langsung nyambung. Benar-benar lelaki dengan
perangkat sensor perempuan yang lebih dominan Imron ini
Tanpa
pikir panjang, Wilda langsung mengeluarkan kotak oval dari dalam bungkus
plastik. Saya lihat gorengan dengan bahan tepung-tahu yang ditaburi sambal
cabai mentah yang ditumbuk. Mirip sambal geprek. Belum mencicipinya, saya sudah
kebayang pedasnya. Ubun-ubun sampai merespon salting khas orang kepedasan.
***
Ini
kali ke tiga saya makan jihu. Sebelumnya saya dua kali makan di rumah. Adik
saya biasanya beli di warung sebelah rumah. Harganya menyesuaikan. Seribu dapat
dua potong, dua ribu dapat empat potong dan seterusnya. Mau beli seribu atau
dua ribu rasa pedasnya menurut saya tetap sama. Lain hal dengan jihu buatan
Wilda.
Ada
yang berbeda dari jihu yang biasa saya makan dengan jihu buatan Wilda. Jika
biasanya saya makan jihu dengan cita rasa khas pedagang, kali ini saya makan
jihu khas penyair. Wiihh.. keren gak
tuh? Tapi, memangnya apa sih bedanya?
Ini
pengalaman pertama saya makan jihu rasa puisi. Saya coba mengalisisnya.
Wilda
datang ke cafe seorang diri dengan menenteng plastik berisi jihu. Wadahnya
terbuat dari plastik putih berbentuk oval. Wilda datang tanpa senyum dan tanpa
banyak bicara. Ia seperti murung atau jangan-jangan bersedih. Jika dipuisikan
kira-kira yang terjadi kalimat seperti ini:
Pada kesendirian
yang tak pernah beranjak ini
Aku menemui sepi yang teramat
panjang
Kujinjing sebungkus air mata dari
mataku, menemuimu
Agar Kau tahu, hatiku masih bersedih
karena kepergianmu
Wilda
membawa jihu dengan menyertakan 4 tusuk lidi yang ujungnya sudah lancip. Saya,
Imron dan Zaidi memakainya untuk mengambil jihu di dalam wadah. Kemudian
melahapnya. Wilda seolah ingin bilang bahwa,
Kau
tahu, hatiku masih luka
Kedatanganmu,
Sebagaimana
kepergianmu yang tergesa-gesa itu
Membuatku tertusuk-tusuk oleh
senyummu
Senyummu
yang kini ku sadari hanyalah palsu
Palsu!
Saya
berkali-kali bilang ke Wilda kalau jihu buatannya benar-benar enak. Paduan
tepung dan tahunya tidak begitu lengket. Ini bertolak belakang dari jihu yang
sering saya makan di rumah. Renyahnya mantap. Tidak terlalu kering, juga tidak
terlalu basah. Wilda seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ia tetap tabah.
Biarlah
luka ini mengering bersama kepergiannmu
Biarlah bekas senyummu terhapus oleh
sakitku atas kepalsuanmu
Biarlah hati ini menghapus namamu
dengan airmataku
Tak ada yang perlu ditulis lagi
Tidak ada!
Jihu
di mangkok putih itu sudah tandas. Saya, Imron dan Zaidi menikmatinya dengan
cara yang berbeda. Dengan kekhusukan yang berbeda. Zaidi lebih banyak
melahapnya dengan pelan dan tanpa komentar. Sementara Imron pura-pura kenyang
padahal masih lapar. Lah, buktinya dia lahap sampai potongan jihu terakhir kok.
Sepertinya Imron memang kesurupan jin cafe.
Bagi
saya, jihu buatan Wilda lebih banyak berpuisi. Ia seolah merangkum kesedihan di
hati Wilda yang berkali-kali dirundung sepi dan kehilangan. Benarkah demikian,
Wilda?
*) penulis
merupakan seorang lelaki yang dirundung duka dan kehilangan.
Jihu Rasa Puisi
Reviewed by takanta
on
Juli 29, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar