Menjadikan Buku sebagai Suluh
Oleh:
Muhammad Ghufron*
Sekelumit
Sosok
Suatu
hari di waktu pagi yang cerah, sosok berjanggut tebal itu pernah mempunyai
kebiasaan mulia. Duduk mematung di kursi sembari memangku buku ditemani secangkir
kopi dan rokok sambil menghadap sinar matahari. Kebiasaan itu dilakukan sehabis
bangun dari tidurnya di waktu pagi. Tak banyak yang dilakukan olehnya selain
bersetia mencumbui buku-buku. Itulah Karl Marx. Sosok yang menjadikan buku
sebagai jembatan menuju lorong-lorong ide dan pemikiran. Membaca buku seolah
menjadi ibadah wajib bagi Marx.
Hingga
terlahirlah ke dunia, aliran Marxisme yang membawa segudang misi ide-ide
tentang Karl Marx. Das Kapital yang tebalnya berjilid-jilid itu
merupakan kitab suci aliran ini. Pemikirannya secara gradual dikaji oleh para
pemikir dan tokoh-tokoh dunia sebagai rujukan merevolusi tatanan masyarakat yang
sedang mengalami kejumudan yang bertungkus-lumus dengan pengapnya
ketertindasan. Itulah mengapa di masa rezim Orde Baru yang bobrok itu, buku ini
dilarang terbit dan sempat sesekali dibredel.
Disaat
getirnya rezim` Orde Baru bertakhta, muncullah sosok yang hadir membawa
segudang ide ke tengah-tengah masyarakat republik Indonesia saat itu.
Menawarkan wawasan visioner tentang bangsa. Sebut saja Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur. Sosok yang dijuluki Sang Guru Bangsa tersebut merupakan representasi dari
sebuah ikhtiar melepaskan bangsa dari tubir kehancuran.
Serupa
dengan Karl Marx, Gus Dur merupakan pembaca buku yang ulung dan tekun. Semasih
duduk di bangku MTs dirinya telah berhasil menghatamkan Das Kapital nya Karl Marx yang tebalnya berjilid-jilid itu. Baginya
mencumbui buku merupakan suluh mengimajinasikan bangsa dan rujukan menambah
horizon pengetahuan.
Barangkali
wawasan kebangsaan yang lekat dengan pluralisme terlahir dari kebiasaan yang
mulia satu ini. Sebab menjadi musykil membidani ide-ide segar tentang wawasan
pluralisme jika tidak merujuk pada buku-buku.
Itulah
Gus Dur dan Karl Marx. Dua sosok pembaca buku yang selalu mengakrabi
aksara-aksara, menjadikan buku sebagai suluh menerangi kegelapan. Kini keduanya
merupakan salah satu representasi sosok manusia abadi yang karya-karyanya tak
akan lenyap begitu saja dalam rajutan narasi intelektual umat manusia. Kini keduanya
telah mangkat. Meninggalkan warisan berupa karya-karya yang patut kita renungi bersama.
Tentunya ihwal laku literasi yang harus
kita tiru.
Ada
Suluh dalam Diri Pembaca.
Sekelumit
dua sosok berkekasih buku seamsal Marx dan Gus Dur mengajarkan kita betapa
redupnya jika dunia tanpa buku. Seisi manusia di muka bumi ini seketika berubah
menjadi janggal dan berpongah-pongahan jika masih menampik gairah literasi.
Ada yang jadi tukang jagal dengan karakter
antagonis yang merindukan perkelahian sesama manusianya, ada juga yang selalu
menyetubuhi kebencian hingga lahirlah anak haram yang dinamai permusuhan. Dan
masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang timbul akibat kita tidak mencumbui
buku dan mengambil hikmah di dalamnya.
Kini
kegamangan dan rasa waswas untuk menepaki jalan masa depan semakin terasa. Kompleksitas
kehidupan umat manusia terbelenggu oleh jalan buntu. Sebab ide-ide dan wawasan
tak lagi mengalir secara jernih. Seketika menjadi beku. Inilah sepenggal
gambaran nestapa yang tercipta akibat kita menarik diri dari buku- buku. Sains
menjadi mati. Sastra seketika bungkam. Dan pemikiran pun ikut-ikutan macet.
Lihatlah
sejenak kondisi bebal pemuda-pemuda kita yang jauh dari buku-buku. Kita sungkan
meratapi problem anak muda yang semakin mengacuhkan diri dari gairah literasi. Akan
tampak ke permukaan perdebatan-perdabatan ngelantur tanpa makna yang dibuat
untuk menunjukkan eksistensinya sebagai seorang intelektual. Semuanya hanyalah
bungkus yang terlalu bergagah-gagahan menang sendiri. Padahal apa yang
dibicarakan nir- referensi.
Jika
kita hendak kembali sejenak megafirmasi diktum Latin yang berbunyi “ Historia Magistra Vitae”. Sejarah
adalah guru kehidupan. Maka kita akan kembali menemukan secercah inspirasi yang
berpendar relevan untuk kita kontekstualisasikan hingga kini. Inspirasi itu
berkelindan ihwal sejarah Indonesia merdeka yang tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari kuatnya basis membaca founding
fathers.
Lihat
saja pergumulan heroik Tan Malaka, Bung Karno, Syutan Sjahrir, dan Bung Hatta
dengan buku-buku. Tan Malaka misalnya, saat hendak studi ke Belanda seorang ibu
kosnya berkata wajah Tan Malaka seolah berwarna hijau saking terlalu lamanya
mencumbui buku.
Hal
serupa juga terjadi pada diri Bung Hatta saat diasingkan ke Digul. Dirinya
masih menyempatkan diri mengemas buku-bukunya sebanyak 16 peti. Bahkan dari
saking mulianya buku dalam diri Hatta, jangankan tangan manusia, setitik debu
pun harus hilang dari setiap buku. Lain halnya dengan Bung Karno yang
menjadikan buku sebagai mahar meminang sang istri, ibu Rahmi.
Tak
ayal jika pada masa kolonial Belanda, ide-ide mereka sanggup mengisi
relung-relung publik sebagai pemantik api perjuangan. Mereka sanggup menjadikan
buku sebagai suluh mengimajinasikan bangsa dan menjadikan gairah literasi
sebagai laku hidup mereka.
Bagi
mereka buku menjadi bungkus sekaligus substansi yang bisa menjadi penuntun ke
arah pemuliaan adab bangsa Indonesia. Berusaha mengambil hikmah dibalik buku
untuk kemudian dimanifestasikan dalam laku sehari-hari. Karenanya buku
merupakan sirkulasi pengetahuan yang bisa dijadikan teman setia sambil merenungi
hakikat diri sebagai manusia. Dengan begitu, buku menjadi semacam pemantik
untuk mengaktualisasikan proses humanisasi dalam ranah praksis.
Membungkus
diri dengan buku, berarti kita telah berupaya membangun narasi intelektual.
Kita lalu menjadi manusia yang tak hanya mematutkan diri seraya menghamba pada sampah-sampah
peradaban. Sebab dalam diri kita telah tersublimasi hikmah adiluhung yang
terdapat dalam buku-buku. Itulah mengapa K. H. Zainal Arifin Thoha pendiri komunitas
Kutub berujar, “ Bacalah semua buku. Jangan takut. Tuhan bersama bersama
pembaca buku”.
Tuhan
kita telah memberi salah satu suluh itu dalam buku. Para pembaca buku mempunyai
nyali untuk menapaki jalan terjal, berbatu, dan berduri dihadapan para pemuja anti
kebenaran. Sebab dirinya telah terbekali oleh petunjuk Tuhan yang
termanifestasi dalam buku. “Tuhan kita termanifestasi dalam buku”. Ucap
Azyumardi Azra suatu kali dalam Musyawarah Buku.
Tak
perlu cemas menghadapi situasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin
dinamis. Sebab kita telah mengantongi pundi-pundi pengetahuan yang bisa meluncurkan
ide-ide untuk membidani lahirnya negara yang berdaulat. Bukankah secara
historik ideologi bangsa kita terlahir dari pergumulan ide-ide pendiri bangsa?
Akhirnya,
melakukan ikhtiar dengan membaca buku, kita seolah menerobos lorong-lorong
pengap kejumudan. Pikiran pun seakan dibiarkan bertualang menjemput pengetahuan.
Sekalipun raga di belenggu, namun pikrian akan tetap leluasa bertualang menyusuri
taman-taman pengetahuan. “Kalian boleh saja memenjarakanku asalkan aku bersama
buku, karena dengan buku aku bebas”. Demikian Bung Hatta berujar. []
*)
Alumnus PP. Annuqayah Lubangsa dan MA 1 Annuqayah Guluk- guluk
Sumenep Madura. Karya-karyanya pernah dimuat di sejumlah media seperti, Radar
Madura, Kabar Madura, Mata Madura, NU Online dan Laduni.id.
Menjadikan Buku sebagai Suluh
Reviewed by takanta
on
Juli 11, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar