Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo
Situbondo, dulu punya beberapa nama yang terkenal.
Sekarang namanya banyak disebut oleh media, tapi dengan embel-embel “jalan” di
depannya: Jalan Situbondo. Itulah satu ruas jalan di Menteng, Jakarta Pusat.
oleh : Rusdi Mathari
INI tentang Situbondo, kota paling ujung timur di
Jawa, sebelum Banyuwangi. Dulu, ketika saya masih bersekolah di sana, kota itu
punya beberapa nama yang membanggakan bagi saya. Ada M. Rivai atlet nasional
jalan cepat, Rudy Keljtes pemain bola PSSI, dan Yudhis si pelukis. Tentu saja
yang paling terkenal adalah KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren
Syalafiyah Syafiiyah, Sukorejo.
Semasa hidupnya, dia termasuk kiai berpengaruh di kalangan NU. Kiai
berasal dari Pamekasan Madura, keturunan bangsawan, masih keturunan Sunan
Ampel; dan termasuk murid yang paling awal dari KH Hasyim Asyari, Jombang dan
KH Cholil, Bangkalan. Saya beruntung, pernah beberapa kali bertemu, menyalami,
dan mendengarkan Kiai berbicara.
Bapak saya [biasanya selepas salat Subuh], sering mengajak saya
berkunjung ke Sukorejo yang berjarak sekitar 30 kilo dari kota ke arah timur.
Kadang atas inisiatif bapak, kadang karena Kiai memang memanggil bapak untuk
menghadap. Biasanya hanya mengobrol soal agama, dan sesekali Kiai menyampaikan beberapa
informasi yang dianggap perlu diketahui oleh bapak yang wartawan. Kiai tahu,
bapak adalah aktivis Muhammadiyah; tapi Misdawi, adik bapak yang waktu itu
adalah salah satu orang kepercayaan Kiai, tampaknya memudahkan bapak memiliki
akses ke Kiai; dan Kiai sama sekali tak mempersoalkan kemuhammadiyahan bapak
atau ke-NU-an Pak Lik saya.
Pesantren Sukorejo menjadi terkenal, terutama karena menjadi tuan rumah
Muktamar NU ke 27 [1984]. Saya ingat, Sinar
Harapan [sebelum dibreidel 1986], koran sore tempat bapak
menjadi koresponden, mengirimkan dua wartawan: Padmono dan Totok Susilo.
Keduanya mendapat berita dan foto-foto eksklusif muktamar, antara lain karena
posisi Pak Lik dan bapak saya yang dekat dengan Kiai As’ad. Dari muktamar itu
pula, untuk kali pertama, saya tahu cara mengirim foto dan berita super cepat
pada zaman itu lewat sebuah mesin yang dipasang di rumah kami. Sangat berbeda
dengan cara bapak yang biasa mengirim berita cepat dengan sampul tertutup lewat
perusahaan ekspedisi Elteha. Bapak masih menyimpan beberapa foto [berukuran
besar] kiai dan tokoh NU yang waktu itu hadir di Muktamar, termasuk Gus Dur dan
KH Achmad Siddiq, dari Jember; hasil jepretan om Totok.
Muktamar di Sukorejo juga menjadi terkenal, karena keputusan NU untuk
kembali khittah dan menerima
azas tunggal Pancasila; meski tentu saat itu juga muncul kontroversi. Antara
lain karena keputusan Kiai As’ad, yang menyatakan mufarraqah dengan Gus Dur. Kiai
tidak setuju dengan pernyataan Gus Dur yang waktu itu mewakili generasi muda NU
untuk mengganti ucapan “assalamualaikum” dengan ucapan
“selamat pagi” atau “selamat malam.” Konon pula, waktu itu, Gus Dur meminta
maaf kepada Kiai, tapi kiai tetap pada pendirian mufarraqah atau tidak
[mau] menyapa sebelum Gus Dur menarik ucapannya.
Pernah suatu hari, ketika saya sudah SMA, saya diajak bapak menghadap
Kiai. “Ada panggilan mendadak dari Kiai,” kata bapak. Di pesantren, saya
melihat sudah banyak mobil mewah. Belakangan, saya tahu, Kiai kedatangan LB
Moerdani. Moerdani sengaja datang ke Kiai untuk meminta restu agar bisa menjadi
orang penting di negeri ini tapi Kiai tak menjawab permintaan itu. Kata bapak,
waktu itu, Kiai sebaliknya malah menjelaskan tentang Islam kepada Moerdani. Wallahualam.
Kiai As’ad meninggal tahun 1990, beberapa bulan sebelum saya memutuskan
berangkat ke Jakarta dan menjadi freelance di Suara Pembaruan, pengganti Sinar Haparan. Saya datang bersama
bapak ke pesantren, tapi ribuan orang yang memadati pesantren menahan kami
hanya sampai mesjid. Saya melihat, ketika Kiai selesai di kubur, ratusan orang
silih berganti membaca Al Quran di sekitar kuburan Kiai [di belakang mesjid],
seperti tak putus-putus. Usia Kiai waktu itu 92 tahun.
Zubaidah, istri Kiai, meninggal beberapa tahun sebelumnya [kata bapak,
sebelum Muktamar 1984] karena terserang diabetes. Ketika masih dirawat di salah
saru rumah sakit di Surabaya, istri Kiai dirawat dengan pengawasan khusus dari
Abdul Syukur, Pak De saya yang kebetulan menjadi direktur di rumah sakit itu.
Pak De merasa memiliki ikatan batin dan moral dengan kiai dan karena itu dia
mengawasi langsung perawatan istri Kiai. Selain sesama berasal dari tanah
Madura [keluarga kami berasal dari Sumenep, sekitar 30 kilometer ke arah timur
Pamekasan]; di masa mudanya, Pak De dan bapak, sering mengaji ke Kiai.
Saya ingat cerita bapak, ketika Pak De menyarankan agar salah satu kaki
istri Kiai diamputasi untuk mencegah diabates bertambah parah. Kiai mendengar
takzim penjelasan Pak De, tapi sesudahnya menolak saran Pak De. “Kung
[panggilan untuk Abdul Syukur], kamu tahu, kaki itu yang menciptakan Allah.
Kalau kamu potong kaki ibumu, apa kamu bisa menggantinya? Aku tak mau kalau
ibumu itu meninggal, kuburannya ada dua. Satu untuk jasadnya, dan satu lagi
untuk kakinya.” Pak De terdiam. Kiai memutuskan membawa pulang istrinya ke
Situbondo, dan merawatnya di pesantren hingga meninggal.
Sejak Kiai As’ad meninggal, Situbondo nyaris tidak punya sosok yang
disegani. Kiai As’ad bukan saja kiai yang sederhana [mobilnya waktu itu hanya
sedan butut], tapi juga benar-benar menjaga agama dan tak mau ikut campur
urusan politik. Dia menolak NU dan pesantren terlibat politik, karena
menurutnya, hanya akan menghasilkan cakar-mencakar. Enam tahun setelah
dia meninggal, Situbondo dibakar oleh api kebencian: puluhan gereja di garis
pantai yang membentang kurang-lebih 70 kilo dari Besuki di barat hingga
Bayuputih di timur, dibakar. Sujiwo Tedjo, yang waktu itu menjadi wartawan Kompas menulis feature menarik
berjudul “Situbondo dik, kota Santri.”
Kata Bapak, saat kerusuhan itu, halaman rumah kami penuh dengan
kendaraan milik beberapa pengusaha Cina di Situbondo. Mereka menitipkan pada
bapak, karena punya kedekatan pribadi dengan bapak. Sebagian dari mereka adalah
murid-murid bapak, yang pernah belajar privat bahasa Inggris pada bapak. Para tukang
becak yang biasa mangkal di depan halaman rumah, ikut menjaga mobil-mobil itu.
Seperti Lebaran di tahun-tahun sebelumnya, Lebaran tahun ini saya pulang
ke Situbondo. Menyambangi bapak-ibu, sanak famili dan teman-teman, juga nyekar
ke makam Kiai di Sukorejo. Teman-teman saya, sebagian sudah jadi “orang” atau
“diorangkan.” Sebagian dekat dengan kalangan kiai dan sudah menjadi pejabat di
Situbondo. Sebagian tak berdaya secara sosial dan ekonomi. Dari beberapa teman,
yang dulu sama-sama jadi berandal di Situbondo, saya mendapat kabar, Lo Hong
mulai terserang diabetes. Badannya yang dulu gemuk kini kurus kering. Abyoh
yang dulu menjual minuman keras, mulai sakit-sakitan. Erick yang rapih
kalau membenahi sepeda motor bekas, sudah beristri dan masuk Islam.
Lebaran tahun ini, saya yang semakin tua,
merasakan Situbondo sudah banyak berubah, terutama karena setiap kali pulang ke
sana, saya selalu dipaksa melihat poster besar bergambar bupati [dan juga
istrinya] yang seperti tersenyum, dan dipasang di beberapa sudut kota. Di bawah
poster itu hanya tertulis ucapan selamat berlebaran dan permohonan maaf, tapi
entah apa yang telah diperbuat oleh bupati itu untuk Situbondo; karena bahkan
Kiai As’ad yang pernah menjadi anggota Konstituante [1957-1959] dan karena dia
antara lain Situbondo dikenal banyak orang; tak pernah memasang poster besar
bergambar dirinya di sudut-sudut kota apalagi bersama istrinya.
Ya, ini hanya kenangan saya tentang
Situbondo, kota terpanas kedua di Indonesia, setelah Palu; bukan tentang Jalan
Situbondo, di Menteng, Jakarta, yang dalam beberapa hari ini banyak diberitakan
oleh wartawan, karena di salah satu rumah di jalan itu, konon sedang
dipersiapkan transisi kekuasaan. Entah untuk siapa.
*Judul tulisan diadaptasi dari tulisan Sujiwo Tedjo berjusul “Situbondo
dik, kota Santri.”
Disalin dari rusdimathari.wordpress.com
Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo
Reviewed by Redaksi
on
Juli 11, 2019
Rating: 5
Hai, sesama perantau dari Situbondo di Jakarta. Saya kagum pada tulisan anda. Tentu anda adalah perantau yang lebih senior daripada saya. Tulisan anda membuat saya rindu kampung halaman.
BalasHapusCe' kerrong nga bule ka pato'an Cak!
Semoga selalu dilindungi tuhan.
Saya juga berasal dari desa yang tak jauh dari Sukorejo, dan kerap kali mengunjungi Salafiyah Syafi'iah, baik sekedar menyapa saudara2 atau berziarah. Tepatnya Asembagus.
Situbondo, dik, patennang!
Hapus