hipwee.com
Oleh: Fata Sang Pujangga*)
Menyapa kota kelahiran mengandung kerinduan pada orang-orang yang ditinggalkan: keluarga, kerabat dan sahabat yang tak punya
alasan untuk dilupakan. Dari kota yang merajai seluruh kota di negeri ini, sebagai
perantau yang tersesat di jalan yang benar, saya ingin menuai kata-demi kata
dari tangkai-tangkai pohon kehidupan Kota Santri, yang sudah berusia dua abad
ini.
Ya, yang jelas tidak
menafsirkan tentang simbolis-simbolis di sekitar Alun-alun Situbondo, misal lambang
Garuda, Perahu Emas, dan lain-lain seperti yang sudah dibahas teman saya sebelumnya. Atau membicarakan pembangunan taman-taman yang menghabiskan dana besar, namun manfaatnya tidak banyak dirasakan oleh semua kalangan.
Tunggu sebentar,
mengomentari hal itu, harusnya pemerintah sebagai pelayan rakyat membangun daerahnya sesuai
dengan kebutuhan rakyatnya dong.
Artinya apa yang mereka bangun sesuai dengan keinginan rakyat serta
menguntungkan rakyat, bukan kemudian ditafsirkan sendiri kebutuhan rakyat itu
apa, sehingga pembangunan pun tidak jelas arahnya.
Lebih parah lagi
pembangunan taman-taman—misal taman
pancing dan lain sebagainya—hanya atas dasar kebutuhan elit-elit birokrat
sendiri yang menguntungkan mereka dan para kontraktor. Bisa jadi seperti itu,
ini kan asumsi saja. Toh, dampak
terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat juga minim. Tapi kita posiitif saja
lah, barangkali tujuan pemerintah melakukan pembangunan semacam itu hanya untuk
membingkai Kota Santri, biar tidak terasa basi untuk dinikmati dan tidak
terlihat mati. Lumayan lah, daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.
Kabar Bahagia, Bukan?!
Di usia yang ke-201
tahun ini, katanya—saya yakin tidak semua
masyarakat tahu—dua minggu yang lalu, saya mendapat kabar bahwa kabupaten
yang mendapat julukan Kota Santri ini menjadi salah satu daerah yang bebas dari
status sebelumnya yaitu daerah tertinggal. Seperti yang dilansir Kompas.com (03, Agustus) kemarin, status
baru tersebut mendapat ilham dari Keputusan Menteri Desa yaitu, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi nomer 79
tahun 2019 tentang Penetapan Kabupaten Tertinggal yang terentaskan Tahun
2015-2019, hal itu ditetapkan sejak 31 Juli 2019 lalu. Lantas apakah ini menjadi kabar bahagia atau
sedikit menyenangkan atau biasa-biasa saja? Ya, menurutku sedikit menyenangkan
saja. Entah kalian!
Di sini cukup
menarik ya, katanya sih alasan
ketertinggalan Situbondo itu menurut informasi yang beredar, Situbondo lemah di
SDM, Infrastruktur, kemampuan keuangan daerah, dan karakteristik daerah.
Beberapa hal di atas merupakan bagian dari kriteria daerah tertinggal
berdasarkan Perpres 131 tahun 2015.
Sampai di sini, saya
ingin mengajak sahabat-sahabat mengais satu persatu kriteria di atas. Mengapa ya Kota Santri ini lemah di SDM? Menurut
saya—entah pendapat kalian—sumber
daya manusia yang lemah, infrastruktur yang lemah dan kriteria-kriteria lainnya
di atas itu disebabkan rendahnya kualitas pejabat birokrasi. Logikanya pejabat
birokrasi yang berkualitas dan professional tentu mereka akan membantu
pemerintah dalam membangun daerah lebih maju. Harusnya mereka menawarkan
program bagaimana sumber daya manusia di Situbondo itu berkualitas,
perekonomian masyarakat berkembang, infrastruktur dan lain-lainnya itu memadai,
bukan hanya mengikuti perintah atasan, atau bahkan sekadar melakukan tuntutan pekerjaan
dengan terpaksa karena sekadar alasan kebutuhan hidup. Dalam hal ini, Bupati sebagai
pemangku kebijakan wajib bertindak tegas donk,
tidak memelihara pejabat sekelas itu, kalau memang ada, ya. Sehingga ada alasan untuk melakukan reformasi birokrasi. Jangan
menunggu kesalahan bawahannya terungkap ke publik, bapak baru mau melakukan
tindakan, ya.
Apa mungkin
reformasi birokrasi dilakukan? Ya mungkin lah, tergantung pemimpinnya,
sebenarnya Situbondo tidak kekurangan SDM yang berkualitas untuk mengelola
pemerintahan, hanya saja mereka kalah dengan pendekatan kekerabatan. Juga
karena kultur ideologis yang feodalistis belum tersisihkan dari Kota Santri
ini. Sehingga membuat mereka kabur ke daerah lain. Kemungkinan besar masyarakat
lokal akan punah dan tersisihkan dari gedung-gedung birokrasi itu. Kalau tidak
percaya coba lihat saja berapa persentase masyarakat lokal yang menduduki
pejabat-pejabat pemerintahan. Eh, ingat loh,
bukan karena minimnya masyarakat lokal yang mampu mendapat tugas-tugas itu ya.
Tapi saya juga
heran, sedikit tidak percaya, kok bisa
terlepas dari status daerah tertinggal? Mengutip pernyataan Kepala Dinas
Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa Provinsi Jawa Timur di Kompas.com, yaitu karena pencapaian pembangunan di bidang ekonomi,
SDM dan infrastruktur serta pelayanan tersebut, memberikan kontribusi
signifikan dari ketertinggalan. Apa iya? Tanya saja sendiri.
Kalau kamu tidak
percaya pemerintah, lebih baik kamu gantikan saja mereka tuh! Eh, bukan begitu,
yang membuat aku tidak yakin itu pencapaian pembangunan di bidang ekonomi ini
bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Wakil Ketua DPRD Situbondo,
Zainiye (Radar BWI, 08/05/2018) tahun lalu, ia menyampaikan bahwa tren ekonomi
cenderung stagnan bahkan menurun beberapa tahun terakhir. Lantas tahun ini
tiba-tiba pencapaiannya sangat signifikan sampai melepas status jomblonya, eh status ketertinggalan.
Kalau memang secepat itu kenapa tidak dari dulu?
Oh iya, selain itu setelah
Kota Santri bebas sebagai daerah tertinggal, beberapa hari kemudian viral Guru
Honorer mogok ngajar dan membuat siswa terlantar 8 bulan. Peristiwa itu terjadi
di SDN 8 Curah Tatal. Honor tidak sebanding dengan medan bukit terjal yang
harus ditempuh ke sekolah tersebut, menjadi alasan 4 guru berhenti mengajar.
Lantas siapa yang patut disalahkan, guru, murid atau jalan yang terjal? Tentu
bukan mereka ya! Saya pikir masih banyak sekolah yang mengalami hal serupa di kota
tercinta ini. Masihkah kita yakin dengan terbebasnya Kota Santri dari daerah
tertinggal? Sedangkan aksesibilitas, SDM, infrastruktur dan kriteria lainnya
itu belum tercapai—seperti yang dikatakan
siapa tadi di atas itu?—yang salah
satunya telah digambarkan dengan fenomena terlantarnya siswa SDN 8 Curah Tatal.
Belum lagi bicara
korupsi, bulan lalu jatimpos.id (19/07)
melansir pemberitaan terkait pengaduan korupsi di Kabupaten Situbondo.
Penasehat KPK Budi Santoso mengatakan, sejak tahun 2014 hingga sekarang (2019) ada
50 pengaduan masyarakat ke KPK terkait kasus dugaan korupsi, dari 50 kasus
tersebut, 33 laporan diarsipkan karena tidak memenuhi syarat tindak pidana
korupsi. Sedangkan 17 pengaduan lainya
ditindak lanjuti. Belum lagi tentang kemiskinan. Ini berarti apa? Pemerintah
telah gagal!
Kalau kita kaitkan dengan buku “Why Nations Fail” karya Acemoglu dan Robinson itu, di mana mereka
menjelaskan negara bisa gagal atau tidak ditentukan dua aspek: pertama apakah
negara tersebut berada di bawah sistem lembaga ekonomi dan lembaga politik yang
ektraksif atau berada di bawah lembaga ekonomi yang inklusif? Di sini kalau
boleh saya sederhanakan, mereka menjelaskan ekonomi yang tumbuh di bawah
naungan lembaga ekonomi yang inklusif. Lembaga itu menjamin hak kepemilikan
pribadi, hukum dan ketertiban, hingga akses pendidikan. Lembaga ekonomi
bersifat terbuka dan relatif bebas dimasuki bisnis baru, memberikan peluang
bagi sebagian besar warga negara, misalnya untuk berinvestasi dan berinovasi.
Lembaga ekonomi inklusif butuh lembaga politik yang tersentralisasi dan plural.
Sebaliknya,
lembaga ekonomi ekstraktif dirancang segelintir elit untuk menghisap sumber daya
dari seluruh masyarakat. Ia tumbuh di lembaga politik absolut. Kalau kita
membaca kondisi Situbondo dari perspektif kedua penulis tersebut—meskipun penelitian mereka skala besar
(negara) dan Situbondo hanya lingkup kecil (kabupaten)—sangat relevan yang dapat
membawa kita berani mengatakan Situbondo berada di bawah lembaga ekonomi yang
ekstraktif dan lembaga politik yang absolut.
Lalu
apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda Kota Santri? Mari kita
lakukan yang terbaik apa yang kita bisa. Jika 201 tahun orang-orang berambut
putih tidak bisa merubahnya, dan itu adalah waktu yang terlalu lama, maka satu
kalimat dan satu tindakan dari para pemuda ini lah, akan lahir Situbondo yang
lebih terbuka, maju dan dipandang. Melepas persembunyiannya dari ketiak
Kota-kota lain. Selamat Harjakasi!
*)Penulis merupakan Pengamat Dunia Perkopian. Saat ini sedang melanjutan studi S2 di Unversitas Nasional, Jakarta.
Apa Kabar Situbondo?
Reviewed by takanta
on
Agustus 16, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar