Cerpen: Kota Air Mata
Oleh: Alif Febriyantoro
“Menangislah, Naila! Sebab air mata itu menyembuhkan,” ucap seorang pemulung kepada anak gadisnya, di sebuah terminal yang lengang, di sebuah trotoar jalan yang retak. Pada siang yang teriknya menembus kepala, mereka berteduh di bawah pohon Angsana.
“Menangislah, Naila! Sebab air mata itu menyembuhkan,” ucap seorang pemulung kepada anak gadisnya, di sebuah terminal yang lengang, di sebuah trotoar jalan yang retak. Pada siang yang teriknya menembus kepala, mereka berteduh di bawah pohon Angsana.
“Menangislah, tidak apa-apa.”
“Ayah sudah janji!”
Laki-laki itu hanya diam. Dan setelah hampir 30 menit gadis kecil itu
dibiarkan menangis, tiba-tiba saja ia berkata kepada ayahnya:
“Menangis itu melelahkan, Yah. Bukan
menyembuhkan!”
Mendengar penjelasan anak gadisnya,
laki-laki itu kemudian tertawa. “Sini duduk di pangkuan Ayah.”
Dengan girang gadis itu pun meloncat ke pangkuan ayahnya.
“Ini es krim untukmu,” tegas laki-laki itu sambil membasuh air mata anak gadisnya
dengan tangannya, “tapi sepertinya es krimnya sudah mencair.”
“Tidak apa-apa, Ayah. Naila suka!”
Sementara di pipi gadis kecil itu terlihat
debu-debu menempel, bersama
bekas air matanya.
Ini adalah cerita tentang kota Goosamp, sebuah kota terpencil di sisi
timur Pulau Jawa. Ini adalah cerita tentang air mata. Ini juga cerita tentang
rasa kemanusiaan, dari segala keanehannya.
Di kota ini, air mata tidak dibasuh
dengan tisu. Melainkan dengan tangan orang yang kita sayang. Di kota ini, tak
ada pabrik yang memproduksi tisu. Pemerintah melarang tegas. Alasannya,
pemerintah ingin masyarakat mengedepankan rasa kemanusiaan daripada rasa
kebendaan.
“Tidak apa-apa kota kita menjadi kota
yang miskin. Yang terpenting adalah kita semua kaya dengan rasa kemanusiaan,”
tutur Pak Bupati yang sudah menjabat selama 2 periode pada media lokal yang
sedang mewawancarainya.
“Yang terpenting
lagi adalah, terbukti bahwa tingkat kejahatan telah menurun,” tegas Kapolres di
sebelahnya.
“Benar. Karena kebersamaan akan mengalahkan keresahan,” sambung seorang
Budayawan.
“Alhamdulillah…,” ucap Pak
Kiai berkali-kali.
Selama dua tahun menjabat sebagai
Bupati, kota ini terlihat baik-baik saja dengan rasa kemanusiaan. Masyarakat
terlihat makmur. Mereka semua serba melengkapi, saling berbagi. Kota ini pun
bersih dari yang namanya Kapitalis Sipit. Bahkan sudah banyak investor asing yang
ingin masuk, namun pemerintah menolak mereka mentah-mentah.
Sebenarnya, kalau boleh jujur, ini
adalah cerita yang miris sekali. Saya, sebagai penulis cerita, hanya bisa
menggambarkan sebagian dari keadaan di kota ini yang terlihat baik-baik saja; seorang
pengemis terlihat gembira, seorang petani masih tersenyum walau sebenarnya tak
ada yang bisa dipanen, seorang nelayan pergi ke tengah laut, kemudian ia
kembali menepi dengan keadaan tertawa walau tak mendapatkan hasil tangkapan.
Ini adalah kota yang miskin, tapi kenapa masyarakat hidup dengan bahagia?
Karena pemerintah melarang saya untuk
mengubah alur cerita, maka saya putuskan untuk menulis cerita tentang hal lain.
***
“Menangislah, Naila! Sebab air mata itu
menyembuhkan.”
Hanya kalimat itu yang saya pikirkan
saat ini. Sebuah kalimat yang disampaikan seorang ayah kepada anak gadisnya
yang terus-menerus menangis karena janji ayahnya yang akan membelikannya
sebatang es krim.
Ternyata laki-laki itu sudah menyimpan sebatang
es krim di balik punggungnya. Hanya saja laki-laki itu menahannya untuk
mengejutkan anak gadisnya itu. Dan pada saat itulah saya benar-benar melihat
kebahagiaan yang murni.
Sementara di luar terminal, jalanan
tampak ramai. Ada semacam karnaval. Hari ini, tanggal 15 Agustus 2019, kota ini
merayakan hari jadinya. Di alun-alun kota, berbagai macam lomba
diselenggarakan. Ramai sekali.
“Ayah, kenapa kota kita jadi rame
begini? Ke sana yuk.”
“Itu tidak penting, Naila.”
“Kenapa seperti itu?”
“Kalaupun kita ikut berkumpul di sana,
kamu tidak akan dapat es krim.”
“Naila tidak mengerti apa maksud Ayah.”
“Maksud Ayah, mending kamu di sini
saja. Habisin es krimmu itu.”
“Oh....”
Melihat dan mendengar langsung
percakapan mereka, saya jadi tersenyum. Menyaksikan keakraban mereka, sungguh gemas
sekali.
Kemudian gadis kecil itu berdiri.
“Kota kita ulang tahun ya, Yah?”
“Lho kamu tahu dari mana?”
“Itu ada orang-orang yang membawa kue
ulang tahun, besar banget.”
Laki-laki itu tersenyum. Saya juga
tersenyum.
“Memangnya, ulang tahun itu harus
dirayakan ya, Yah?” gadis kecil itu bertanya lagi.
Tiba-tiba wajah laki-laki itu menjadi
murung. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup berat. Saya rasa laki-laki
itu akan mengalihkan topik pembicaraan.
Namun ternyata laki-laki itu hanya
diam. Dan anak gadisnya itu tak banyak melakukan sesuatu. Ia hanya duduk di
sebelah ayahnya. Tangannya yang mungil meraih sesuatu dari dalam karung yang
ada di sampingnya. Ia mengambil sebuah buku gambar dan sebuah pensil. Dan ia
terlihat sedang menggambar sesuatu.
“Ayah bisa gambar wajah Ibu?”
Deg! Ada sesuatu yang membuat dada saya tersentak. Saat itu juga,
saya melihat mata laki-laki itu berlinang.
“Tidak perlu digambar, Naila. Coba kamu
ambil pecahan kaca di karung.”
Anak gadis itu menuruti apa yang
dikatakan ayahnya.
“Ini, Yah.”
“Terus buat apa?” lanjut gadis itu
dengan sepasang mata yang penuh dengan tanda tanya.
“Lho, kamu pegang sendiri. Lalu kamu
lihat wajahmu sendiri. Dan kamu akan menemukan wajah ibumu di sana.”
Deg! Untuk kedua kalinya dada saya tersentak. Sedangkan di
sepasang mata tua laki-laki itu mengalir air mata. Ia kemudian memeluk anak
gadisnya itu. Air matanya mengalir ke pipi, lantas jatuh satu demi satu
membasahi rambut anak gadisnya.
Gadis kecil itu menoleh ke atas, ke
wajah ayahnya. “Ayah menangis?”
“Tidak, Naila. Ini keringat. Udara
siang ini panas sekali.”
“Ayah bohong. Itu mata Ayah merah.”
“Hmm... Ayah ngantuk, Naila.”
Cukup lama mereka berpelukan. Memang,
tak ada pemandangan lain yang bisa saya lihat selain keberadaan mereka.
Terminal ini sungguh sepi. Semua orang sibuk merayakan hari jadi kota Goosamp.
Sementara saya masih berada di sebuah warung. Kopi saya sudah habis. Dan saya
tak tahu harus membayar kepada siapa. Karena sejak tadi saya juga tak sadar ke mana
pemilik warung ini pergi.
Sampai di sini saya berharap ada hal
lain yang dapat saya lihat. Tentang kota ini. Tentang kota yang mempercayai
rasa kemanusiaan yang aneh. Karena ketika saya melihat ayah dan anak gadisnya
itu, saya percaya bahwa di kota ini masih banyak menyimpan kesedihan-kesedihan
lain. Memang tak bisa diterima akal, jika benar kota ini adalah kota
yang miskin, kenapa masyarakat masih terlihat bahagia? Atau pura-pura bahagia?
Dan saya rasa jika pemerintah terus
percaya dengan rasa kemanusiaan, lambat laun kota ini akan penuh dengan air
mata.
“Ayah, Naila lapar.”
“Ayah....” Gadis kecil itu
menarik-narik lengan baju ayahnya.
“Ayah tidur ya?”
Laki-laki itu terpejam. Di sela-sela
matanya, masih terlihat dengan jelas bekas air matanya. Sementara anak gadisnya
itu masih berusaha membangunkan ayahnya. Namun tetap tak ada jawaban.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya
ceritakan. Tetapi entah kenapa pada titik ini, saya tak bisa melanjutkannya lagi. (*)
Situbondo, 16 Agustus 2019
Alif Febriyantoro, lahir di Situbondo.
Masih suka melamun.
Cerpen: Kota Air Mata
Reviewed by takanta
on
Agustus 17, 2019
Rating: 5
Goonoeng samphane
BalasHapusGoonoeng Champagne
BalasHapus