Cerpen: Perempuan Bayang
Oleh: Ulfa Maulana
“Maaf, Pa. Lea nggak sengaja.” Lelaki bertubuh kekar itu tidak peduli. Disiramkannya kopi panas pada tubuhku yang hanya memakai kaos pendek. Aku berjengit menahan tangis. Bahkan luka bekas pukulan papa kemarin belum kering. Perih rasanya. Aku yakin besok kulitku akan melepuh.
“Maaf, Pa. Lea nggak sengaja.” Lelaki bertubuh kekar itu tidak peduli. Disiramkannya kopi panas pada tubuhku yang hanya memakai kaos pendek. Aku berjengit menahan tangis. Bahkan luka bekas pukulan papa kemarin belum kering. Perih rasanya. Aku yakin besok kulitku akan melepuh.
Jangan menangis, Lea. Tangisanmu
mengundang badai yang lebih besar.
Baiklah. Aku memang tidak suka pada cahaya.
Membenci. Bahkan mengutuknya. Gelap adalah candu yang memabukkan. Hingga aku
terbuai, terlena dan begitu memujanya. Gelap adalah kekuatan yang takkan pernah
kau duga.
“Jangan hidupkan lampunya,” ucapku
datar saat pintu ruangan berdecit.
“Sarapanmu.”
Aku hanya diam. Hingga ia meletakkan
makanan di atas meja sebelah kasurku. Ingat, kasur. Tanpa ranjang.
Setelah ia pergi, aku menghela napas.
Ah, sialnya harus kuakui ia mamaku. Lebih tepatnya mama tiri karena aku tak
pernah tahu ke mana ibu kandungku sebenarnya. Memang sekaku itu percakapan di antara
kami. Namun aku suka. Tanpa banyak kata. Tanpa banyak tingkah.
Aku, perempuan dalam kegelapan. Jangan
pernah membicarakan cahaya padaku. Cahaya sudah tenggelam di sore itu.
***
“Ayahmu ingin bicara,” ucap Mama. Aku
tetap diam berbaring membelakangi mereka. Persetan dengan tata krama.
“Saya akan mengumumkan kematianmu
besok. Jadi, saya harap kamu jangan menunjukkan diri di depan khalayak umum.”
Suara Ayah. Datar. Sedatar ekspresinya.
Tak ada air mata yang mengalir.
Walaupun sesak, bulir-bulir itu tak mau untuk sekadar hinggap di mataku. Aku
wanita. Dan aku tak pernah lagi menangis seperti mereka pada umumnya.
“Kau dengar perkataan Ayahmu, Nalea!” bentak
mama melihatku masih saja diam.
“Iya.” Cukup satu kata. Ayah pasti
tersenyum lebar di sana. Sedangkan mama berdesis marah. Biasalah, dia sang ratu
drama. Mencari muka di hadapan ayah. Menurutnya, aku itu kurang ajar. Dan aku
tak peduli. Toh ayah biasa-biasa saja. Aku hanya bersyukur saat ini masih
diperlakukan seperti manusia.
Mereka bodoh. Untuk apa repot-repot
membicarakan hal tak ada gunanya seperti itu. Walaupun rasanya menyakitkan, aku
dengan sukarela menutup diri dari dunia. Ah, bahkan dunia pun tak ingin
menampakkan diri padaku. Waktuku hanya diisi detik-detik menuju kematian. Mari
tertawa. Tak usah pikirkan perihal luka. Dalam gelap, kau akan kuat dengan
sendirinya.
Ini gila bukan? Ya, anggap saja aku
gila. Dan nyatanya aku memang sudah gila. Ada saatnya mungkin mereka mempunyai
rencana memasukkanku ke rumah sakit jiwa.
“Sabarlah, Nalea. Kau pasti akan abadi
menyetubuhi gelap. Saat ini mari kita bermain-main dulu bersama dunia.”
***
Masih di ruangan yang sama, pembahasan
yang sama. Jika kau muak membaca ini, sudahi saja. Aku tak ingin bertanggung
jawab dengan kernyitan di dahimu. Pun sumpah serapah mengomentari
ketidakjelasan ini dan itu.
Kau mungkin bertanya-tanya apa alasan
di balik keobsesianku terhadap gelap. Yang pasti seiring berjalannya cerita kau
akan paham. Luka apa yang kualami. Luka apa yang menjadikanku perempuan teguh
hati. Karena sejatinya luka akan membuatmu lebih kuat, bukan? Dan gelap bisa
mengajarkan bagaimana berjalan tanpa cahaya, ilmu yang tak ada teorinya.
“Sebenarnya kamu cantik, Nalea.” Entah kenapa perkataan Ari tiba-tiba
hadir. Lelaki berkacamata yang mempunyai nama lengkap Matahari itu satu-satunya
temanku pada masa-masa yang singkat di SMA. Ah, apa kabar dia sekarang.
Semenjak kejadian itu aku pun sudah tak bisa menghubungi siapa-siapa.
Benar-benar sendiri merawat luka.
“Siapa yang kau bilang cantik? Kau
buta?” Aku
tertawa. Hambar. Hampir tak percaya diri dengan diriku sendiri. Hitam. Bodoh.
Pemarah. Kata mama yang selalu diulang-ulang; aku adalah kutukan di keluarga.
Suka mengamuk dengan melempari segala sesuatu hingga pecah. Monster yang
menakutkan.
Puncaknya aku berada di sini. Di ruang
pengap tanpa jendela maupun celah masuk udara lainnya. Aku dituduh memukuli
anak rekan bisnis papa di sekolah. Proyek kerja sama batal dan harus menanggung
kerugian yang tak sedikit. Aku menjadi sasaran kemarahan. Walaupun sudah biasa
mendapat kekerasan fisik dan mental dari kecil, masa itu adalah masa yang sangat
membuatku terpuruk. Sedangkan aku tak mengingat apa-apa kecuali Matahari
meminjamkan jaketnya untuk menutupi seragamku yang terdapat noda darah.
“Bukankah hidup seharusnya kita isi
dengan hal-hal indah dan berguna?” Ah, suara itu lagi. Kenapa ia harus kembali
datang? Kepalaku pening mendengar ocehannya.
“Pergilah, Dalea! Kau tak perlu ikut
campur!”
Tanpa sadar aku melemparkan piring dan
gelas bekas makan. Menjambak rambut kumal berharap suara itu hilang. Dia
menyakitiku. Kupukuli kepala seiring denyutan yang semakin menusuk.
“Oh ayolah. Kau masih punya kesempatan
untuk bahagia, Nalea. Biarkan aku yang melakukannya. Serahkan saja padaku.”
Bahagia? Aku ingin muntah mendengarnya.
“Nyamanlah bersama kepribadianmu yang
ceria, Nalea. Jangan kau cumbui luka-luka itu.” Ari menatap mataku dalam. Kulihat
di kedalaman matanya terdapat cahaya. Dialah Matahari. Satu-satunya cahaya yang
melingkupi hari. Dialah Matahari. Dalam waktu yang tak lama namanya sudah punya
ruang sendiri pada dimensi hati. Dialah Matahari. Dan sekarang sudah tak dapat
kutemui lagi.
Bagaimana kembali menghadirkanmu,
Dalea? Aku sudah putus asa.
***
“Apa kau tidak risih berteman denga nku, Ri?” tanyaku pada Ari saat istirahat
pertama. Aku yang tak nyaman berada di tengah keramaian selalu membawa bekal
daripada berdesakan di kantin. Lalu menyantapnya di belakang sekolah ditemani
embusan angin dan Matahari.
“Why? Kenapa kamu bilang gitu, Nalea?”
Gerakan Ari yang hendak menyuap nasi goreng buatanku tiba-tiba terhenti. Setiap
hari aku memang memasak untuk diriku sendiri. Mereka tak pernah peduli.
“Aku ini termasuk orang yang aneh. Aku
yakin kau paham dengan apa yang aku maksud. Malah terkadang aku tak bisa
mengenali atau mengendalikan diriku sendiri. Ah, apa yang sudah aku lakukan
tadi pada Aisyila?”
Ari menghela napas. Sudah kuduga sedari
tadi dia hanya berusaha tenang setelah apa yang kulakukan. Apalagi dengan sesuatu
yang bersembunyi di balik jaket kebesaran yang kugunakan.
“Ini bukan sepenuhnya salahmu, Lea. Lingkungan
yang menjadikanmu seperti ini. Kau adalah akibat dari apa yang mereka perbuat.”
***
Kau masih tak mengerti alur hidupku
ini? Jika sudah, selamat. Kau termasuk orang-orang yang suka membaca buku atau
beruntung dapat mengetahuinya. Jika tidak, maka juga selamat. Cerita ini tambah
tak mempunyai makna. Dan aku suka.
Akupun sebenarnya tak bisa menyimpulkan
dengan akurat apa yang terjadi terhadap diriku. Nah, kau boleh menghujat pada
bagian ini. Lantas bagaimana pembaca bisa paham jika aku juga tak terlalu paham
saat menuliskannya? Atau begini saja, anggap ini adalah teka-teki agar kau
sedikit mau membaca dan berpikir masalah psikologi mana yang aku alami.
Dan biarkan aku kembali memperkenalkan
diri sebagai penutup cerita membosankan ini. Aku, perempuan dalam gelap.
Benar-benar gelap. Tak ada yang memperkenalkan cahaya padaku semenjak Matahari
sudah tak bisa kutatap. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdiam di sini; ruangan
pengap.
Semua yang menyangkut hidupku adalah
gelap. Mungkin kau bosan dengan terlalu banyaknya kata itu pada cerita ini. Dan
aku tak peduli. Aku hanya ingin menekankan bahwa diri ini benar-benar kesulitan
bernapas setiap kali rapuhku bertandang.
“Dasar anak setan!” Masih bisa kurekam
jelas perkataan papa. Setelahnya ia melemparkan gelas ke tembok samping
kepalaku. Lalu semua gelap. Pecahan gelas itu mengenai kornea mata. Aku tak
ingin menjelaskan detailnya di sini. Karena aku tak sedang menulis cerita jenis
Creepypasta. Cukup kau bayangkan saja bagaimana kejadian dan banyaknya
darah yang menetes.
Dua orang itu adalah psikopat gila.
Menyakiti pelan-pelan dan tak membiarkanku mati sekalian. Jeritku adalah tawa
mereka. Air mataku adalah semangat untuk semakin menyiksa. Dan aku sudah
terbiasa. Sudah paham bagaimana teorinya agar mereka kesal dan bosan. Cukup
diam. Mereka akan berhenti menghujam.
“Tanamkan sugesti bahwa setiap
permasalahan pasti menemukan jalan keluar, Nalea. Tanamkan sugesti kalau kau
mampu meraih cahaya-cahaya. Tanamkan sugesti kalau kau pasti bahagia. Dan jika
aku boleh meminta, tanamkan kepercayaan dalam hati kalau Tuhan selalu bersama
kita dan tak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya.” Suara ini...
“Matahari...,” lirihku. Apakah aku
berhalusinasi?
“Iya, Nalea. Aku di sini menjemputmu.
Mereka sudah di dalam kurungan besi.”
***
Tapi untuk kesekian kalinya, aku juga
tak tahu pasti apa yang kualami ini benar-benar terjadi atau tidak. Banyak hal
yang tak bisa diprediksi. Termasuk kenangan-kenangan dalam separuh jiwaku yang
hilang.
“Biarkan aku juga mengambil peran,
Nalea.”
Sepertinya, Dalea akan menulis kisah
dari sudut pandangnya juga. Tunggu saja.
Ulfa Maulana, Kelahiran Situbondo 12
Juli 2002.
Cerpen: Perempuan Bayang
Reviewed by takanta
on
Agustus 25, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar