Cerpen : Permainan Pelukan Karya Haryo Pamungkas
pixabay |
Oleh: Haryo Pamungkas
“Ayah, mengapa semua mendadak gelap?” Ia bertanya. Tangannya menggenggam erat tanganku. Sangat erat. Seperti mengenggam harap kuat-kuat.
“Ayah, mengapa semua mendadak gelap?” Ia bertanya. Tangannya menggenggam erat tanganku. Sangat erat. Seperti mengenggam harap kuat-kuat.
“Tidak
apa, Sayang, kita sedang bermain menutup mata.” Aku membelai rambutnya. Pelan;
mencoba memberinya ketenangan. Meski diam-diam aku mulai menyerah, air mataku mengucur
perlahan.
“Tapi
mengapa semua menjadi lebih dingin, Ayah?” Semakin erat genggamannya,
seolah-olah tak dapat lagi dilepas—begitu rekat.
“Mmmm,
apakah sangat dingin, Sayang? Mau bermain pelukan?”
Kali
ini, aku benar-benar menyerah ...
***
Aku
menatapnya sekali lagi, pada wajahnya yang semakin pucat. Dan kurasakan tubuh
yang tak henti-hentinya bergetar kecil. Alenia, gadis kecilku, tubuh mungilnya
gemigil menahan dingin. Bibirnya
gemeretuk. Dari menit ke menit dingin benar-benar terasa semakin menusuk,
menembus pakaian, dan bersentuhan langsung dengan kulit tanpa ampun. Semoga
kamu kuat, Sayang, untuk malam ini dingin akan berlalu panjang, batinku.
Aku
sadar, terakhir kali lidahnya mengecap roti hanya siang ini, setelahnya hanya
air. Ya, hanya air yang mengisi perutnya. Dengan air serta barangkali juga sisa
roti yang masih mengendap dalam perutnya itu ia mesti bertempur melawan dingin.
Melawan waktu, menunggu matahari bergerak; beranjak menghangatkan tubuh-tubuh
yang terasing.
Tapi,
adakah masih waktu?
Pada
siang ketika ia menyaksikan langsung rumah-rumah dirobohkan, genggamannya tak
seerat ini. Siang itu, ketika kerusuhan pecah, matanya nanar menatap
mobil-mobil besar yang merobohkan rumah-rumah. Aku tak tahu pasti apa yang ia
pikirkan, bahkan aku tak sempat ingin tahu. Aku sibuk mengambil barang-barang
dan tentu saja, ikut menghalang meski itu tak berarti banyak. Ia hanya menatap
dari jauh, berdiri seperti patung sambil memeluk boneka beruang kusam yang
kuhadiahkan pada ulang tahunnya ke-5. Tersirat sekilas melalui tatapannya:
mengapa mereka merobohkan rumah kita, Ayah?
Tak ada banyak waktu, pikirku. Aku mengangkat
tubuh kecilnya, mengecup keningnya, dan lekas membawanya pergi. Aku tak ingin
menanamkan kenangan buruk lebih dalam. Cukup, pikirku, atas semua yang
menimpanya selama ini. “Tidak apa, Sayang, kita akan punya rumah baru, yang
lebih besar,” jelasku, sebelum tanya itu benar-benar terucap. Kemudian ia hanya
menatapku, senyumnya getir! Aku berusaha menahan tangis, meski cukup gagal.
Namun aku tetap tak ingin menambah getir pada senyumnya.
“Ayah,”
tatapnya, “kita akan pergi ke mana?”
“Kita
akan pergi ke istana, Sayang. Istana besar seperti dalam dongeng dan Alenia
akan jadi putrinya, mau?” jawabku lekas, kemudian membelai rambutnya sekali
lagi. Aku menggendongnya; berjalan lebih cepat meninggalkan tempat penggusuran.
Kini
ia mengangguk-angguk kecil. Getir pada senyumya sedikit terangkat. Ah, gadis
kecilku, malaikat kecilku ... sudah terlau banyak kebohongan yang kuceritakan
kepadamu. Andaikan kamu tahu yang sebenarnya, apakah kebencian akan mendarah
pada nadimu?
“Apakah
ibu
juga menunggu di istana itu, Ayah?” Ia mengerjap. Mendengar tanya itu dadaku
koyak. Hancur lebur. Nasib telah menghantamku begitu keras. Andai kamu tahu
ibumu tak sekuat dirimu, Alenia, apakah kebencian juga akan mengendap dan
tumpah pada namanya, selamanya?
Ibumu
sudah pergi, Sayang. Meninggalkan nasib yang terkatung-katung padamu, padaku,
dan pada kita. Malam itu, tanpa sepatah kata pun ia berjalan memunggungiku
setelah kami bertengkar hebat. Ya, memang hampir setiap malam kami bertengkar
soal nasib baik yang ditangguhkan. Dan puncaknya adalah malam itu, ketika ia
memutuskan pergi meninggalkan semuanya.
“Aku
tak tahan!” bentaknya, “Kau membawaku terlalu jauh dalam lubang kesengsaraan,
semua ini ulahmu! Salahmu!” Aku tak tahu apakah kamu mendengarnya malam itu.
Tapi ibumu, Sayang; dengan tatapan nyalang memutuskan pergi meninggalkan kita.
“Ayah?”
ratapnya, membuyarkan lamunanku. “apakah ibu juga ada di istana besar itu?” Ia
masih mengerjap, memandangku dengan penuh tanya. Ah, tidak, bukan sekadar
tanya, tapi juga dengan harapan, memancar melalui bola matanya yang jernih.
“Tentu
saja ada, Sayang. Nanti ibu yang akan menyambut kita. Ibu akan melambai-lambai
dari menara istana.” Aku mengecup keningnya, memeluknya semakin erat dan terus
berjalan meski dengan tujuan entah.
Maafkan,
Sayang, sekali lagi aku harus memberimu kebohongan ...
Aku
memendam. Tak tahan lagi sebab kejujuran terlalu getir dan menyakitkan. Aku
membawanya menyusuri seluk-beluk Jakarta. Mendalami salah satu kota yang tak
pernah ramah. Siang begitu terik, debu-debu kian menampar wajah kami, dan keriuhan
Ibu kota yang tak terhindarkan itu perlahan menghampiri. Aku masih memendam
tanya: ke mana aku harus membawanya? Tapi tanya itu malah semakin membuatku
sesak, dadaku penuh oleh kesumat sekaligus kepasrahan: Tuhan, apakah takdir ini
benar-benar sudah tercatat?
***
Menjelang
petang, ia tertidur dalam pelukanku. Aku membawanya menuju lorong sempit di antara dua bangunan
yang menjulang di pinggiran Jakarta. Aku bersumpah: hanya untuk malam ini,
setidaknya ada tempat untuk bermalam. Meski hanya beralaskan kardus dan karung
yang sempat kubawa. Esok, entah bagaimana caranya aku harus bisa menyewa rumah
petak. Harus!
Aku
membangunkan; menggoyang-goyangkan tubuhnya perlahan. “Alenia, bangun, Sayang. Minum
dulu,” ucapku. Matanya perlahan-lahan terbuka. Ia menatapku, kemudian menatap
sekeliling, “Ayah, apakah kita sudah sampai di istana besar? Di mana Ibu?”
ucapnya pertama kali, bola matanya terlihat semakin membulat. Aku membelai
rambutnya, menyimpulkan senyum seolah-olah semuanya baik-baik saja. “Belum,
Sayang, kita istirahat dulu. Malam-malam begini jalan menuju istana banyak
penjahat, jadi kita sembunyi dulu di sini. Besok pagi baru bisa pergi ke istana
itu,” hiburku.
Ia
lantas duduk di atas kardus dan karung yang kugelar menjadi alas. Aku
menyodorkan sebotol air kepadanya,
“Ini
minum dulu, Sayang.” Tanpa menjawab ia langsung mengambil botol air dari
tanganku, meneguknya cepat-cepat. Aku tahu ia benar-benar lapar. Saat
menggendongnya beberapa kali aku mendengar bunyi lapar dari perutnya. Tapi,
dialah gadis kecilku, Alenia. Umurnya masih 6 tahun tapi aku tak pernah
mendengar keluh keluar dari bibirnya sejauh ini. Ia tak pernah meminta
macam-macam, bahkan ketika ia melihat teman-teman seusianya pergi sekolah.
Senyum dan teduh selalu terpancar dari wajahnya. Kebaikan-kebaikan dunia memang
selalu ada dalam diri bocah, pikirku. Saat-saat seperti ini aku membayangkan
ternyata Tuhan benar-benar adil; ia menitipkan gadis kecil yang luar biasa
kuat, di samping menitipkan cobaan yang juga tak kalah berat. Barangkali, yang
dititipkan Tuhan kepadaku adalah malaikat. Ya, malaikat kecil bernama Alenia.
Tapi ...
***
Tapi
bayang-bayang ternyata terlalu jauh melemparku. Alenia tetap gadis kecil!
Manusia biasa yang mengenal kata “menyerah”. Malam ini, ketika dingin tak
henti-hentinya menyapa, tubuh mungilnya mendadak panas. Wajahnya semakin pucat
dan ia seperti enggan membuka mata. Ia mengenggam tanganku kuat-kuat, napasnya
mulai tersenggal-senggal. Aku hanya bisa membatin: saat-saat seperti ini aku
justru tak bisa melakukan apa-apa! Aku mengutuk keras diriku, aku benar-benar
merasa gagal menjadi seorang ayah.
“Ayah,
mengapa semua mendadak gelap?” Ia bertanya. Tangannya menggenggam erat
tanganku. Sangat erat. Seperti mengenggam harap kuat-kuat.
“Tidak
apa, Sayang, kita sedang bermain menutup mata.” Aku membelai rambutnya dengan
pelan; mencoba memberinya ketenangan. Meski diam-diam aku mulai menyerah dan
air mataku mengucur perlahan.
“Tapi
mengapa semua menjadi lebih dingin, Ayah?” Semakin erat genggamannya,
seolah-olah tak dapat lagi dilepas—begitu rekat.
“Mmmm,
apakah sangat dingin, Sayang? Mau bermain pelukan?”
Air
mataku deras mengucur. Aku hanya bisa memeluknya, berharap dingin perlahan
menghilang. Bahkan, ketika bibirnya semakin membiru aku masih memberinya
kebohongan. Permainan pelukan? Bodoh! Omong kosong asal yang justru kuberikan
kepadanya.
Dan
kali ini; untuk malam terakhir yang panjang ini aku dan gadis kecilku
benar-benar harus menyerah, di antara dua bangunan tinggi yang menjulang, kami
saling memeluk ... untuk yang terakhir kali. (*)
Biodata
Penulis:
Haryo Pamungkas, lahir di Jember. Mahasiswa FEB
Universitas Jember. Cerpennya terpercik di media cetak dan daring.
Nama:
Haryo Pamungkas
Pekerjaan:
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember
Email:
pakujatuh@gmail.com
No
Hp: 089614887416
Cerpen : Permainan Pelukan Karya Haryo Pamungkas
Reviewed by takanta
on
Agustus 11, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar