Demokrasi Kebun Binatang
liputan6.com
Oleh: Fata Sang Pujangga*
Barangkali
saya adalah salah satu diantara banyak orang yang suka bercermin. Sampai-sampai saya meletakkan
cermin itu selebar kamar. Wah, untuk
apa? Ya, agar dapat melakukan autokritik terhadap diri saya sendiri. Minimal
tidak mengatakan “monyet” pada saudara yang sebenarnya sejenis dengan saya.
Sepintas, cermin-cermin itu belum cukup bagi
saya untuk melihat siapa diri saya. Serius! Namun ada satu cermin lain yang
tidak lazim dilakukan oleh kebanyakan orang yaitu, buku. Pernahkah kita
menjadikan buku sebagai cermin? Mungkin hanya beberapa saja diantara kita,
bukan? Dengan buku, saya berupaya membaca diri saya selain pada cermin yang
saya sebutkan di atas. Sebab dengan cara ini, saya tidak mudah membuat orang
lain tersinggung, begitu juga kalian. Iya,
enggak?! Perlu kita akui ketersinggungan itu merupakan sumber konflik yang
memecahkan persahabatan dan persaudaraan.
Tentu
kita sudah mendengar beberapa hari terakhir, yang sudah banyak diberitakan peristiwa
kerusuhan di Papua. Unjuk rasa dan kerusuhan terjadi di Jayapura, Papua, serta
Manokwari dan Sorong
di Papua Barat, hal itu muncul bukan tanpa ada sebab. Insiden aksi rasisme dan
persekusi terjadi di Surabaya dan Malang menimpa mahasiswa asal Papua yang
dilakukan oleh oknum warga dan aparat keamanan, merupakan pemicu awal dari
semua itu.
Sangat
ironis, karena celaan kata-kata monyet dan anjing itu -sebagaimana yang disampaikan oleh Dorlince Iyowau, Tirto.id (17/08)- dilakukan oleh oknum aparat yang seharusnya menjadi pengayom yang ramah bagi masyarakat. Pertanyaanya, apakah mereka sedang tidak sadar? Apakah mereka tidak
berpikir? Padahal,
manusia adalah binatang yang berpikir, dan ketika mereka berhenti berpikir,
maka tinggal binatangnya saja. apakah pencela ini binatang? Mau bicara kok tidak dipikir-pikir dulu.
Bicara
tentang rasisme yang tidak perlu diobok-obok lagi di negeri ini dan kata-kata monyet
yang dilontarkan oknum aparat pada saat itu, saya tiba-tiba ingat dengan buku Sapiens karyanya Yuval Noah Harari. Dia
mengatakan manusia yang tersisa saat ini adalah satu-satunya dari banyak genus
Homo yang tersisa saat ini. Harari menyebutnya Homo sapiens. Harari
mengatakan, suka tidak suka Homo sapiens (kita-kita ini) adalah anggota dari
satu famili besar dan sangat berisik yang disebut kera besar. Nah loh, kera kan sejenis monyet, masak
monyet ngatain monyet.—dan ini bukan
teori Darwin loh, justru dia memunculkan antitesa teori evolusi Darwin.
Beberapa
ratus tahun lalu, ada banyak ras atau spesies yang tergolong dalam genus Homo
(manusia), kata Harari. Diantaranya, ya Homo sapiens, Neaderthal dan Erectus serta
Denisova dan lainnya yang saat ini sudah tidak ada. Sehingga menurut Harari
satu-satunya manusia yang tersisa di muka Bumi ini adalah Sapiens—ya kita-kita
ini. Mengapa spesies Sapiens yang tersisah? Ada dua teori yang menjadi alasan
Harari yaitu teori Pergantian dan Teori Perkawinan Silang. Saya cukup
menjelaskan teori pertama saja . Teori Pergantian yang menyatakan bahwa Sapiens
lah yang menggantikan spesies genus Homo atau manusia sebelumnya tanpa ada
pencampuran apapun. Mengapa tinggal satu ras saja? karna ras Sapiens membantai
seluruh manusia yang lainnya. Menurut Harari, motif yang paling memungkinkan
proses itu terjadi adalah adanya perebutan sumber daya.
Itu
berarti bahwa tidak ada perbedaan ras antara masyarakat Papua, Jawa, Sumatra
dan lainnya. Kita berasal dari satu ras yang sama yaitu Sapiens, yang mampu
bertahan hidup sampai saat ini dari beberapa genus Homo yang ada sebelumnya.
Dari
penjelasan di atas, kita dapat bercermin siapa kita, siapa saudara kita, dan
siapa tetangga kita? Tidak ada alasan lain bahwa kita semua adalah bersaudara. Tidak
ada lagi perbedaan rasial untuk kita persoalkan. Toh, kalaupun masih ada yang mengumpat dengan kata-kata yang tidak
patut, secara orang tersebut tidak sadar mengumpat dirinya sendiri. Kalau orang
lain kita sebut monyet, tentu kita adalah binatang yang lebih buruk dari monyet.
Atau mungkin kita sama-sama monyet ya? Maka dari itu, saya sarankan buku itu
jadikan cermin, bagi oknum-oknum yang merasa terlibat dalam aksi rasisme itu.
Membusuk
Ada
apa dengan demokrasi? Benarkah
membusuk? Kalau saya jelaskan tanpa alasan, khawatir dikatakan profokatif.
Patut kita ketahui bahwa calon demagog berkeliaran di negara-negara demokrasi
seperti Indonesia, bahkan sekali-sekali salah satunya mencari cela untuk
mendapatkan perhatian publik. Selain mereka memunculkan isu rasialisme,
tindakan-tindakan persekusi dan diskriminasi sedikit-sedikit mereka tunjukkan.
Mereka coba-coba menyulut perlahan untuk menyalakan paham fasisme di negeri
ini. Kita juga perlu mewaspadai munculnya Orba dalam bentuk baru.
Saya
masih ingat akhir tahun lalu pernah membaca How
Democracy Die karya Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, dimana mereka memberikan
cara bagaimana mengenali otoritarianisme pada politikus yang tak punya riwayat
antidemokrasi yang jelas? Melalui tulisannya Juan Linz—seorang ahli ilmu
politik—mereka bedua mengembangkan satu set berisi empat tanda peringatan
terkait perilaku yang bisa membantu kita mengenali tokoh otoriter. Kata mereka,
sebaiknya kita khawatir apabila seorang politikus 1) menolak aturan main
demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan, 2) menyangkal legitimasi lawan
(sipil), 3) menoleransi atau menyalurkan kekerasan, atau 4) menunjukkan
kesediaan membatasi kebebasan sipil, termasuk media.
Sampai
di sini, mari kita pura-pura menganalisis insiden yang menimpa mahasiswa Papua.
Apakah indakator-indikator tersebut akan menjelaskan adanya tokoh otoriter atau
sebuah sistem yang tidak sepenuhnya demokratis? Dimulai dari peristiwa yang
terjadi di Malang, yang saat itu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi
damai, namun dihadang oleh ormas dan intel berpakaian preman. Mereka dipukul
dengan helm dan dilempari batu, bagitu penuturan juru bicara AMP Wenne Huby
yang saya baca di Tempo.co (15/08).
Dari peristiwa itu terdapat tindakan-tindakan yang tidak demokratis, seperti
membatasi kebebesan sipil, membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, melakukan
kekerasan yang hal ini termasuk penjabaran dari indikator ke-empat dalam buku
tersebut.
Begitu
pula peristiwa yang terjadi di Surabaya, tidak mungkin sekelompok aparat
mendatangi asrama mahasiswa Papua tanpa ada komando dari atasan. Dari
pemberitaan yang saya saksikan terdapat persekusi terhadap mereka,
seolah-seolah aparat-aparat ini hendak menangkap teroris. Aparat macam apa ini?
Senjata menjadi alat untuk melawan mahasiswa. Selain itu aparat ini menuduh
tampa dasar yang dianggap melanggar hukum. Misal menuduh mereka membuang
bendera merah putih tanpa bukti. Seolah-olah mahasiswa Papua adalah ancaman
eksistensial, baik keamanan nasional maupun cara hidup yang umum. Ciri-ciri
tersebut sangat erat kaitannya dengan empat indikator di atas. Itu berarti apa?
Otoritarianisme sedang diuji coba kembali di negeri ini. dan tubuh demokrasi
sedang membusuk, terdapat ulat-ulat jahat menggerogoti tubuhnya.
Melihat
integrasi bangsa ini sedang terganggu. Selain persatuan yang perlu kita
kokohkan dengan meredam isu-isu rasial yang profokatif, dan memperbaiki
demokrasi ini, kita perlu diam-diam
mengintip ada apa dan siapa di balik semua ini?
*) Penulis merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional Jakarta
Demokrasi Kebun Binatang
Reviewed by takanta
on
Agustus 23, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar