Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik?
Oleh: Mohammad Farhan*
Sebelum
aku mengajakmu, maukah kau mendengarkan curhatku, Dik? Curhatan seorang lelaki
yang hatinya tak henti-henti dirundung pilu ini.
Dik,
aku menulis surat ini dengan hati yang tak cukup tenang. Aku masih terbayang
kejadian di awal Maret, ketika perempuan yang kuharap menjadi teman hidup,
memutuskan untuk pergi. Ia mengakhiri sebelas tahun perjalanan bersamaku. Perjalanan
yang membentangkan narasi pahit-manis dua manusia yang dipertemukan Tuhan di bangku
SMP.
Perpisahan
itu sungguh membuatku sesak napas, Dik. Dadaku seperti terhantam pintu rumah. Gagang
pintu itu sangat keras memukul dadaku, aku terjepit di antara pintu dan tembok.
Dari celah yang sempit, aku melihatnya memunggungi pintu dan berlalu. Aku gagal
menggenggam tangannya. Aku tak bisa menahannya pergi.
Kau
tak harus tahu apa sebab perpisahaan ini, Dik. Tapi, Kau tentu paham bahwa
perpisahan adalah jalan yang melelahkan. Ada banyak hal yang harus dikubur
dengan terpaksa, dengan susah payah: foto, kontak, dan bekas bibirnya di
pipiku, juga bekas yang sama di keningnya. Belum lagi, tempat-tempat yang
pernah membuat kebersamaan itu menjadi begitu mesra. Sangat mesra.
Tapi,
melalui surat ini, maukah kau membantuku menghapus itu semua, dik?
Aku
memang tidak mungkin memaksamu. Aku paham, hati perempuan terbuat dari
kehatian-hatian. Pelan. Tak tergesa. Ia begitu halus. Maka, hati mana yang
terbuka begitu mudah terhadap lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi dengan
seorang lelaki yang hidupnya karib dengan luka. Hati mana yang ingin terluka bersama-sama?
Hati mana yang ingin terluka berlama-lama?
Tapi
aku yakin. Kau mau membantuku. Menolongku dari segenap kepahitan cinta yang
melelahkan ini. Kau akan membantuku dengan cara yang mungkin tak pernah aku
pikirkan. Sebagaimana pada suatu sore yang landai, pada pertemuan yang tak satu
setanpun tahu, senyummu itu, tak pernah kusangka memupus segala gelisah di hati
ini.
Setengah
kepahitan hidupku terhapus oleh senyummu. Senyummu, yang bagiku adalah cara
paling tenang membunuh segenap luka.
Dik,
sepertinya surat ini terlalu banyak bicara. Aku terlalu banyak mengungkapkan
hal pahit yang sesungguhnya sudah kau tawarkan dengan senyummu itu. Seperti
yang aku tulis, setengah kepahitan hidupku sudah kau hapus. Maka, bagaimana
kalau kita genapkan bahagia itu, Dik?
Dik,
tiga puluh dan tiga puluh satu Agustus esok ini, kotaku, yang juga kotamu ini
akan mengadakan sebuah acara hiburan. Atau bahkan lebih dari sekadar hiburan,
Dik. Acara ini, tentu bukan lahir dari
otak-atik-gatuk di meja perundingan yang pengap khas birokrasi kota kita, Dik.
Melainkan dari mereka yang berhati dan berjiwa muda dengan kebersamaan yang
rekat.
Mereka
menamainya Festival Kampung Langai, Dik.
Aku
tidak perlu bercerita panjang lebar tentang apa dan bagaimana festival ini
lahir dan dibesarkan, Dik. Karena aku hanya ingin mengajakmu menonton acara
ini. Berdua. Kamu mau kan, Dik?
Kau
tidak perlu khawatir. Untuk sampai ke Kampung Langai, Dik, kau tidak perlu
membuka google map atau bertanya pada
orang selain aku. Karena, sudah kuniatkan aku akan menjemputmu. Mungkin nanti
kita akan bertemu di beranda rumahmu. Aku akan menyalami orang tuamu, dan
meminta restu berangkat.
Kita
akan naik motor berdua, Dik. Dari rumahmu aku cukup melajukan motor dengan kecepatan
20 meter per jam saja. Tidak terlalu cepat. Tidak perlu tergesa-gesa. Agar
banyak waktu untuk kita bicara dan menikmati perjalanan. Kita akan melihat kota
kita yang kian hari semakin ramai dengan pembangunan: pusat perbelanjaan, perbaikan
jalan dan taman kota.
Itu
bagus untuk kita, Dik. Semua itu adalah lahan basah untuk kita belajar
bagaimana cara kota ini mencari bahagia. Bukankah hidup ini memang sebuah usaha
menambang bahagia, Dik?
Meskipun
seringkali manusia jatuh pada luka yang beruntun. Tapi sudahlah, luka dan
bahagia itu seperti laut, pasang surut. Mari nikmati.
Lanjut
ya, Dik. Tahun ini acara Festival Kampung Langai (FKL) sudah masuk yang ke-6. Temanya
Burombu, Dibuang Sayang. Tema ini aku rasa menarik, Dik. Panitia ingin
menyampaikan kepada kita bahwa setiap yang tak terpakai belum tentu hilang
guna.
Ternyata,
ada hal-hal di dunia ini yang dapat dimengerti menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat
dan menyenangkan. Tinggal seberapa jauh nalar kepekaan kita membaca apapun situasi
hari ini, Dik.
Bagiku,
panitia FKL#6 ini seolah memberi isyarat kepada kita bahwa, kau boleh membuang
sampah, tapi jangan sekali-kali kau buang kreativitasmu.
Tapi,
Dik. Itu tafsirku. Belum tentu sama dengan tafsirmu.
Tapi,
kita tidak akan berbeda dalam menikmati acara. Kita akan duduk beralaskan
sandal kita masing-masing lalu menatap ke arah panggung lesehan yang
belakangnya ada tumpukan botol bekas yang disusun menggunung. Seperti tumpeng.
Nanti kita akan melihat beberapa pertunjukan yang menyenangkan. Dari musik
tradisi sampai modern.
Kau
sudah baca pamfletnya kan, Dik? Penampilan siapa yang dalam anganmu paling kau
nantikan?
Sementara
aku tunggu jawabanmu, aku menaruh penasaran dengan apa yang disiapkan Ali Gardy
dan Mas Aves. Aku melihat aktivitas mereka di media sosial dan status whatsapp-nya, Dik. Ali Gardy memasang
status sebuah video yang menampilkan Mas Aves sedang memegang botol bekas. Di depan
layar laptop dan micrecorder, Mas
Aves tampak menggosok-gosokkan tutup botol ke botol. Kemudian meremasnya, lalu
meniupnya. Aku sama sekali tak paham komposisi musiknya bakal seperti apa.
Beberapa
hari sebelumya, Ali Gardy juga menunjukkan sebuah video yang merekam
aktivitasnya membuat alat musik dari raket bekas, seng, helm proyek, dan
moncong botol pewangi pakaian. Ia meramunya jadi gitar. Entah gitar apa
namanya.
Tapi
yang jelas, Dik. Ali Gardy memang punya ide-ide gila. Sebagaimana kegilaannya
terhadap perempuan yang beberapa hari lalu ia ceritakan padaku. Tapi, itu tak
perlu kau tahu. Kau perlu tahu dia lelaki yang sangat keras dan tegas. Beberapa
waktu lalu, ia pernah memarahi salah satu staf yang bekerja di Dinas Pariwisata
karena tak sesuai dengan apa yang ia harapkan tentang sebuah pagelaran. “Aku
tak bisa biarkan itu,” katanya, Dik.
Itu
sekelumit Ali Gardy, Dik. Selanjutnya, kita akan banyak disuguhi pertunjukan
dari beberapa penampil yang hadir pada FKL#6: Unen-unen, Ritual Semarang,
Takesilua Japan, Ozane Bill, Ruang Raya,
Kembheng Molje dan banyak lagi, Dik.
Nanti,
kita akan belajar berbahagia lagi, Dik. Menata diri lagi. Dan, saling
menguatkan.
Selebihnya,
kita perlu menanam dalam-dalam di hati kita bahwa, kota ini masih bernyawa, kota
ini masih berdetak, kota ini masih hidup dengan denyut nadi yang terbuat dari
isi kepala pemudanya.
Tidak
perlu silau dengan hingar-bingar kota lain dengan segenap lampion kefanaan yang
mengerubungui mata kita, Dik. Cukuplah mengerti bahwa setiap petak kehidupan
memiliki jalan dan nasibnya sendiri. Dan keduanya tidak harus bertakdir sama,
satu sama lain.
Jadi,
maukah kau menemaniku di Kampung Langai, Dik? Japri ya, Dik.
Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik?
Reviewed by takanta
on
Agustus 29, 2019
Rating: 5
wahh gelisah wkwk
BalasHapushehe rapuh dik
Hapuswaduh, adik jomblo mas :(
BalasHapusSegera cari, dik
Hapus