Puthut Ea, Komunitas dan Hutang yang Dilunasi
Oleh
Ahmad Zaidi
Sebuah
mobil merah berhenti di depan rumah tak jauh dari kelokan jalan yang di
halamannya ditanami beragam jenis tumbuhan. Di beranda rumah itu, Lima orang
laki-laki duduk sambil meminum kopi yang mulai mendingin. Mereka menunggu.
Sejak matahari rubuh sampai pintu mobil terbuka dan seorang laki-laki
berkacamata keluar mengenakan kaos putih dan celana pendek. Laki-laki dari
dalam mobil itu adalah Puthut Ea.
Di
dalam mobil, ada dua laki-laki lain, yang satu bertubuh gempal duduk di kursi
kemudi sedang laki-laki satunya lagi berambut hampir sebahu dengan mata
mengantuk. Nanti, kita tahu nama mereka adalah Rusli dan Sadam. Nanti, kita
tahu bahwa mereka bertiga baru saja melalui perjalanan panjang dan jauh. Nanti,
kita tahu bahwa sebelumnya mereka terlebih dahulu pergi memancing di sekitar
Pasir Putih dengan hasil tangkapan seekor ikan kecil dan bukannya seekor marlin
raksasa seperti yang Hemingway ceritakan dalam The Oldman and The Sea. Nanti,
setelah obrolan ringkas di beranda yang sama, orang-orang itu akan berangkat
mengisi acara komunitas kecil di kota yang juga kecil. Nanti, seorang laki-laki
yang duduk di boncengan sepeda motor akan menuliskannya. Nanti, laki-laki yang
disebut terakhir adalah saya.
Mengenakan
kaos polo putih dan celana krem panjang, Puthut Ea duduk diapit dua orang,
Marlutfi dan Farhan. Farhan sebagai moderator dan Marlutfi sebagai pemantik
diskusi. Peserta yang hadir cukup ramai. Ini menjadi kali ketiga Puthut Ea
datang ke Situbondo. Pertama, ia menemani Cak Rusdi pulang ke kota kelahirannya
ini. Kedua, pada pertemuan dengan saya dan kawan-kawan sebelumnya, Puthut
berjanji untuk kembali datang dan berbagi pengalamannya selama ini sebagai
penulis dan pengalamannya sebagai Kepala Suku Mojok. Rencana ketiga itu
beberapa kali batal. Hingga tanggal 5 Agustus 2019 malam itu, Puthut membayar
utangnya dalam hitungan sekali menyalakan rokok.
Puthut
mengantar penjelasannya dengan mengakui akan ketertarikannya kepada kota
Situbondo sebagai kota pesisir yang dekat dengan laut, bersuhu panas, dan
memiliki kemiripan dengan kota tempat ia lahir dan dibesarkan: Rembang. Selanjutnya
ia memaparkan bahwa sebenarnya menulis itu rumit. Bahwa sebenarnya ada beberapa
poin yang perlu diperhatikan dalam menulis.
Pertama,
adalah teknik menulis. Waktu SD bahasa indonesia mengajari mengarang. SMP kita
diajari jenis-jenis tulisan, tata bahasa, bagaimana membuat deskripsi, narasi
dan argumentasi. Dan kesemua itu menunjukkan betapa jika menulis tidak rumit,
hal itu tidak akan pernah diajarkan. Belum lagi kerumitan-kerumitan itu juga
memiliki tingkatan tertentu. Ketika menulis cerita, kita harus bisa membuat opening atau paragraf pembuka, kita harus tahu makna closing atau menutup cerita, bagaimana
kita menjahit cerita, bagaimana kita membuat alur cerita, apakah alur maju atau
mundur atau campuran, bagaimana kita memperkenalkan tokoh, mengembangkan tokoh,
bagaimana kita memilih tema, konflik dan apa-apa yang sebenarnya sudah pernah
diajarkan di sekolah namun tak banyak dari kita yang mengingatnya dengan baik.
Kedua,
adalah konten. Adalah soal apa yang akan kita tuliskan. Ketika kita menguasai
teknik penulisan, ibarat seorang tukang kayu yang telah memiliki peralatan
dengan lengkap. Maka konten adalah persoalan tersendiri. Pertanyaan-pertanyaan
semacam apa yang ingin kita tulis? Kenapa kita menuliskan itu? Apakah bahannya
cukup? Sampai pada batas mana akan menuliskan itu? Dan pertanyan-pertanyaan
lain.
Sampai
di poin kedua, kita dihadapkan pada keadaan bahwa sebetulnya kampanye ‘menulis
itu mudah’, tidak ada salahnya jika hanya sebatas usaha agar selalu memiliki
motivasi dan optimis untuk menulis. Tetapi ketika sudah benar-benar belajar
menulis, kita harus menyadari bahwa menulis bukanlah perkara mudah. Agar kita
menjadi lebih giat belajar, lebih awas terhadap konsekuensi penulisan, dan agar
lebih kritis.
Sedangkan
poin ketiga, adalah soal estetika. Apakah tulisan kita menarik? Apakah tulisan
kita cukup mengalirkan perasaan pembaca dan mengajak pembaca masuk ke dalam
tulisan kita? Membuat pembaca tidak hanya mengerti akan tulisan kita, tetapi
merasakan sampai merasuk ke dalam jiwanya? Bukan hanya tentang logika,
kebenaran, nalar tetapi bagaimana tulisan kita bisa menyentuh sanubari pembaca.
Ini menjadi satu pelajaran tersendiri juga karena yang kita kembangkan bukan
lagi soal kebenaran tetapi bagaimana cara menyentuh perasaan orang. Sehingga mudah
memaparkan sesuatu yang membuat orang mengeluarkan dari simpati sampai empati,
membuat orang mengerti bukan hanya dari sisi luarnya saja melainkan jagad
batinnya. Perkara-perkara di sini lebih tajam dan dalam dan itu membutuhkan
latihan-latihan atau pengetahuan yang berbeda. Latihan-latihan kepekaan psikis
berbeda dengan latiah menulis secara teknis, berbeda dengan latihan cara
mendapatkan bahan tulisan. Ada sense estetika yang harus dilatih.
Yang
keempat adalah sesuatu yang jarang namun penting karena berkaitan dengan
literasi komunitas. Adalah political
correct. Apakah secara politis tulisan kita bisa dibenarkan atau tidak? Atau
apa impact tulisan kita? Karena
tulisan merupakan representasi dari pikiran kita dan menunjukkan apa yang ada di
dalam batok kepala kita? Cara pandang kita terhadap dunia, bisa terlihat dari
tulisan kita.
Jadi,
ketika kita membaca tulisan orang, sebenarnya itu berlapis-lapis. Mulai dari tulisan
yang mudah dibaca, enak dibaca, indah dibaca dan mengena sampai tulisan yang secara
politis bisa dibenarkan. Sampai di sini, ada persoalan lain yang kita pelajari
terkait dengan sikap kritis kita, tentang pelajaran dasar berupa ideologi-ideologi,
sudut pandang dan lain-lain.
Dari
keempat poin itu Puthut ingin menunjukkan bahwa menulis itu tidak gampang. Tidak
seperti yang oleh kebanyakan orang yakini. Tidak seperti apa yang selama ini
saya amini. Menulis tidak mudah. Tidak sulit. Hanya rumit.
Puthut
Ea melihat jam tangan pada pergelangan tangan kirinya. Sepuluh menit berlalu.
Hutangnya terbayar sudah.
Puthut Ea, Komunitas dan Hutang yang Dilunasi
Reviewed by takanta
on
Agustus 10, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar