Rajekwesi Suatu Magrib


Oleh : Imam Sufyan*
Tepat di gerbang Rajekwesi, saya memilih jalan kaki. Indra, aktifis Gepsos yang mengantar dari kota saya minta untuk pulang. Sempat terjadi keributan karena Indra memaksa saya untuk mengantar sampai posko 14. Tetapi saya tetap berkukuh untuk jalan kaki. Indra mengalah. Dia kembali ke Curah Jeru ke kampung halamannya, saya jalan kaki menuju Posko 14.
Perjalanan menyusuri Rajekwesi saya mulai dari gerbang utama bertuliskan SELAMAT DATANG DESA RAJEKWESI KEC KENDIT. Menggunakan topi KKN berlambang logo UNIB, di tangan kiri, banner posko 14 ukuran 2 meter saya lipat satu meter. Tangan kanan memegang power bank karena baterai hape kritis. Tas ransel saya gendong. Tidak banyak yang saya bawa. Kaos empat dengan yang saya kenakan, sarung satu, dan buku karya Mahbub Djunaidi berjudul Asal-Usul, novel Sang Presiden karya penulis Amerika latin Miguel Angel Asturias, terakhir, Mark Hanusz & Pramoedya Ananta Toer karya Mohammad Sobary. Di Rajekwesi sendiri ada tiga posko peserta KKN UNIB. Posko 13 di dusun Petheng, dusun Tobhe Barat posko 14 dan dusun Krajan posko 15.
Istighosah menggema dari masjid dusun Petheng. Pertanda usai salat jemaah Magrib. Jarak tempuhnya kurang lebih satu kilo. Itupun harus melewati jalan yang berkelok. Tak ada niatan untuk mampir sejenak saja ke dusun Petheng. Sesegera mungkin saya sampai ke posko 14 untuk istirahat. Dan ini  pertama kalinya saya berjalan kaki dalam suasana yang sama sekali tak ada lampu. Untuk mendekati rumah warga harus melewati alas yang lumayan panjang bagi pejalan kaki seperti saya ini. Hewan Tonggeret dan serangga lainnya mulai mengiringi langkah kaki. 100 meter pertama napas saya sudah ngos-ngosan. Jalan yang menanjak menghabiskan banyak stamina. Ketakutan akan binatang buas menjadi hantu dalam pikiran. Dalam suasana seperti ini siapapun akan lebih takut bertemu binatang buas dibanding hantu.
Disusul keringat mulai bercucuran. Jantung mulai berdetak agak cepat. Sempat terbersit untuk duduk sebentar. Tapi saya tak menemukan tempat duduk yang "aman" di tengah alas. Jantung yang bergerak cepat membuat saya harus berpikir ulang untuk menghabiskan satu atau dua batang rokok. Kaki tetap memaksa untuk berjalan. Sesekali datang sepeda motor dari arah bawah. Saya harap pengguna sepeda motor tersebut sendirian, jadi saya bisa menumpang sampai ke atas. Sayangnya itu tidak terjadi.
Entah sudah berapa jauh saya berjalan. Sampai pada akhirnya, saya melewati rumah warga. Kepada ibu-ibu yang sedang bekerja saya bertanya balai desa Rajekwesi. Kisaran satu kilo setengah jawabnya. Sekali lagi, sekalipun satu kilo, ini bukan jalan yang lurus mendatar, melainkan menanjak. Saya sampai di daerah Sentolan. Saya putuskan berhenti karena satu alasan : anjing-anjing menggonggong keras saat saya hendak melewati. Jujur saja, ketakutan masa kecil dulu saat dikejar anjing masih terasa. Saya berhenti di rumah warga.
(Bersambung)

*Mahasiswa KKN Posko 14
Rajekwesi Suatu Magrib Rajekwesi Suatu Magrib Reviewed by Redaksi on Agustus 19, 2019 Rating: 5

2 komentar

  1. Bagaimana tidak menggonggong?, mereka rindu akan kawan lamanya.😂

    BalasHapus
  2. Ceritanya kurang lengkap bro.
    tulis asal mula desa rajekwesi..

    BalasHapus