Cerpen: Enam Cerita tentang Kenangan
Jika kau
bertanya, adakah yang lebih purba dari kenangan? Maka akan kujawab dengan
ceritaku ini.
Semenjak
perkelahian itu, aku dan ia tiada pernah saling menyapa. Hatiku serupa batu
yang paling purba dan tak dapat dikerat dengan alat apa pun. Apalagi
dihancurkan. Aku membencinya setengah mati. Bagaikan tiada lagi ungkapan
tentang kebencian yang dapat mewakili. Jika bukan lantaran berebut remote televisi, kebencian itu tidak
akan sebesar gunung batu yang maha barangkali. Sebuah kebencian yang hanya
menjadi kenangan hingga kini. Sebuah kata yang kelak kuanggap lebih purba dari
kehidupan itu sendiri.
Ia adalah kakak lelakiku yang
menyulut kebencian itu. Umurku enam belas waktu itu, sedang kakakku lebih tua enam
tahun dari usiaku. Dan menonton televisi adalah kebiasaan yang kulakukan saban
sore sembari menunggu magrib di ruang tamu. Entah lantaran apa, aku tak tahu.
Tiba-tiba ia merebut remote televisi
yang sedang kupegang dan menghantamkannya tepat mengenai jidatku. Aku terkejut
dan sebentar kaku. Darah pun mengucur perlahan merembes ke ujung hidungku.
Segar dan amis menyatu. Aku bereaksi segera, meski nyaliku sempat menciut
ketika melihat matanya yang nyalang. Kuarahkan tinju kuat-kuat ke arahnya,
namun ia semakin jalang. Kuarahkan tinju kedua, ia semakin garang. Ia
menendang. Tak sanggup diriku lari tunggang-langgang. Semakin aku berontak,
semakin kuat tendangannya menghadang. Aku lekang dan remote itu pun terberai tak kepalang.
Barangkali
juga bukan salahnya ketika menghajarku hingga babak-belur. Dari cerita ibu,
sebelum pulang, kakak lelakiku memang sudah mabuk sehingga pandangannya kabur.
Bau alkohol tercium dari mulutnya dan kedua tangannya bergetar seperti
tersengat listrik.
”Mungkin
teman-temannya usai mencekokinya dengan air iblis atau sejenis cukrik.”
Aku mendengar
ibu sesenggukan, menahan memar di kepalanya yang diciptakan kakak lelakiku itu,
lantas mengompresnya dengan batu es.
Ibu juga
membersihkan wajahku yang penuh darah dan hampir kering. Tangannya menyeka luka
bekas lemparan remote televisi dengan
kapas yang telah dilumuri Revanol
lantas menutup luka itu dengan kasa yang sebelumnya telah diolesi obat merah. Aku sesenggukan
menahan sakit yang merajam. Kakakku tenang usai para tetangga berdatangan,
lantas mendekap erat-erat tubuhnya yang kuat-liat bagai karang. Lalu peristiwa
itu pun jadi perbincangan.
Kenangan itu
masih menggelayut dalam pikiranku, meski puluhan tahun berlalu. Pada sebuah
pagi keseribu sembilan ratus lima puluh satu, pagi pertama usai perkelahian
itu, aku masih mengenangnya dan tetap ingin meninjunya tepat mengenai jidatnya
dan berluka seperti luka yang kumiliki di jidat. Luka yang telah bersih diseka
ibu. Luka yang ia ulangi lagi pada ibu …
Di hadapan
pusaranya kini, kenangan itu masih purba.
Kenangan dan Kesedihan
Semestinya
kau tak perlu bersedih hati akan hal itu. Kau tahu, bukankah kesedihan
senantiasa mengiringi setiap perempuan? Kesedihan adalah ketika kau memandang
foto saudara kandungmu tengah terbaring dengan infus dan oksigen membekap
mulutnya. Foto yang dikirim temanmu melalui BlackBerry
Messenger dan kau tak dapat menjenguknya lantaran ia dirawat di rumah sakit
yang jauh dari jangkauanmu, di luar negeri, misalnya. Bukankah Hawa tercipta
dari kesedihan Adam lantaran tinggal seorang diri di surga?
Aku tentu
tahu, bagaimana perasaanmu akan hal itu. Waktu itu
memang tiada yang menduga langit akan turun hujan dan kilat saling bersahutan. Segerombolan burung terik yang terbang seolah
tahu diri bahwa cuaca sedang tidak berkawan. Segalanya gelap, hitam, begitu
pula dengan wajahmu. Di sana, kudapati kemuraman berabad-abad bagaikan tiada
lagi cahaya datang menelusup pori-pori wajahmu. Kusangkakan, itulah yang
bernama kesedihan. Aku berada di sana
waktu itu. Kau memeluk lutut seperti menahan dingin udara yang membelenggu di
kala malam. Tiada percakapan. Aku pun tak mau memulainya. Wajahmu tertekuk
hingga hampir mencium tanah. Adakah yang mampu memahami kesedihanmu selain
dirimu sendiri?
Aku masih
mengingat, beberapa tahun yang lewat, ketika burung-burung terik sepakat
menunaikan ibadahnya di bumi timur, ketika senja masih menguning-langsat
sebelum magrib, tatkala waktu belum sepenuhnya punah, kau juga menggigil tinggi
sembari memelukku erat menghangatkan tubuhmu yang dingin-beku serupa balok es.
Bukan lantaran hujan yang turun tiada henti sedari kemarin. Atau karena kutub
utara yang pindah ke rumahmu. Kau takut pada cerita tentang Izah yang memeluk
lututnya di haribaan pusara Sunan Ampel. Ia takut pada ibu, mengapa menghilang
berbulan-bulan tanpa satu kabar jua? Mengapa pula ia melarikan diri dari
studinya yang belum usai?
Dan, mengapa ia merahasiakan kandungannya dan merawat bayi yang lahir tanpa
ayah itu di makam sang wali?
Bukankah kau juga ingin melihat keponakanmu yang mungil itu? Bukankah ia tak
bersalah karena mengandung di luar nikah? Apakah Ela juga bersalah lantaran
lahir di luar nikah tanpa pernah tahu wajah ayahnya?
Kita tak
pernah membicarakan dan mengingatnya beberapa tahun belakangan. Kupikir kita
terlalu sibuk membicarakan burung terik yang mulai punah dan senja yang kian
melegam. Dan memang aku sengaja menyibukkanmu dengan cerita-cerita fiksi
karanganku. Dengan begitu, kau tak perlu lagi mengenal kesedihan.
Asap Kenangan dan Luka
Jika bukan
lantaran tawa menyedihkan
sepuluh tahun yang lalu, barangkali ia tidak akan kembali ke kampung yang
membesarkannya. Juga kepada anaknya.
Miftah hanya
tahu, bahwa dengan kembali ke rumah, ia dapat menyembuhkan luka-luka yang
tersayat di masa lalu. Saat di mana lelaki itu datang mengawininya kemudian
meninggalkannya ketika umur kandungannya berumur delapan bulan. Dengan melihat
sawah-sawah dipenuhi rumpun jagung yang berjajar rapi dan hijau perdu
suket gajah, tentu tawa menyedihkan itu
takkan muncul sedemikian rupa bagai penyakit yang muncul tiba-tiba; sehingga
napasnya kembali bersih, paru-parunya juga bersih. Sebab belakangan ini ia sering
menghabiskan dua bungkus rokok mild
per hari. Alasannya, ia ingin kenangan itu terbang jauh ke langit bersama asap
yang ia embuskan.
Kau tentu
hafal akan “Sajak
Seonggok Jagung”
milik paman Rendra. Sajak yang kau taksir lantaran ia melihat seonggok jagung
yang tergeletak di kamar anak lelakinya. Kau lebih tahu isi sajak itu ketimbang Miftah yang
hanya khidmat pada tanaman bertangkai tunggal dan berakar serabut itu dan hanya
lulusan sekolah dasar.
Saban
pagi-pagi buta, Miftah berkeliling sawah di jalan setapak-beraspal itu. Di
kiri-kanan diselingi pohon-pohon mangga yang buahnya sering dihabiskan codot sebelum tiba masaknya. Kau tahu codot? Makhluk itu serupa kelelawar
berukuran lebih kecil dan menyerupai tikus piaraan dan berwarna hitam. Makhluk
itu sering menyisakan mangga yang tak habis dimakannya di pekarangan rumah.
Maka, itulah ritual yang dilakukan Miftah semenjak sepuluh tahun terakhir
sembari tertawa-tawa seorang diri.
Arkian,
Miftah hanya tahu, bagaimana ibunya bersusah-payah menenangkan dirinya ketika
di siang bolong ia bertelanjang bulat tanpa sebab-musabab. Ketika para tetangga
tengah beristirahat dan anak-anak kecil bermain pasaran sepulang sekolah, Miftah berteriak-teriak. Kampung gaduh,
dan gang di mana rumahnya berada lantas banjir manusia. Para tetangga itu turut
menyaksikan dan berupaya menenangkannya, sembari menabahkan hati ibunya yang
sedari kecil merawatnya seorang diri. Tanpa sanak keluarga. Dan suami.
Siang itu
adalah mula tahun-tahun sesudahnya yang penuh keindahan-sunyi dan
tawa-menyedihkan tak berkesudahan.
Kau di sana
waktu itu. Menyaksikan ibumu yang dianggap gila.
Kenangan dan Percakapan di Bawah Kemarau
Bukanlah
suatu kesalahan jika kau mencintai seseorang berdasarkan rupa bentuknya. Tak
perlu menyembunyikan hal
itu. Aku juga tahu kau mencintainya karena ia cantik atau tampan, karena ia
berkulit putih atau langsat, karena ia semampai atau tinggi. Aku pun mengerti.
Tak perlulah kita berdebat atau bahkan beradu fisik akan definisi ini. Kau
hanya perlu mengerti bahwa kesalahan sebenarnya adalah tatkala kau meninggalkan
kekasihmu usai kau mencintainya.
Begitulah
cerita ini dimulai.
Jika bukan
lantaran mengingat kau penuh seluruh[1],
tentu kau telah lama berlari menggapai bintang di langit lantas menjatuhkannya
di atas mataku. Kau tentu ingin aku buta sehingga tak kudapati lagi rona yang
terpancar dari wajahmu, bukan? Kau tahu, mencintaimu adalah hal paling menyedihkan
yang pernah kuingat. Aku mesti rela hilang bentuk, remuk[2].
Bertahun-tahun memikirkan siasat tak masuk akal supaya kau paham bahwa
menggapai cinta tidaklah semudah meneropong bintang lantas memberinya nama
belakangmu.
Maka, tak
usahlah kita mengingat senja yang sendu, langit yang perdu, angin yang merdu
itu, bila pertemuan pertama itu hanya jadi kenangan yang membelenggu. Bangku
hijau-lumut dan daun-daun sengon itu
cukuplah menjadi saksi bisu. Tentu kau berpikiran sama denganku: di atas langit
masih ada langit, di atas keindahan masih ada keindahan, di atas cinta masih
ada cinta.
Setidaknya,
isyarat itu yang membuat bumi senantiasa berevolusi sebagaimana mestinya dan
berotasi sesuai porosnya, sehingga masing-masing menciptakan waktu dan musim,
seperti kau dan aku, agar kau memahami bahwa hidup sendiri tak kenal kompromi.
Dulu, kita
pernah menduga kemarau seperti hujan: air langit berguguran lalu menggenang di
tanah kering nan lapang. Adakala ia mencium rerumputan, seraya membasuh debu
yang menempel di pucuk-pucuknya. Ia lengket.
Sembari
menunggu wedang jahe yang kau masak, kau membayangkan berguyuran di bawah
hujan. “Aku masih bermimpi menumpang pelangi.”
Pelangi pun
tak selalu hadir bakda hujan. Ia mungkin sekumpulan malaikat, atau bidadari
yang hikmat memuji anugerah langit, atau barangkali pula hanya antologi warna
yang tujuh.
“Kau terlalu
banyak berpikir.”
Aku pun diam.
“Apabila
kemarau ini usai, aku ingin menumpang pelangi itu, menuju ke Negeri Senja[3].”
Aku masih
diam.
Sebelumnya,
kau selalu bertanya, adakah yang lebih tabah, lebih bijak, lebih arif, dari
hujan bulan Juni[4]?
Aku hanya bertanya kembali, dalam hati tentu saja, bukankah hujan tak pernah
turun di bulan Juni jika kita mengingat pelajaran IPA di sekolah dasar?
“Nyatanya,
bagaimanapun, tak ada yang lebih bijak, lebih tabah, lebih arif, dari hujan
bulan Juni, bukan?” katamu memungkasi.
Aku masih
tetap diam.
Kenangan, Cinta, dan Suami
Kita menyukai
kesendirian dan kesunyian. Seringkali kita membutuhkan ruang privasi menjauhkan
diri dari keramaian dan kepalsuan. Kau tahu, Tuhan menciptakan kita dengan
sifat Kesendirian-Nya, dan Ia menyisipi kita dengan sifat Keilahian-Nya. Lantas
benarkah kau menunggunya, atau benarkah kau berharap ia seumpama Jibril yang
menyampaikan kabar gembira?
Kau perlu
kesendirian dan kesunyian supaya kau dapat bersemayam dalam cerita-cerita yang
kau karang.
“Tidak.
Menurutku, banyak hal yang mesti dikorbankan demi hal lain yang menurut kita
lebih baik.”
“Termasuk
suamimu?”
“Tentu.”
“Itu saja?”
“Ya. Itu
saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.”
“Omong
kosong.”
“Setidaknya
kau tak perlu bergurau tentang cinta. Bukankah setiap orang berhak atas cinta?
Tiadakah kau rasakan keindahan tentang cinta melebihi segala yang kau punyai?
Lantas, adakah yang lebih indah yang pernah diciptakan-Nya selain cinta?”
“Ya. Aku
mencintaimu sebagaimana suamimu mencintaimu.”
Ya. Aku
memang terobsesi mencintaimu sebagaimana isi sajak Sapardi yang sering kau
gumamkan usai kita bercinta: mencintai angin, harus menjadi siut, mencintai
air, harus menjadi ricik, mencintai gunung, harus menjadi terjal, mencintai api
harus menjadi jilat. mencintai cakrawala harus menebas jarak, mencintai-Mu,
harus menjadi aku.
Senja telah
melegam cukup lama. Beberapa cerita telah khatam kita baca. Burung-burung terik
juga telah lama menuju timur, mengkhidmati petang itu. Tiada yang tahu berapa
lama lagi kita mesti menyelesaikan percakapan ini. Dalam diam, kita khusuk
mendengar azan magrib.
Kau tahu, tiada panggilan yang lebih indah selain panggilan-Nya.
Kenangan dan Sakit
Hanya ada kau
dan aku dalam cerita ini. Kunang-kunang berubah ganih dan waktu berhenti pada
menit kedua belas. Kata-kata menjadi gelap dan makna pun kekal dalam pekat. Kau
tahu, cinta memekarkan rembulan, sedang gemintang berubah menjadi planet baru.
Kau tahu, itu adalah amsal tentang riwayatmu dan cerita-certia yang tak kunjung
usai kutulis. Mengapakah kau berharap lebih dari itu sementara aku menginginkan
tak lebih dari itu, padahal telah kutemukan kembali namamu[5]
dalam cerita ini?
Tidakkah kau
ingat, tatkala kau sakit, kau akan ingat ketika sehat. Langit-langit kamarmu
laksana hamparan penyesalan dan tubuhmu bak terperangkap dalam jaring laba-laba
raksasa[6].
Pada senja yang menyengat, kau hanya bisa roboh di atas dipan. Kau tak dapat
menyaksikan gemerlap jingga-keemasannya lantas menumpanginya ke Negeri Senja[7].
Dan, pada sepertiga malam terakhir, kau hanya bisa terjaga seraya mendapati
diri seorang diri. Kau tak dapat menyampaikan doamu padahal pada waktu istimewa
itu Tuhan turun ke bumi dan mengabulkan segala doamu.
Lantas,
adakah perilaku-perilaku sebelumnya yang membuat tubuhmu harus terpapar di
antara sakratul-maut, atau, adakah mimpi-visimu yang belum terwujud manakala
kau berada dalam situasi seperti itu?
Kau
menggeleng. Takut aku berdusta.
“Sakit adalah
saat di mana dosa-dosa dikelupas-Nya dengan sederhana[8].”
Kau mencoba
menebak arah pikiranku lantaran tiada bersepakat dengan perkataanku. “Sakit
adalah istirah agar kau mengingat-Nya lebih dari sekadar kau mengingat dirimu.”
“Adakah yang
lebih purba dari kenangan?” katamu.
“Ada,”
kataku. “Sakit tersembunyi lebih purba dari kenangan.”
“Benarkah?”
“Kau sakit.
Baiknya kau undur diri.” [*]
[2] Ibidem.
[3] Tentang Negeri Senja dapat dibaca
pada cerpen “Tujuan: Negeri Senja” karya Seno Gumira Ajidarma, Kompas, Minggu, 8 November 1988 dan “Senja dan Cinta yang
Berdarah” (Penerbit Buku Kompas, 2014: 622-629).
[4] Berdasarkan sajak “Hujan Bulan Juni” (1989; Editum, 2012: 89) karya
Sapardi Djoko Damono, yang
penulis rangkum dan ambil dari masing-masing larik pertamanya. Selengkapnya: tak ada yang lebih tabah / dari hujan bulan juni / dirahasiakannya
rintik rindunya / kepada pohon berbunga itu // tak ada yang lebih bijak / dari
hujan bulan juni / dihapusnya jejak-jejak kakinya / yang ragu-ragu di jalan itu
// tak ada yang lebih arif / dari hujan bulan juni / dibiarkannya yang tak
terucapkan / diserap akar pohon bunga itu //.
[5] Kutipan sajak “Dalam Lipatan Kain”
karya Esha Tegar Putra (Motion Publishing, 2015: 93)
[6] Kalimat ini terisnpirasi dari cerpen
“Sarelgaz’” karya Sungging Raga (Indie Book Corner, 2014: 71-76).
[7] Lihat kutipan 3.
[8] Sajak “Aku Ingin” (1989; Editum,
2012: 90) karya Sapardi Djoko Damono, yang dimulai dengan larik: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
M
Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra
dan kopi. Menulis cerpen dan puisi dan tersebar di beberapa media massa. Alumni
PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Kini, berkhidmat di SMAN 1
Panarukan, Situbondo. Bisa ditemui di twitter: @mufirra_ dan facebook: @mfirdausrahmatullah
Cerpen: Enam Cerita tentang Kenangan
Reviewed by takanta
on
September 22, 2019
Rating: 5
Anda keren ...
BalasHapus