Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan
Perempuan itu duduk termangu
di beranda rumah. Meramu kenangan pahit di masa silam. Dulu, terlalu banyak
tangan-tangan hitam yang menjamah tubuhnya, sampai ia tak mampu menarik senyum di bibir ranumnya,
hatinya perih, matanya pedih. Ingin sekali ia melebur ke dalam hujan di sore
itu, agar suaminya tidak tahu kalau matanya mengembun.
Gemericik hujan yang bertalu-talu di genting, di
halaman, di jalanan, di pelupuk hatinya, membuat perempuan
itu senang ketika melihat hujan, meski
sesekali kedatangan hujan memanah perasaannya. Jika itu terjadi, perempuan itu bersyukur
karena dengan begitu—ia
beranggapan—Tuhan masih sayang padanya.
Ayu, begitu
suaminya memanggil, perempuan umur 30-tahunan yang belum dikaruniai anak. Saat pertama mengenal Ayu,
suaminya sering melihatnya menyendiri,
kadang, di dapur, di ruang tamu, di emperan
rumah, bahkan suaminya pernah memergoki Ayu sendirian di sawah. Suaminya hanya bisa menahan
tanya, sesekali ia memaklumi, sebab, kata ibu
Ayu, putrinya bersikap demikian setelah pulang dari Ibu Kota. Tapi tetap saja suaminya
merasa ada yang janggal, hal itu yang
membuatnya ingin mengetahui lukisan silam istrinya.
Terkadang, bila berduaan, Ayu lebih
sering bungkam, apalagi
hendak tidur, lebih parah lagi, ia bak
angin yang mendayu, hanya ada namun tak bersuara.
Sesekali suaminya bertanya tentang masa lalunya, tak ada respon dari Ayu. Ia
seperti orang kekeyangan. Bahkan
sang suami pernah mendengar dari mulut tetangganya, kalau Ayu seperti kerasukan,
dengan sikap dinginnya itu. Namun, suaminya menepis
berita angin itu. Karena suaminya menilai
keseharian Ayu sebagai istri, sama saja
seperti istri kebanyakan, hanya
komunikasi saja yang membedakan.
Di pelataran rumah, Ayu masih
setia menatap hujan jatuh dari genting dan talang rumah. Setiap
tetesnya ia teringat pada masa kanak-kanak bersama Sulastri dan Wiwin, teman
sebayanya. Mereka bertiga berlari-lari, sambil tertawa lepas, bermain cipratan air hujan yang menggenang. Teringat
hal itu Ayu tersenyum, andai bisa terulang, ketika itu pula ia akan melebur
bersama hujan, tapi itu nihil, melihat usia, tentu saja ia malu, meski mendapat izin dari sumainya.
Hujan memang tidak begitu
deras. Angin hanya mendayu, membangunkan bulu roma. Beruntung meski senang
menyendiri—kalau tidak lupa—ia akan membuat teh hangat. Karena ia berkeyakinan,
meski hatinya pilu dengan manis gula, perlahan pilu itu akan lenyap, karena rindu yang memanah jiwanya mulai terasa lepas dan tak membuatnya berat pikir.
“Ayu, kamu tidak mau masuk,
di luar dingin,” panggil
suaminya pelan dari ruang tamu yang sedang menonton televisi ditemani kepulan asap rokok
dan kopi.
Ayu mendengar panggilan itu,
untuk menjawab rasanya berat. Seperti mendung yang mulai ke barat,
hatinya terjerat. Karena takut suaminya salah
tanggap, Ayu menjawab persis seperti yang
sedang ia perbuat.
“Iya Mas, Ayu tahu, tapi Ayu
ingin melihat pelangi,” jawab Ayu.
Suaminya menggeleng setelah menyeruput kopi.
“Ada-ada saja istriku,” gumamnya sambil menggeleng.
Dalam hati, ingin sekali ia
menemui istrinya. Meski sedikit canggung dan
tahu bahwa ia tak akan mendapatkan tanggapan dari istrinya, ia mencoba melawan angan
kelabunya. Suaminya berdiri sambil menjepit rokok di sela-sela jarinya sambil membawa kopi yang tinggal separuh.
“Kamu sedang apa Ayu?” tanya suaminya lembut.
“Aku hanya melihat hujan,
Mas,” tutur Ayu
dengan wajah datar.
Seketika hening, tak ada suara dari suami istri
itu, bunyi hujan semakin pelan. Begitu Ayu, jika ada lawan
bicaranya ia akan
diam—tak peduli siapa yang ada di depannya.
“Apa yang istimewa dari hujan?” tanya suaminya memecah
keheningan.
“Karena hujan aku bisa
bersamamu dan menjadi istrimu, Mas,” raut wajah Ayu tetap datar,
ia tidak melihat suaminya, tatapannya hanya melihat hujan yang berjatuhan bak beribu busur panah.
Suaminya tidak mengerti apa
maksudnya. Berbagai tanya menggantung dalam benaknya.
“Aku tidak tahu apa maksudmu, Ayu.”
“Hanya perempuan yang bisa mengerti, Mas,” sergah Ayu.
“Maksudmu, Ayu?” sanggah
suaminya cepat.
“Kamu tak perlu tahu, Mas” ucap Ayu.
“Aku ingin tahu, karena kamu istriku, Ayu.” Nada suaminya agak naik.
“Justru karena kamu suamiku, Mas. Aku tak
ingin kamu tahu. Karena kalau kamu tahu, Mas, kamu takkan mau menikah denganku,” elak Ayu panjang.
Baru kali ini suaminya bicara
tanpa sekat. Semua ujaran Ayu singkat, padat dan akurat, sesuai dengan apa yang ia alami dan perbuat, yang tak
lain adalah sejarah pahit bagi dirinya. Tetapi meskipun pagi itu indah bagi suaminya, karena dapat
berbicara lencar dengan istri tercintanya, tetap saja hal itu meninggalkan tanya dalam tempurung kepala
suaminya. Sebab pertnayaannya tak kunjung mendapatkan
jawaban dari isrtinya.
“Jika begitu
akibatnya, aku akan diam dan kembali ke ruang tamu,” ujar suaminya datar,
matanya bening, hatinya seolah tertusuk panah, ia tidak terima dengan sikap istrinya.
“Aku tidak ingin kita
berpisah, Mas,” suara Ayu pelan. Matanya mengembun,
seketika tubuhnya lemas, hati dan jantungnya terasa dirampas. Kini suaranya seakan dirampas angin.
Suaminya tidak menanggapi, ia
hanya tersenyum,
mencari alasan agar istrinya tidak
tersinggung. Ia berdiri sambil membelakangi istrinya yang masih menatap rintik
hujan.
“Kamu tidak marah kan, Mas?” tanya Ayu saat suaminya berada
di ambang pintu.
Suaminya tidak menjawab, ia
terus melangkah sambil mengangguk pelan, meninggalkan asap rokok yang
beterbangan.
Hati Ayu lusuh, pikirannya
keruh, laksana air yang tak pernah disentuh.
Meskipun pikirannya keruh, Ayu mencoba meramu kejadian pahit sewaktu di Ibu Kota, bersama
rintihan hujan yang
kian samar-samar.
Waktu itu Ayu berjalan
sendirian dari kampus ke indekosnya. Bulan
mengintip di sela-sela awan. Bintang-bintang tampak memesona. Lampu jalan
bersinar temaram. Jalan yang Ayu lalui
agak sepi. Jantungnya berdegup pelan. Dengan wajah tenang ia lalui jalan yang seolah ada sesuatu, entah apa.
Sejauh mata memandang, indekosnya tampak, secarik senyum
ia goreskan di bibir ranumnya. Ayu menengadah, awan hitam berarak menutupi
bulan dan bintang-bintang. Ia terus berjalan, sambil sesekali menatap sekitar. Ayu
kembali menengadah, langit sudah gelap. Angin malam menyapa kulit, sejuk. Malam
itu Ayu ingin tebar senyum dalam peluk malam agar
lelah dan penatnya berkurang.
Ayu terus melangkah, tak
sabar tubuhnya ingin segera rebah.
Sebab seharian ini ia ngampus tiada henti. Entah karena apa, tiba-tiba
perasaannya berubah, ia merasa di belakang
ada langkah. Ayu ingin sekali menoleh.
Tapi, sontak tubuh Ayu didekap dari belakang, hidung dan mulutnya ditutup kain.
Napasnya tiba-tiba sesak. Ia mamberontak, namun
tak ada hasil, uratnya menengang,
darahnya mengalir deras.
Dalam pandangannya semua
gelap, tetes hujan mulai terasa di
kulitnya, kakinya tidak menyentuh tanah. Hujan
semakin deras dan ia semakin cepat meski pandangannya buram. Semua gelap dalam pandangannya.
Seketika Ayu melihat sekitar. Dari sela-sela
pintu ia melihat televisi masih
menyala.
” Ah, Mas nonton apa?” ucapnya
pelan, sambil mengelap pipinya yang mulai basah. Gerimis sore belum beranjak,
malah terbang ke matanya yang seolah melipat
jarak begitu mudah.
Ingatannya kembali pada tiga
tahun silam. Ayu membuka mata dengan terpicing-picing,
tubuhnya lemas. Pelan Ayu
merasa selangkangannya sakit. Ia
mencoba duduk. Perutnya sakit, tapi ia
paksa. Ayu melihat darah yang mengalir dan menyatu
dengan air hujan di sela-sela pahanya. Rasa sakitnya mulai menjalar
ke badannya. Baju yang ia kenakan tak beraturan dengan celana yang melorot
setinggi lutut. Perlahan ia sadar, apa yang terjadi pada dirinya.
Ingin sekali ia berteriak, tapi itu takkan membalikkan
keadaan, sebab nasi telah menjadi bubur. Ayu berdiri dan melangakah ke bawah
hujan yang masih deras. Mencoba tersenyum meski
dengan paksa. Mengenang masa lalu yang membuatnya
tertawa riang bersama Sulastri dan
Wiwin, dulu. Dengan keadaan yang tak
suci, ia mencoba menengadah, memohon ampunan pada Sang Maha
Pengasih untuk menguatkan dirinya agar kuat menahan setiap cobaan. Di lehernya terasa ada gigitan, merah dan ia merasa sakit.
Ayu mengusap air matanya. Pandangannya
rabun pada gerimis di sore itu. Ia tidak mau jika tubuhnya yang tidak suci diketahui
oleh suaminya. Sebab itulah, ia
memilih mengelak ketika ditanya perihal masa lalunya dan hal itu pulalah yang
membatnya enggan untuk memiliki anak sebelum mendapat ilham dari Ilahi.
Mencintai
hujan bila bertandang adalah kebahagiaan dan
kesedihan yang tersirat baginya. Dengan hujan ia mendapat
jubah untuk menutupi tubuh nistanya di malam
itu dan diperalatkan sebagai alat penyebrang lorong-lorong
kebencian, neraka yang tak ia sangka.
Sore itu
masih gerimis. Kelopak matanya masih mengembun dan mengalir air tipis-tipis. Hatinya teriris, dan ia
mencium amis di sore yang puitis. Membuatnya tak tahan, lalu menangis bersama teh yang sedari tadi tak ia gubris. (*)
Muhtadi ZL, adalah
santri PP. Annuqayah daerah Lubangsa. Aktif di Komunitas Cinta
Nulis (KCN) dan Komunitas
Penulis Kreatif (KPK). Dan
Mahasiswa Instika (HES)
*sumber gambar: aiaara.blogspot.com
Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan
Reviewed by takanta
on
September 08, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar