GNI Indonesia 2019: Perjalanan Melepaskan Ketergesa-gesaan
Oleh: Ahmad Zaidi*
Kau
menyanyikan lagu ini, mengikuti suara vokalis yang memenuhi udara malam.
“Sekian
lama aku mencoba, menepikan diriku di redupnya hatiku, letih menahan perih yang
kurasakan, walau kutahu kumasih mendambamu.”
Lagu itu
mengantarmu memulai catatan ini. Kau bersama lima orang kawanmu, di sebuah meja
cafe di sudut Jember yang dingin. Dari lahan kosong di sebelah, jangkrik
mengerik. Dari jalan, lalu lalang kendaraan membawa derum yang
timbul-tenggelam.
Kau
mengingat malam sebelumnya, dari Situbondo kau bersama Farhan berangkat.
Setelah waktu luang yang Farhan atur sedemikian rupa menemani gebetannya pergi
ke Alun-alun. Setelah pesan pendek yang kau kirimkan melalui WhatsApp.
“Mas
berangkat, Dek.”
Saat itu, jam
menunjukkan angka 22.23. Kalian melajukan motor di jalanan yang panjang dan sepi.
“Aku selalu
suka melakukan perjalanan malam hari ke Jember, menikmati nyala lampu
kekuningan,” ucapmu kepada Farhan di tengah perjalanan.
“Aku suka
dengan aroma pabrik gula di Prajekan,” sambutnya.
Langit
cerah. Bintang-bintang gemerlapan. Kabut tipis menghalangi cahaya lampu menerpa
daun-daun. Lalu… kalian tiba di Jember pada pukul 23.43. Setelah menghubungi
kawan kalian, Alif, dan berjanji bertemu di Jalan Jawa, kalian langsung
bergegas menuju sebuah rumah kos di Jalan Halmahera.
Di kamar
kos Alif, kau melihat Farhan membuka-buka bekal dari gebetannya. Pisang nugget
dan jenang yang kalian makan dan kau tertidur setelah kembali mengirim pesan,
“Mas nyampe di Jember.”
Pelajaran untuk Tidak Terburu-Buru
Hari masih
pagi benar, saat kau bergegas menuju kos adikmu untuk meminjam laptop. Jalanan lengang.
Satu-dua mahasiswa baru mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam, menggendong
tas, dengan wajah mengantuk berjalan menuju kampus. Saat kembali ke kos dan
menemukan Farhan masih tertidur, waktu belum genap pukul tujuh. Kau punya
sedikit waktu untuk melanjutkan tidur, mandi dan menghabiskan sebatang rokok.
Baru ketika
jam delapan lewat, kau bersama Farhan menuju Meotel Jember. Di sana, beberapa
peserta telah lebih dulu tiba.
“Laki-laki
mengenakan kaos hitam itu,” ujar Farhan kepada kau, “adalah seniorku di persma
dulu.”
Setelah
melakukan registrasi dan kalian berbasa-basi dengan beberapa orang, panitia menjelaskan
bahwa kegiatan yang merupakan bentuk kerjasama antara Aliansi Jurnalis
Independen, Internews dan Google News Initiative ini dilakukan sejak tahun
2017. Telah dilaksanakan di beberapa kota. Di ruangan yang AC-nya terlalu
dingin itu, dua orang pemandu yang masuk ke ruangan agak terlambat membuka
kegiatan itu dengan kalimat yang kau sukai, “Ini bukan seminar, ya, jadi jangan
terlalu serius.”
Dua
laki-laki. Yang pertama berkacamata, mengenakan topi, dan kaos hitam
bertuliskan ‘cekfakta baru bicara’. Sementara satu orang lagi dengan kacamata
yang dipasang di kepala, berkemeja putih. Orang pertama kemudian kau tahu
adalah Bina Karos, seorang freelance fotografer dan satunya Anang Zakaria,
seorang jurnalis.
Setelah
perkenalan singkat, dan penjelasan mengenai kegiatan itu, secara bergantian
mereka menyampaikan materi. Farhan yang sedari awal duduk di sebelahmu,
sesekali mencatat poin-poin penting.
Mis-Disinformasi
Pengertian
hoaks dalam KBBI yang cenderung merugikan profesi jurnalis, Anang tegaskan
ketidak sepakatannya dengan hal itu. Hoaks, diartikan oleh sebagai berita
bohong. Penyebutan berita dalam redaksi KBBI itulah yang merugikan jurnalis.
Nanti, saat sesi istirahat, kau mendengar pernyataan Bina Karos, bahwa sebagian
masyarakat Indonesia tidak lagi mempercayai jurnalis berikut media sebagai
penyampai informasi. Tentu itu bukan karena KBBI. Masyarakat, memposisikan
media sosial sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Padahal, banyak
misinformasi dan disinformasi yang disebar melalui media sosial. Misinformasi
adalah informasi yang salah, namun orang yang menyebarkannya percaya itu benar.
Sementara disinformasi adalah informasi yang sengaja diproduksi dan disebarkan
dengan beragam alasan: politik, demi meraup keuntungan dan lain-lain.
Ada tujuh
macam mis-disinformasi yang Anang jelaskan. Pertama satire, yang dibikin untuk
lucu-lucuan, tidak bermaksud lain namun berpotensi membodohi. Kedua konten
menyesatkan, konten yang sengaja diproduksi demi tujuan tertentu, berita-berita
yang dipelintir. Ketiga adalah konten aspal, asli tapi palsu. Keempat konten
pabrikasi. Kelima, gak nyambung, konten
yang tidak sesuai antara judul, gambar dan isi. Keenam, konteksnya salah.
Ketujuh, konten manipulatif.
Lalu, apa
yang sebaiknya dilakukan demi menghindari dua jenis informasi itu? Gampangnya, sebagai
penerima informasi kita harus mulai membiasakan diri bersikap kritis terhadap
informasi yang diterima. Tidak terpancing dengan judul berita yang sensasional
dan bombastis. Melakukan perbandingan dengan media-media mainstream. Dan bagi
seorang jurnalis, check and recheck sangat
penting. Verifikasi. Tapi… seorang jurnalis mengatakan, terkadang ia dituntut
oleh perusahaan tempatnya bekerja agar menulis berita yang sensasional. Sampai ada
yang menimpali, “kalau begitu ya, biar perusahaan atau redakturnya saja yang nulis sendiri.”
Semua peserta
bertepuk tangan dan ada yang tertawa, tapi kau tahu, tak banyak jurnalis yang
berpikiran semacam itu.
Periksa, Jangan Buru-Buru
Menjelang akhir
sesi di hari pertama, kau berusaha mengingat materi-materi yang disampaikan. Tapi,
tak banyak yang kau ingat. Kemudian, kau menemukan tweet salah satu peserta yang di awal-awal Farhan ceritakan sebagai
seniornya di LPMS Ideas. Tweet yang
berisi materi selama kegiatan.
Begini.
“Tujuh alasan
orang memproduksi informasi palsu: jurnalisme yang lemah, buat lucu-lucuan,
sengaja membuat provokasi partisanship,
cari duit –clickbait atau iklan,
gerakan politik dan propaganda."
"Delapan
tips identifikasi situs abal-abal: cek alamat situsnya, cek detail visual,
waspada jika terlalu banyak iklan, bandingkan ciri-ciri pakem media mainstream,
cek laman about us, waspada judul
sensasional, cek berita ke situs mainstream,"
"Informasi
paslu, seringkali memanfaatkan logo media mainstream, menggunakan foto tokoh
publik, paling banyak menggunakan foto kemudian video, ditambah dengan narasi."
Kau bertanya-tanya,
dengan masifnya arus informasi di internet. Banjir informasi. Apa yang
sebaiknya kau lakukan?
Seorang psikolog,
Laras Sekarasih, Dosen Psikologi Media UI pernah berkata, "Orang lebih
cenderung percaya hoaks jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang
dimiliki."
Masih ada
sesi kedua. Tapi Farhan berjanji untuk menulis sesi kegiatan di hari kedua itu.
Dan kau ingat, di sebuah lift, kawanmu itu berkelakar, “Aku membayangkan, nanti
saat lift ini terbuka, akan ada segerombolan orang yang memegang senjata lalu
menghujani kita dengan peluru.”
Tapi itu
tidak terjadi. Nanti, sepulang dari sini, kawan-kawanmu kemungkinan akan
menghujanimu dengan pertanyaan, “Apa yang kau dapatkan selama pelatihan?”
Maka, semoga tulisan ini bisa menjawabnya.*) Penulis merupakan laki-laki yang ingin pergi ke Negara Api.
GNI Indonesia 2019: Perjalanan Melepaskan Ketergesa-gesaan
Reviewed by takanta
on
September 23, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar