Cerpen: Tanjung Kesedihan
"Ya. Aku
tahu."
"Lalu,
mengapa kau membawaku ke tempat ini?"
"Sama
sepertimu, aku tidak cukup punya banyak alasan."
"Jadi,
bisakah kita selesaikan ini dengan cepat?"
"Ayo. Lekas lakukan."
Lalu suara
tembakan mengoyak malam yang remang, dua peluru meluncur berlawanan arah umpama
garis nasib yang tak bisa dibendung, menembus dua kepala. Beberapa detik
setelahnya, dua tubuh tergeletak di atas rumput di dekat dua pucuk revolver
juga selongsong peluru yang kosong.
Sehari sebelum kejadian
Margono membawa
mayat istri dan juga anaknya ke pemakaman kampung yang tak terawat itu. Semak
belukar menyelimuti nisan-nisan yang kehilangan nama. Bunga-bunga kamboja
tumbuh dengan subur di sana, dahannya berkelindan dengan reranting yang
mengarah ke atas serupa tangan-tangan pendosa yang merapalkan doa. Dulunya,
pemakaman itu ramai dikunjungi setiap sore pada hari kamis yang penuh dengan
taburan bunga, wangi kemenyan dan juga kenangan. Hingga suatu waktu,
orang-orang tidak lagi peduli tentang alam kematian, tentang keyakinan bahwa
ada kehidupan lain di bawah nisan itu. Orang-orang masih percaya Tuhan, tapi
tidak dengan doa.
Margono mulai
mencangkul tanah pemakaman dan membuat dua buah
lubang seolah ia sedang mencongkel penyesalan sedalam-dalamnya. Setelah
selesai, diletakkan tubuh kaku istri dan anak kesayangannya dengan berat hati
di masing-masing liang lalu ditimbunnya dengan tanah. Ada yang ingin ia
katakan, banyak, tapi ia urungkan niatan itu sambil melangkah gontai
meninggalkan pemakaman, menyeret kesedihannya menjauh. Tapi tetap saja,
penyesalan itu tidak bisa luruh.
Semua berawal
saat ia mencalonkan diri sebagai kepala desa di Tanjung Pecinan. Menjadi salah
satu orang yang cukup disegani oleh hampir setiap warga desa tidak membuatnya
puas. Ia ingin mencicipi bagaimana rasanya menimang kekuasaan. Saat itu ia
begitu yakin, tidak seorang pun yang berani bersaing dengannya, apalagi berniat
mengalahkannya.
Mengetahui niatan
suaminya untuk maju sebagai calon orang nomor satu di desa, Asih, istri Margono
melarang keinginan suaminya. Tak pelak, Margono yang sebelumnya begitu
menghormati Asih sebagai perempuan, sebagai teman, juga kekasih yang selama ini
begitu setia kepadanya, untuk kali pertama melayangkan tamparan kepada Asih.
Hantu macam apakah kekuasaan itu, yang bisa mengubah Margono hingga tega
memperlakukan istrinya seperti itu?
Perbuatannya itu
membuat Asih pergi dari rumah, membawa anak mereka, membawa kemarahan yang
menjadi-jadi.
Sejak saat itu,
Margono menjadi tidak begitu peduli dengan kabar istri serta anaknya. Ia
disibukkan dengan acara penjamuan bagi semua warga yang setiap malam datang
bertamu ke rumahnya.
Tapi mendadak
semua keinginannya seperti lenyap seketika. Nafsunya untuk berkuasa runtuh.
Saat pada malam yang teramat ia sesali, ia menemukan dua tubuh terkulai begitu
saja di halaman rumahnya, yang ternyata itu adalah Asih dan anak mereka.
Satu-satunya hal yang ingin Margono lakukan saat ini adalah mencari tahu siapa
yang membunuh istrinya, lalu melampiaskan dendam yang mulai menggerogoti
jiwanya. Dalam pikirannya, tiba-tiba muncul wajah orang yang begitu dikenalnya,
orang terdekatnya yang saat ini menjadi musuhnya: Rustam.
Di masa lalu,
Rustam dan Margono adalah dua sahabat yang terkenal nakal. Kedekatan mereka
diperkuat oleh nasib, lantaran sama-sama kehilangan kedua orangtua mereka dalam
kecelakaan. Kapal yang ditumpangi dua keluarga kecil itu tenggelam. Hal yang
bisa diselamatkan hanya dua bocah yang terlalu dini untuk mengerti bahwa hidup
mempunyai sisi gelap yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun, bisa datang
kepada siapa saja semau-maunya.
Mereka diasuh dan
dibesarkan oleh seorang pria tua pemabuk yang tinggal di dekat muara Pantai
Tangsi. Dari pria tua itu, Rustam dan Margono belajar betapa kerasnya hidup.
Pergi melaut di pagi hari, saat matahari menampakkan rona jingga pertamanya di
batas horizon. Mendempul perahu menjelang sore. Menjala ikan di malam hari.
Begitu hampir setiap hari.
Hingga saat
anak-anak seusia mereka disekolahkan oleh orangtuanya. Tanpa disangka-sangka
sebelumnya, pria tua pemabuk mendaftarkan Rustam dan Margono untuk bersekolah
sama seperti anak-anak lainnya.
Pernah suatu
ketika, waktu pria tua mulai merasa bahwa tak lama lagi masa hidupnya akan habis,
ia mengajak dua anak yang diasuhnya itu berbicara tentang banyak hal. Tentang
masa mudanya, tentang apa yang sebaiknya diketahui dan rahasia-rahasia yang
dipendamnya. Rustam dan Margono bertanya, apa alasan pria tua itu menyekolahkan
mereka.
"Mungkin bagi
kalian aku hanyalah pria tua pemabuk yang menyebalkan. Tapi aku juga ingin
melihat kalian jadi orang besar kelak. Tidak menjadi pria pemabuk yang hanya
merutuki nasib juga Tuhan."
Dalam sakitnya di
usia yang tak lagi muda, sambil terkekeh-kekeh, pria tua itu tersenyum menatap
bola mata dua bocah di hadapannya seperti anaknya sendiri.
Kemudian maut merayapi tubuh tuanya. Pria tua itu mati. Kematian yang ganjil.
Rustam dan Margono, yang terlatih atas pedihnya kehilangan, terkekeh-kekeh
sambil menenggak arak di depan mayat pria yang merawat mereka.
"Selamat
jalan, Pak Tua. Selamat mencicipi panasnya api neraka."
Rustam dan
Margono bersulang, merayakan kepergian satu-satunya orang yang tulus menyayangi
mereka, meski dengan cara yang berbeda dengan orang kebanyakan. Apakah kematian
mesti dirayakan dengan kesedihan?
Semenjak pria tua
itu mati, Rustam dan Margono merantau ke luar kota. Menggenapi harapan pak tua
yang ingin mereka menjadi orang besar kelak. Mereka kuliah, ikut dalam
organisasi, diskusi-diskusi. Hingga keduanya dihadapkan pada hal menyebalkan,
ketika harus berbeda pemikiran, organisasi dan pilihan jalan hidup.
Sekali waktu,
saat mereka pulang dalam masa liburan yang singkat, keduanya datang ke kuburan
pria tua itu, untuk merawat kenangan, tentu dengan apa yang
pernah mereka lakukan di masa lalu. Menangis dan tertawa secara bersamaan dalam
keadaan mabuk.
Dan ada masa-masa
lain yang mengharuskan Rustam dan Margono menghadapi hal menyebalkan lainnya:
mereka mencintai perempuan yang sama.
Perempuan itu
adalah Asih. Kembang desa yang memiliki mata lebih sendu dari rembulan. Pipi
merona melebihi keindahan senja. Dan senyum lebih indah bentuknya daripada buah
apel. Margono mencintai Asih dengan rutin mengirimi bunga, sementara Rustam
beberapa kali mengiriminya puisi yang diambilnya dari majalah mingguan.
Namun pada
akhirnya, Rustam mengalah, membiarkan Asih dan Margono menikah. Pernikahan yang
tidak didatanginya. Hanya sebuah kado serta kartu ucapan selamat. Dan Margono
tahu, di sebuah ruangan yang pengap Rustam berjibaku dangan getir yang
ditahannya kuat-kuat.
Setelah
pernikahan itu, Rustam tidak pernah sekali pun memberi kabar. Ia seperti lenyap
ditelan entah.
Lambat laun,
Margono ikut membesarkan nama partai yang juga membesarkan namanya sebagai
kader unggulan. Hingga kemudian, ia menjadi salah satu kandidat terkuat untuk
maju menjadi walikota. Hanya saja, persiapan untuk menuju ke sana perlu
dilakukan dari jauh-jauh hari. Langkah awal yang harus diambilnya adalah
menjadi kepala desa, melakukan sesuatu yang bisa mengangkat Namanya. Setelah
cukup itu semua, jalannya untuk menjadi seorang walikota akan semakin mudah.
Maka alangkah
kagetnya Margono, ketika seseorang yang begitu dikenalnya ikut maju mencalonkan
diri untuk menjadi kepala desa. Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah
Rustam. Seorang pembesar salah satu partai yang memiliki pendukung melebihi
dirinya. Ia tahu, semua yang dilakukan Rustam adalah upaya untuk menggagalkan
rencana besarnya.
Upaya-upaya yang
dilakukan Rustam bisa berupa ancaman langsung kepada Margono, bahwa ia tidak
akan segan-segan melakukan apa saja untuk menghentikan Margono.
"Berhentilah,
atau hal buruk akan terjadi."
Belum selesai
keterkejutan itu, Asih, istrinya tiba-tiba saja menghalang-halangi ambisinya
itu dengan melarangnya dengan sikap tidak selayaknya Asih yang begitu penurut.
Lalu tanpa bisa ia cegah, Margono mendaratkan sebuah tamparan di pipi kanan
Asih. Memulai rentetan peristiwa yang sama sekali tak diinginkannya.
Malam itu Asih
terbunuh bersama anaknya, dengan dua tembakan di tubuhnya.
Margono menyusun
kepingan ingatannya, kejadian demi kejadian di masa lalu dan menghubungkannya
dengan apa yang ia alami lantas mengambil kesimpulan bahwa kegilaan ini harus
segera dihentikan.
Maka saat itu
juga, ia akan pergi menemui Rustam.
Beberapa jam
menjelang kejadian
Rustam mengajak
Margono ke Pantai Tangsi. Melewati jalan setapak di antara tambak-tambak.
Mereka mengingat masa-masa kecil mereka. Masa kecil yang membahagiakan dan
penuh dengan hal-hal menyebalkan.
Mereka mendengar
suara dua anak kecil yang tertawa bersama, benyanyi lagu-lagu anak sepulang
sekolah, mereka pernah menjala ikan di sana bersama pria tua pemabuk. Hanya
sekarang, keadaan sudah tidak sama lagi.
"Tidak perlu
kaukatakan, aku juga ingat masa-masa yang jauh itu." Rustam berkata
tenang, seolah ia bisa menebak pikiran Margono.
Mereka terus
berjalan, dan sampai di kubur pria tua yang merawat mereka dari kecil.
"Jadi kenapa
kau mengajakku kemari?"
"Aku ingin
menjelaskan sesuatu, tapi itu sudah tidak penting buatmu."
Margono melihat
Rustam mengeluarkan sesuatu dari saku jaket sambil tersenyum menatapnya lalu
berkata lirih, "Seperti biasanya."
Setelah selesai
semua itu. Margono mengacungkan pistol
ke kepala Rustam. Begitu pula dengan Rustam.
"Sebelum kau
membunuhku, boleh kukatakan sebuah kebenaran?"
"Apa?"
"Bukan aku
yang membunuh Asih."
Tak lama setelah
kejadian
Margono terbangun
dari pingsannya. Kepalanya masih terasa berat dan sakit terkena tembakan peluru
karet. Di sampingnya, Rustam tergeletak tanpa nyawa dengan wajah tersenyum.
Margono menyadari sesuatu. Lelaki itu belum banyak berubah, masih lembut
seperti biasanya.
Tiba-tiba Margono
menangis. Orang-orang yang begitu berarti dalam hidupnya telah pergi. Pada
mulanya istri dan anaknya, lalu ia baru saja membunuh saudaranya sendiri. Jadi
apa alasan ia masih hidup?
Ia dicekam
kesepian yang menyayat. Limbung seorang diri, mengutuk apa yang terjadi. Ada
begitu banyak pertanyaan dalam kepalanya. Tapi itu sudah tidak penting lagi.
Diambilnya pistol miliknya itu, diarahkan ke kepalanya, dan bunyi tembakan itu
mengakhiri hidupnya, juga cerita ini.
Tanjung Pecinan,
24 Juli 2018
Ahmad Zaidi, laki-laki yang percaya bahwa rambutnya yang gondrong akan menjelma seperti Kutukan Medusa.
*sumber gambar: id.wikihow.com
Cerpen: Tanjung Kesedihan
Reviewed by takanta
on
September 01, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar