Cerpen: Gerimis Kedua
image: sanket mahapatra |
Oleh: Wilda Zakiyah
“Tidak ada yang mengenal gerimis, Lia. Jangan memaksa untuk berkenalan. Sebab gerimis dan hujan, sama saja.”
“Tidak ada yang mengenal gerimis, Lia. Jangan memaksa untuk berkenalan. Sebab gerimis dan hujan, sama saja.”
***
Di sebuah kedai kopi pinggir jalan, gadis kecil sekitar usia sembilan
tahun duduk memunggungi jalanan. Rambut yang dikucir kuda dan hanya menyisakan
poni yang bergoyang ditiup angin, gadis itu menyapu pandangannya ke seluruh
sudut kedai. Pandangan matanya jatuh pada seseorang yang duduk tenang di pojok
ruangan. Sambil menyeruput kopi pada secangkir gelas yang diyakini sudah dingin, ia pun melangkah mendekatinya.
“Sedang apa kamu di sini? Sana pulang.”
“Aku ingin berkenalan dengan gerimis.”
“Jangan bodoh, Lia. Tidak ada yang mengenal dia,” bentaknya
lagi
Lalu laki-laki itu menarik lengan Liana, gadis kecil
berkucir kuda tersebut. Dengan sedikit amarah yang ditahan ia berkali-kali
mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengajak gerimis berkenalan. Liana
meronta-ronta minta dilepaskan. Siapa yang tidak marah melihat keponakan
kacilnya di sebuah kedai saat malam hari dan tengah hujan deras begini,
pamannya tetap tidak akan melepas. Tangis yang sia-sia.
“Kau lihat kan? Tidak ada yang mau mengenalku selain gadis
kecil itu,” kata gerimis.
“Kau salah, mereka bukan tidak mau mengenal tapi kau terlalu
menutup diri, jadi mereka menganggap kau adalah bagian dari hujan. Mereka sudah
mengenal hujan, artinya mereka sudah mengenalmu,” ucap Cirrus.
“Kau tahu apa? Kau tidak pernah menghasilkan aku atau hujan,
kau awan tinggi yang bentuknya saja tidak jelas.” Gerimis menyeringai.
Jari-jarinya mengetuk permukaan meja.
Beberapa menit yang diisi diam. Hening tanpa suara kecuali
bunyi jari-jari gerimis mengetuk meja. Ah, pikiran mereka memang tidak pernah
sejalan. Malam semakin menusuk, mereka tetap bergelut dengan pikiran
masing-masing.
“Memang kenapa kalau kamu disamakan dengan hujan?”
“Sesuatu yang berbeda tidak bisa disamakan, Cirrus. Aku dan
hujan berbeda. Kadang aku hanya turun
sendirian tanpa dia, begitupun sebaliknya. Tapi manusia hanya mengharapkan
hujan, bukan aku. Mereka tidak pernah sadar bahwa hujan sering menenggelamkan
mereka, sering membuat para petani gagal panen bahkan membunuh anak-anak dan
ternak mereka. Mereka tidak pernah mengingat aku atau setidaknya mengajak
berkenalan.”
“Berhenti menyalahkan hujan, kalian sama, sama-sama
dibutuhkan, sama-sama dirindukan, sama-sama melukiskan kenangan, kau hanya
kurang peka. Contohnya Liana, gadis kecil itu rela pergi ke sini hanya untuk
berkenalan denganmu. Harusnya kau bersyukur. Aku mana ada yang kenal atau
rindu. Bagiku, tidak ada pilihan lain selain bersyukur.” Ah, Cirrus sepertinya
sudah dewasa. Padahal puluhan ribu tahun yang lalu, dia masih awan kecil yang
abstrak.
“Apa kau punya Alzheimer?“
“Sudah kubilang, kami berbeda. Kau tetap saja bilang sama.”
“Sudah kubilang, kami berbeda. Kau tetap saja bilang sama.”
“Terserahlah.”
Cirrus beranjak dari kursinya, melangkah gontai ke arah
pintu masuk kedai, menyisakan hening yang semakin menggila. Laki-laki itu
hilang setelah menembus hujan.
“Aku hanya iri. Puisi Sapardi saja menuliskan hujan bulan
juni, bukan gerimis. Tidak ada yang memakai namaku dalam judul puisi atau
cerita-cerita pendek, apa aku sepayah itu tidak bisa mengembalikan ingatan
tentang kenangan?” gumamnya sendirian.
Tatapannya dibuang ke luar jendela. Dan lihatlah, senyumnya begitu getir saat angin mengapit lengan hujan dan melambaikan tangan ke arahnya.
Tatapannya dibuang ke luar jendela. Dan lihatlah, senyumnya begitu getir saat angin mengapit lengan hujan dan melambaikan tangan ke arahnya.
***
Liana duduk menghadap jendela, menunggu gerimis datang. Dia
sudah bosan bertemu hujan, sesekali ingin mengajak gerimis berkenalan,
bercerita apa saja, berbagi kenangan dan akhirnya berteman.
Dulu, gadis kecil itu sering mendengar dongeng tentang
gerimis dari neneknya sebelum meninggal. Meski orang-orang bilang kalau gerimis
tidak ada artinya atau kata lain percuma, gerimis tetap punya perasaan. Seperti
perasaan rindu dan cemburu. Neneknya selalu mengantar Liana tidur dengan cerita
anak tentang gerimis, duduk di sebelahnya dan mulai bercerita. Setiap malam
dengan cerita berbeda tapi tetap tentang gerimis.
“Nek, sudah lama gerimis tidak bertamu ke rumah kita. Apa dia
tidak kangen Lia, yah?” Gadis itu meratap. Seolah hujan tidak pernah datang
untuk menghibur, selalu gerimis yang ditunggu.
Di sisi lain....
“Ayo, turunlah setelahku. Tepat di halaman rumah gadis kecil
itu. Dia selalu menunggumu,” bujuk hujan, disaksikan angin.
“Aku tidak akan turun kalau bukan Tuhan yang menyuruh. Kau
nikmati saja tanah-tanah yang berhasil kau suburkan, teruslah berkencan dengan
angin dan sesekali bersulang bir dengan petir dan guntur. Aku akan tetap duduk di sini. Toh
tidak ada yang mengharapkan aku turun,” tolaknya.
“Kau tidak pernah berubah, tetap saja kekanak-kanakan.”
“Aku kan memang masih muda, umurku belum setua kau yang
sudah ada sejak dunia masih porak-poranda karena musim yang belum stabil sampai
bumi tua renta seperti sekarang.” Dia
membuang muka.
Hujan meninggalkannya sendirian. Ucapan yang berbanding
terbalik dengan hatinya. Ia tahu itu terlalu kasar, tapi ia tidak ingin
dikasihani.
Setelah semalaman hujan lebat tanpa henti, hari ini menjadi
sangat cerah. Sisa air hujan masih menggantung di daun-daun dan kelopak bunga,
kuncup yang mulai bermekaran. Udara begitu segar. Anak-anak menghabiskan waktu
bermain untuk menikmati liburan. Hujan semalam seperti meninggalkan hadiah
berupa keceriaan-keceriaan. Lagi-lagi berkat hujan, bukan gerimis.
Berbeda dengan Liana, gadis itu sama sekali tidak keluar
kamar. Sibuk mewarnai di kamarnya. Gerimis diam-diam mengintip di celah-celah
daun jendela yang masih tertutup rapat. Sepertinya gadis itu benar-benar
merindukan gerimisnya.
“Nanti, sebelum senja matang, aku akan turun,” janjinya.
***
Tepat sebelum senja benar-benar berubah matang, langit tetap
terlihat cerah, tanpa ada awan tebal abu-abu dan angin kencang. Seperti sore
pada musim kemarau. Burung-burung bergerombol untuk kembali pulang ke rumahnya
masing-masing. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Tapi siapa yang
menyangka gerimis tiba-tiba memecah ketenangan demi menuntaskan janji pada gadis kecil yang sama sekali belum
dikenalnya.
Wajah yang datar seketika melukis senyum. Ia berlari ke luar
rumah, Liana menemukan kebahagiannya.
“Aku benar, kau pasti datang.”
“Maaf, sedikit terlambat,” kata gerimis
“Mari berkenalan, namaku Liana, Kau gerimis kan? Aku sudah
lama menunggumu.”
“Terima kasih sudah menunggu, Lia.”
“Kita berteman,” ucapnya bersemangat. Gerimis menjawabnya
hanya dengan senyuman.
“Aku suka kau datang sendirian. Kita bisa menghabiskan
banyak waktu untuk bercerita dan bercanda. Aku rindu nenek, kau yang
mengobatinya ketika aku sedang ingin bertemu dengannya.”
Liana bercerita banyak hal, dari rindunya pada sang nenek,
sekolahnya yang membosankan, teman-temannya yang baik, pamannya yang
menyebalkan sampai makanan favoritnya. Semua menjadi pembahasan yang renyah.
Gerimis yang ketus dan tertutup itu pelan-pelan mulai tertawa, bercanda dan
bercerita tentang pekerjaannya untuk turun di musim penghujan, berbagi
pengalaman di berbagai tempat selama dia diciptakan sebagai gerimis.
Matahari akan segera berpamitan, warnanya semakin kemerahan,
separuhnya sudah terlipat di ujung singgasana barat, menyisakan setengah
lingkaran.
“Aku harus kembali. Lain kali aku akan main lagi. Sampai
jumpa, Lia.”
Gadis itu melambaikan tangan. “Jangan lupa untuk datang
lagi, yah,” teriaknya.
Siapa sangka mereka akan sulit untuk kembali mengulang kebahagiaan-kebahagiaan
sederhana itu. Anggap saja bahwa itu adalah perpisahan panjang setelah pertemuan
yang amat singkat. Langit murka. Harusnya gerimis turun sesuai dengan jadwal
alam. Turun sesuai titah Tuhan atau turun sesuai kitab langit. Bukan seenaknya
seperti sore tadi. Hukuman yang berat setelah gerimis menemukan teman
manusianya. Gerimis tidak boleh turun selama dua puluh sembilan tahun waktu
bumi.
***
Tepat saat hukuman itu usai, gerimis datang ke rumah Liana,
hendak meminta maaf tidak pernah berkunjung setelah pertemuan itu. Ini kali
kedua gerimis datang. Mengetuk pintu rumah Liana dengan tangan gemetar.
Berharap gadis itu keluar dan segera menceritakan hari-harinya selama mereka
tanpa kabar. Rumah yang kotor sekali,
seperti sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.
“Mencari siapa, Paman?”
tanya seorang gadis kecil saat tubuh mungilnya keluar dari
balik pintu.
“Kau siapa? Di mana Liana?” tanyanya.
“Paman mencari Ibu? Ibu meninggal saat mencoba menampar
petir untuk bertemu dengan gerimis. Petir tidak mau dan akhirnya membunuh Ibu,”
ceritanya.
“Lalu, di mana Ayahmu?”
“Mencari gerimis. Tapi sudah belasan tahun beliau tidak
pernah kembali.”
“Kau tinggal bersama siapa?”
“Bersama harapan, harapan akan datangnya gerimis kedua. Ibu
menyuruhku menunggu. Oh iya, Paman siapa?”
“Aku gerimis.”
Dan cerita ini selesai begitu saja. Tanpa penjelasan dan
tanpa perasaan, tinggal harapan, dendam dan kenangan. Sisanya ada pada seberapa
beruntung kau akan bertemu gerimis dan bercerita banyak padanya tanpa
menyamakannya dengan hujan. Konon katanya, gerimis menyapa anak-anak kecil yang
duduk sendirian di musim penghujan, lalu mengajaknya ke halaman. Bermain
bersama.
Dan berbagi dingin bersama....
Situbondo,
25 September 2019Wilda Zakiyah, alumni Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Pegiat literasi, penikmat seni dan sastra.
Cerpen: Gerimis Kedua
Reviewed by takanta
on
Oktober 27, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar