Cerpen: Ingatan tentang Sepasang Mata
Beberapa hari ini kepalaku pusing dan tak sempat menulis puisi. Aku pun tak
sempat makan dan minum dan merokok dan juga mandi. Hal yang kusebut terakhir itu
kulakukan enam hari yang lalu. Hampir seminggu sebenarnya. Jika Yani tidak
meneleponku dan mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari pernikahannya dan
beberapa jam lagi upacara sakral itu akan dimulai, mungkin aku tak akan mandi.
Mengapa aku sampai lupa akan acara itu. Aku sudah berjanji kepada Yani,
jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan ketika masih bermain pasaran bersama di belakang rumahku dua puluh dua tahun lalu, bahwa
aku akan menjadi orang pertama yang datang ke rumahnya, membetulkan letak
sanggul di kepalanya[1],
mengatur make up-nya, dan
meresletingkan kebayanya. Yani sering bercerita, ia akan mengenakan kebaya di
hari pernikahannya lantaran ingin
seperti Raden Ajeng Kartini yang begitu anggun
dan jawani. Aku membayangkan, tentu
Yani akan terlihat seperti perempuan-perempuan Solo dan
Yogyakarta.
Aku pun terpaksa minum obat sakit kepala agar reda nyeri di kepalaku. Kesalahan
terbesarku adalah beberapa hari belakangan aku sering begadang menyelesaikan draf
kumpulan puisi pertamaku dan kuselingi dengan minum kopi bermug-mug dan merokok
yang tentu saja tanpa kuimbangi minum air putih
(sehingga aku berteori bahwa kopi tanpa rokok bagai langit tanpa bumi atau
bagai siang tanpa malam. Singkat kata, tak lengkap). Aku ingin menjadikan buku itu sebagai mahar
pernikahanku dengan Yani. Nyatanya, ia memberiku kabar bahwa ia akan menikah. Aku sungguh
terkejut. Kepalaku mendadak pening.
* * *
Sedari kecil, aku dan Yani bersahabat. Rumah kami berdekatan, hanya
dipisahkan sebuah kebun sempit dan kandang sapi milik
keluarganya. Kandang
yang juga sempit, sebab tak banyak sapi yang dipelihara, namun cukup untuk
menegaskan status dan keberadaan keluarganya. Tangannya yang lentik dan ditumbuhi rambut-rambut
tipis begitu mahir memainkan pisau kecil yang dijadikannya alat
memotong ontel[2].
Lantas, ia bertindak sebagai penjual tentu saja. Kami bersepakat, tanpa aturan
yang jelas dan mengikat, menjadikan potongan ontel itu sebagai daging. Sedangkan aku sebagai pembeli. Maka,
dengan guguran daun nangka yang menguning itu kujadikan uang untuk membeli daging
ontel itu. Adakala
aku membeli ontel yang masih utuh
sebagai obat pengusir nyamuk (main di kebun dan dekat kandang sapi tentu tak
lepas dari makhluk penggigit itu). Daun nangka yang masih hijau tidaklah laku dalam aturan kami. Semakin
kuning dan langsat daun nangka itu semakin tinggi nilai mata uangnya.
Sering aku mengingat permainan itu. Selalu. Setiap malam yang larut. Setiap
dingin menusuk. Setiap kutulis puisi sampai meringkuk. Jemari tangannya yang
mungil dan lengannya yang bersih-cerah membuatku terbayang betapa dulu sering
kugenggam erat jemari-tangan itu. Di bawah langit putih. Di ujung jalan sepi.
Rimbun waru juga randu berjajar di tepian sawah yang usai dipanen. Rerumput tua
dan bebatu purba menyimpan ingatan bagaimana kami berlarian mengejar
layang-layang putus milik teman kami. Aku mengejarnya sebelum Yani tercebur di pematang itu. Siput, cuyu, katak, dan
ikan, berhamburan mendengar tubuhnya berdebam. Yani menangis. Lantas kukejar layangan itu dan
kubawakan untuknya. Ia segera diam.
Awan-gemawan menggantung, menyimpan ingatan tentang sore itu.
Beburung terik
bergegas ke timur. Sebentar lagi hujan turun. Kutuntun tubuhnya yang penuh
lumpur. Ia takut orangtuanya mengamuk. Kubersihkan tubuhnya di sungai yang
masih jernih itu, yang saban waktu berkecipak ikan sepat dan wader. Kulepaskan bajuku
dan kukenakan padanya lantaran bajunya kotor penuh lumpur. Aku hanya memakai
kaos-kutang yang tipis tanpa lengan.
Aku tak berminat dengan senja itu. Tak ada Negeri Senja[3]
sebagaimana dongeng-dongeng yang disitirkan nenekku saban malam. Senja tetaplah
senja. Tetap jingga
keemasan. Aku juga
tak pernah tahu apa itu sunset,
tersebab matahari senantiasa terbit dan terbenam saban hari. Yang kuingat, kami sama-sama melepaskan baju, tanpa tahu
Malaikat Pencatat mencatat perbuatan anak Adam yang hampir aqil-baligh. Di langit.
* * *
Beberapa malam sebelumnya, aku dan Yani bertemu di kedai kopi
milik Ben dan Joddy[4]. Keduanya dulu juga
teman pasaran kami dan sering berebut
peran sebagai penjual dengan Yani. Itu adalah pertemuan pertama kami (aku, Ben,
dan Joddy) dengan Yani semenjak Yani dan keluarganya hijrah ke kota. Aku
bahkan sudah terlebih dulu tahu tentang Filosofi Kopi dan hampir saban hari
menulis puisi di kafe itu. Kami
ngobrol banyak tentang rencana berlibur ke kampung
halaman (barangkali saat ini sudah berubah). Tentang musim yang begitu panas sehingga membikin dehidrasi lebih cepat.
Tentang laut. Tentang kapal, perahu tiada berlaut[5].
Tentang rencana menumpang pelangi ke Negeri Senja, meski senja kini tiada lagi
berwarna keemasan. Kami merindukan satu sama lain.
Malam itu begitu dingin hingga menelusup ke dalam sweaterku. Aku menggigil. Angin malam menembus kulitku dan
menggoyangkan nyala tiga lilin di depanku. Aku memesan cafe latte panas dan Yani memesan kopi toraja. Entah sejak kapan ia
menggemari kopi hitam, apalagi kopi toraja memiliki tekstur rasa yang kental
saat disesap, bercita rasa asam, memiliki aroma earthy yang khas, dan terkenal pahit. Padahal, ia adalah salah satu teman sepermainanku yang begitu anggun dan terlihat feminis di
antara teman yang lain. Kedua sifat itu
tentu saja bertolak-belakang dan sangat musykil.
“Kau tahu, Rian, sebuah kopi membawa suatu maksud bagi peminumnya,” Yani
berkhotbah.
“Minum kopi bukan lagi persoalan gender. Laki-laki atau perempuan. Maskulin atau feminin. Ngopi adalah bagaimana kau meresapi tiap
sesapan pahit kopi di dalamnya dan kau akan memaknai tabiat kehidupan.”
Aku sempat menolak teorinya bak barista sungguhan. Aku sedang tak ingin
berdebat masalah kopi. Kupikir, minum
kopi, ngopi, atau apalah namanya, tak lebih dari sekadar pekerjaan malas di
warung kopi, kedai kopi, kafe, bar, atau apapun namanya, sembari memencet tombol smartphone seolah-olah pebisnis sedang
menunggu klien atau investor, atau pengurus partai politik sedang melobi anggota
dewan agar merevisi undang-undang tertentu, atau tak lebih dari orang udik
ngobrol ngalor-ngidul
memperbincangkan pemerintah yang tak becus menentukan harga bahan bakar minyak.
Namun, matanya yang jernih membuatku mengurungkan niat berdebat. Di
kedalaman matanya aku melihat kejujuran seluas laut, ketulusan seteduh hutan
tropis, keikhlasan sejingglang purnama.
“Terlepas dari apakah kau menyukainya atau tidak, kopi
tetap kopi, kita tetap merasai sisi pahit
sebuah kopi yang tak dapat disembunyikan[6]. Lebih dari kita mengingat kenyataan pahit ditinggalkan
orang-orang yang pernah kita miliki dan kita cintai.”
Ah, itu kan ucapan Joddy kepada Ben beberapa
waktu yang lalu. Dari mana Yani mengetahuinya? Sialan barista gadungan ini!
Aku mengingat, dulu, betapa ia begitu disayang dan dimanja orangtuanya.
Apapun keinginan yang dipintakannya pasti dikabulkan. Termasuk mengoleksi berbagai-rupa
boneka. Bagi keluargaku, membeli sebuah boneka seukuran orang dewasa sama
dengan jatah makanku selama enam bulan. Maka, tak heran, setiap pulang sekolah,
aku dan teman-teman selalu bermain di rumah Yani. Juga, ketika hujan turun dan kutuntun
tubuhnya yang penuh lumpur lantas kubersihkan tubuhnya di sungai yang masih
jernih itu, yang saban waktu berkecipak ikan sepat dan wader.
Akan tetapi, keluarga Yani yang begitu kaya dan merupakan tuan tanah membikin orang-orang
di kampung kami cemburu. Ketika menginjak remaja, orang-orang kampung membakar rumah keluarga Yani beserta seluruh
ladang-sawah yang dimiliki. Termasuk kandang
sapinya. Tak bersisa. Orang-orang itu
berteriak, “Lintah darat!”, “Rentenir!”, “Orang merah!”. Sebelum menyadari hal
itu, keluarga Yani telah meninggalkan kampung dan menuju ke kota, pada malam-malam
buta.
Berawal dari situ, aku mengenal Yani dari
sisi yang lain. Mengenalnya sebagai
perempuan yang sangat perempuan. Tak
sepertiku. Seperti kata Ben, sebagaimana kopi, perempuan pun mempunyai
karakter.
* * *
“Aku merasa, aku harus menikah pada akhirnya.
Aku tak ingin hidup dalam kesendirian lagi.”
Yani mengatakan itu ketika aku hampir menyelesaikan draf kumpulan puisiku.
Sebelum kepalaku mendadak pusing. Sebelum aku tak sempat makan dan minum dan
merokok dan juga mandi. Bahkan, sebelum sempat kutekan tombol titik di keyboard komputer, ia mulai ngelantur membicarakan kebaya yang
hendak digunakan pada resepsi pernikahan nanti. “Seperti kopi, ia harus diseduh
dengan air panas tentunya, supaya aromanya kian meruap.”
Semenjak bermain pasaran bersama
di belakang rumahku dua puluh dua tahun lalu, diam-diam aku menyukainya. Entah
lantaran apa. Apakah jemari tangannya yang mungil dan lengannya yang
bersih-cerah membuatku terbayang betapa dulu sering kugenggam erat
jemari-tangan itu, yang begitu mahir memainkan pisau kecil yang ia jadikan alat
memotong ontel. Atau bagaimana ia
amat lihai memerankan penjual aneka sayur dan daging dengan suara yang
dikemayu-kemayukan. Aku tak tahu.
Aku menunda menekan tombol itu dan membalikkan punggung ke hadapan Yani.
Matanya masih sejernih dulu. Mata itulah yang mengilhami puisi-puisi yang
kutulis. Mata yang menawan, begitu menawan, bagaikan tiada lagi yang lebih
menawan selain matanya. Aku berharap, semoga mata itu tetap dapat kunikmati
sampai kapanpun.
“Aku akan tetap menyimpan seluruh kenangan di antara kita,” lanjutnya.
“Dan apapun keputusan yang kuambil adalah nur
buatku. Aku akan pulang: kembali membuat kenangan sepanjang jalan seraya
membuka warung dan melupakan wajah para pembakar rumah keluargaku, juga pasaran denganmu. Dari jauh aku akan melihat kebahagiaan dan keindahan
yang lain. Mencintai tanpa kamu.
Mencintai tanpa kelamin.”[7]
Namun, kepalaku kian pening.
* * *
Hanya ada kau dan aku dalam puisi ini:
kunang-kunang
berubah ganih dan waktu
berhenti pada menit keduabelas.
Kata-kata menjadi gelap dan makna pun kekal dalam pekat.
Kau tahu,
cinta memekarkan rembulan,
sedang gemintang berubah menjadi planet baru.
Kau tahu,
itu adalah amsal tentang riwayatmu dan puisi-puisi
yang tak kunjung usai kutulis. Mengapakah
kau berharap lebih dari itu sementara aku
menginginkan tak lebih dari itu,
padahal telah kutemukan kembali namamu[8]
dalam cerita ini?
Aku harus melupakan acara itu. Meskipun aku sudah berjanji kepada Yani,
jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan ketika masih bermain pasaran bersama di belakang rumahku dua puluh dua tahun lalu, bahwa
aku akan menjadi orang pertama yang datang ke rumahnya, membetulkan letak
sanggul di kepalanya, mengatur make up-nya,
dan meresletingkan kebaya yang ia gunakan di pernikahannya.
Juga, aku tak akan minum obat sakit kepala agar reda nyeri di kepalaku meskipun beberapa
hari belakangan aku sering begadang menyelesaikan draf kumpulan puisi pertamaku
yang kuselingi dengan minum kopi bermug-mug dan merokok tentu saja tanpa
kuimbangi minum air putih. Aku ingin menjadikan buku itu sebagai mahar
pernikahanku dengan Yani walau dengan begitu aku
dan Yani harus menikah di luar negeri yang mengakui status kami. Nyatanya, ia memberiku kabar bahwa beberapa jam lagi ia akan
menikah. Aku sungguh terkejut. Kepalaku mendadak pening. Namun hanya sebentar.
Sebetulnya,
malam itu, Yani menginap di rumahku. “Aku capai mengurus pernikahanku seorang
diri, Riananda.” Semalaman, ia menemaniku menyelesaikan naskah kumpulan
puisiku. Ia pun terlelap di bahuku usai kupencet tombol titik itu.
Akhirnya. Puisi-puisiku
pun lengkap. Lantas kutatap matanya
dalam-dalam. Mata yang sudah kukenal sejak kecil. Mata yang lucu yang selalu
membuatku jatuh hati setiap hari. Mata yang indah yang senantiasa bercelak. Mata
yang terpaksa kucongkel dari kelopaknya yang
fana, lantas kupindahkan ke dalam puisi-puisiku, agar ia kekal di dalamnya. (*)
2015 s.d 2019
M Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi.
Menulis cerpen dan puisi dan tersebar di beberapa media massa. Alumni PP Bahrul
Ulum, Tambakberas, Jombang dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Kini, berkhidmat di
SMAN 1 Panarukan, Situbondo. Bisa ditemui di twitter: @mufirra_ dan facebook:
@mfirdausrahmatullah
[1] Ingatan
akan puisi Soe Hok Gie berjudul “Sebuah Tanya”
[2] Ontel
adalah bunga buah kluwih (di daerah lain buah kluwih disebut “kulur, “timbul,
“gomu, dll). Ontel berbentuk seperti tongkol, gada memanjang yang menggantung,
dan apabila diserut kulitnya dapat menghasilkan serbuk berwarna kuning jika
matang. Pada zaman dahulu, dengan dibakar, ontel dimanfaatkan untuk mengusir
nyamuk.
[3]
Tentang Negeri Senja dapat dibaca pada
cerpen “Tujuan: Negeri Senja” karya Seno Gumira Ajidarma, Kompas, Minggu, 8 November
1988 dan “Senja dan Cinta yang Berdarah” (Penerbit Buku Kompas, 2014: 622-629).
[4] Ben
dan Joddy adalah tokoh dalam cerita “Filosofi Kopi” (Dewi “Dee” Lestari, 2013. Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa
Satu Dekade [cetakan kelima]. Yogyakarta: Bentang. Hal. 1-30).
[5]
Kutipan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” (Chairil Anwar, 2012. Aku Ini Binatang Jalang [cetakan ke-24].
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 71)
[6] Dewi “Dee”
Lestari, 2013. Filosofi Kopi: Kumpulan
Cerita dan Prosa Satu Dekade [cetakan kelima]. Yogyakarta: Bentang. Hal.
28.
[7]
Paragraf ini merupakan gubahan sebuah status di akun facebook milik seorang kawan, tertanggal 12 Mei 2015.
[8] Kutipan
sajak “”Dalam Lipatan Kain” karya Esha Tegar Putra (Motion Publishing, 2015:
93)
Cerpen: Ingatan tentang Sepasang Mata
Reviewed by takanta
on
Oktober 06, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar