Home
/
Alif Febriyantoro
/
Cerpen
/
Cerpen: Untuk Seorang Perempuan yang Hanya Kepadanya Kesedihan Bertempat
Cerpen: Untuk Seorang Perempuan yang Hanya Kepadanya Kesedihan Bertempat
Oleh: Alif Febriyantoro
Perempuan itu selalu bersedih, wajahnya selalu terlihat murung, setiap hari, dari pagi sampai malam, dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan bermimpi. Ia bersedih di mana-mana; di rumah, di kantor, di pasar, di taman, di toko baju, atau semua tempat yang biasa perempuan kunjungi. Maka semua orang di kota ini pun mengenalnya. Dan tentu saja semua orang akan heran dan bertanya-tanya kenapa perempuan itu selalu bersedih.
Perempuan itu selalu bersedih, wajahnya selalu terlihat murung, setiap hari, dari pagi sampai malam, dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan bermimpi. Ia bersedih di mana-mana; di rumah, di kantor, di pasar, di taman, di toko baju, atau semua tempat yang biasa perempuan kunjungi. Maka semua orang di kota ini pun mengenalnya. Dan tentu saja semua orang akan heran dan bertanya-tanya kenapa perempuan itu selalu bersedih.
“Perempuan itu sudah bersedih sejak
pertama kali aku bertemu dengannya. Wajahnya murung. Bahkan ketika mendapatkan
diskon baju 70 persen, ia tetap saja bersedih. Aneh!”
“Perempuan itu tetangga saya. Dia baru
saja menikah loh. Tapi anehnya dia tak pernah terlihat bahagia.”
“Benarkah? Wah, tidak tahu untung!
Terus kenapa suaminya mau menikah dengannya?”
“Ya mana saya tahu.”
Namun itu hanya awalnya saja. Ketika semua orang selalu melihatnya bersedih hampir selama setahun, mereka mungkin sudah merasa bosan sehingga tak membicarakannya lagi. Malah sebaliknya, perempuan itu mendapatkan banyak pujian karena telah konsisten dalam bersedih. Bayangkan, selama setahun penuh ia selalu bersedih dan tak pernah sekali pun tersenyum. Bayangkan, siapa yang sanggup hidup dengan kesedihan? Mungkin hanya perempuan itu yang sanggup. Maka dari itu, akhirnya ia mendapat penghargaan dari pemerintah dan dinobatkan sebagai Duta Kesedihan.
“Kenapa Anda menikahinya?” tanya
seorang wartawan pada suatu ketika.
“Karena saya mencintainya.”
“Kenapa Anda mencintainya?”
“Karena saya merasa bahagia.”
“Kenapa Anda bisa bahagia, sedangkan
istri Anda selalu bersedih?”
“Karena ia telah mencuri semua
kesedihan yang saya miliki.”
Pasangan tak jelas! Begitulah umpatan
setiap wartawan yang mewawancarai pasangan itu.
Oh, apakah kesedihan selalu membuat
orang menjadi tak jelas?
Tanda tanya tertinggal begitu saja. Tak
ada jawaban yang bergerak. Tapi waktu akan terus bergerak; setahun, dua tahun,
tiga tahun, empat tahun, dan dalam kurun waktu yang sangat melelahkan itu, akan
selalu ada yang menulis cerita tentang seorang perempuan yang selalu bersedih,
yang hanya kepadanya kesedihan bertempat. Dan setelah lima tahun berlalu,
beginilah cerita yang baru:
Di sebuah kota yang berbahagia, ada
seorang perempuan yang selalu bersedih. Ia hidup sebatang kara setelah
ditinggal suaminya. Namun ia bersedih bukan karena kepergian suaminya, bukan.
Ia sudah bersedih sebelum sang suami menikahinya. Sampai saat ini belum
diketahui apa yang membuatnya bersedih. Perempuan itu belum punya anak. Apakah
kesedihan membuatnya mandul? Entahlah, belum ada yang tahu pasti. Tapi yang
pasti, perempuan itu kini tinggal di sebuah toko yang didirikannya sendiri dari
sisa uang yang dimilikinya. Dan toko itu bernama, Toko Kesedihan.
Sungguh picisan. Kenapa semua kesedihan
selalu dekat dengan klise? Entahlah. Tapi perempuan itu masih hidup. Masih
bersedih. Dan untuk hidup, ia pun menjual kesedihannya.
Di kota yang berbahagia, tentu saja
kesedihan akan laku terjual.
“Silakan, Mas, dipilih. Mau kesedihan
dalam bentuk apa?” tanya perempuan itu tetap dengan wajah yang murung.
“Saya ingin merasakan lagi kesedihan
ketika ditinggalkan kekasih. Ada, Mbak?”
“Ada.”
Di kota yang berbahagia, tentu saja
segala bentuk kesedihan akan laku terjual.
“Cari kesedihan apa, Bu?”
“Sudah lama saya tak mengalami
kesedihan. Kemarin saya kena penipuan paket umrah. 25 juta melayang. Tapi saya
heran, sama sekali saya tidak bersedih. Saya malah tertawa dan berpesta
merayakan penipuan itu.”
Di kota yang berbahagia, memang tak ada
orang yang bersedih, kecuali perempuan yang menjual kesedihan itu. Ada gadis
yang diperkosa oleh lima orang mahasiswa, tapi ia tidak bersedih. Ada seorang
perempuan dibegal dan kehilangan tangan kirinya, tapi ia tidak bersedih. Ada
laki-laki yang baru saja tertabrak kereta, tapi sang kekasih tidak bersedih.
“Silakan cari istri lagi yang lebih
memuaskan. Aku tidak akan bersedih.”
“Jangan sembunyi-sembunyi lagi
mengambil uang Bapak. Bapak tidak akan marah.”
Dan masih banyak lagi kisah lain di
kota yang berbahagia ini, yang seharusnya orang-orang menjadi sedih ketika
sesuatu yang memang idealnya akan membuat orang-orang mengalami kesedihan, tapi
malah seakan-akan kesedihan tak pernah dikenal lagi oleh manusia. Seperti raib
begitu saja. Seakan-akan semua kesedihan berkumpul menjadi satu di dalam tubuh
perempuan itu, seorang perempuan yang selalu bersedih, yang hanya kepadanya
kesedihan bertempat.
Pernah sebelumnya terjadi demo
besar-besaran. Semua orang berkumpul di depan Toko Kesedihan. Mereka menuntut
bahwa semenjak membeli dan mengkonsumsi kesedihan yang terbungkus dalam kantong
plastik berukuran A4 dibagi 2, mereka tak kunjung mengalami kesedihan.
“Kenapa kita tak kunjung mendapatkan
kesedihan setelah membeli produknya?” tanya seorang wanita muda dengan wajah
yang berbahagia. Padahal ia tengah mengandung tiga bulan dan baru saja
ditinggalkan kekasihnya.
“Jangan-jangan perempuan itulah yang
mencuri semua kesedihan yang kita miliki,” tegas salah seorang lelaki sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Bakar! Bakar!” bentak yang lain dengan
senyum yang berbinar-binar.
“Kenapa ya, kita tak bisa benar-benar
marah?”
Begitulah, sekuat apapun usaha mereka
mengkritik, mereka akhirnya tak bisa marah juga. Sebab di kota yang berbahagia,
kemarahan sudah tak pernah ditemui lagi. Mereka marah, tapi di sisi lain mereka
juga bahagia. Semuanya akan tertawa ria. Padahal mereka tahu, penipuan sudah
terjadi berkali-kali. Tapi mereka tetap saja membeli sebungkus kesedihan di
Toko Kesedihan.
“Kenapa Anda menjual kesedihan, padahal
Anda tahu tak akan ada orang yang berhasil bersedih?” tanya seorang penulis
cerita pendek yang kemudian menemui perempuan yang selalu bersedih itu, yang
wajahnya selalu terlihat murung.
“Kelak, seseorang akan membayar mahal
hanya untuk mendapatkan kesedihan.”
“Bukankah kesedihan ini hanya Anda jual
lima ribu rupiah per bungkusnya? Jujur ini harga yang sangat murah.”
“Harga yang sangat mahal bukan diukur
dengan jumlah mata uang.”
“Lalu?”
“Kau tak akan pernah mengerti, karena
kau termasuk orang-orang yang berbahagia.”
Pemuda itu lantas terdiam. Kemudian
pulang, bersama orang-orang yang berdemo itu. Tapi ia masih saja tersenyum dan
masih berbahagia walaupun hanya mendapat sedikit bahan untuk dituliskan sebagai
cerita.
Oh, apakah kesedihan memang begitu
mahalnya sehingga orang-orang tak pernah berhasil mendapatkannya?
Tak ada yang tahu pasti, dan tak ada
juga yang perlu diketahui lagi. Sebab di kota yang berbahagia, semua orang yang
berusaha ingin bersedih akan selalu berujung percuma. Dan meskipun mereka belum
juga menemukan bagaimana caranya bersedih, mereka tak akan pernah merasa putus
asa. Mereka akan terus mengulang usahanya. Terus mengulang dan selalu akan
tertawa girang meskipun akhirnya selalu menjumpai titik gagal.
Maka begitulah, di kota yang berbahagia
ini, kejadian-kejadian tak penting akan selalu diulang-ulang. Semacam putaran
waktu yang tak kunjung surut. Entah kapan perempuan yang selalu bersedih itu
akan berbahagia, atau entah kapan orang-orang di kota yang berbahagia ini akan
mendapatkan kesedihannya kembali.
***
Setahun kemudian, di kota yang
berbahagia, seorang pria tak sengaja berjalan melewati Toko Kesedihan. Ia juga
tak sengaja ketika tiba-tiba melihat ada sebuah amplop kecil terdampar di depan
pintu masuk. Tapi kemudian dengan sengaja ia mengambilnya, dan dengan sengaja
pula ia membukanya, lantas membaca surat di dalamnya.
Untuk seorang perempuan yang hanya kepadanya kesedihan
bertempat, kukirim surat ini bersama angin, bersama dingin, juga bersama
perasaan yang menggigil. Bagaimana kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja di
sana. Sebenarnya, setelah kepergianku enam tahun silam, aku kehilangan arah
tujuan, aku ingin segera pulang agar dapat bercumbu kembali denganmu. Aku tak
bisa jauh dari tubuhmu. Namun nahas, di perjalanan pulang aku disergap segerombolan
polisi. Kemudian mereka membawaku, lantas memasukkanku ke dalam penjara. Aneh.
Mereka mengatakan, bahwa ada sebuah hukum di kota ini yang melarang seseorang
untuk berpakaian compang-camping. Ini jelas aneh. Sebab di kota yang
berbahagia, kau tahu sendiri, semua orang berpakaian seperti itu dan tak pernah
ada yang melarang. Tapi tentu saja, walaupun aku diseret-seret dan dipukuli
berkali-kali, lantas dimasukkan ke dalam penjara dengan cara dilempar, tidak
sedikit pun kesedihan yang kurasakan. Aku malah tertawa girang. Kau tahu,
mereka yang berada di sini menatapku heran. Aneh, bukan?
Aku tulis surat ini secara diam-diam. Beruntung di sudut sel
ini aku menemukan sebuah amplop, selembar kertas kosong, dan sebuah pensil.
Entahlah milik siapa. Aku tak peduli. Aku hanya peduli kepadamu. Dan lagi-lagi
beruntung, teman satu selku akan dibebaskan keesokan harinya. Lantas kutitipkan
saja surat ini kepadanya. Dan yang lebih beruntung lagi dia juga berasal dari
kota yang berbahagia. Jadi aku tak perlu repot-repot menjelaskan alamat kota
yang berbahagia.
Semoga surat ini benar-benar sampai kepadamu. Aku hanya
ingin memberi kabar bahwa aku baik-baik saja di sini. Aku masih berbahagia.
Tunggulah, setelah aku terbebas dari belenggu ini, aku pasti akan kembali. Dan
sekali lagi, untukmu yang sedang jauh dari jarak pandang, semoga kau selalu
dalam keadaan baik-baik saja. Salam bahagia dari suamimu, yang masih
mencintaimu.
“Haha... Tolol. Bodoh. Kepet.
Sontoloyo!!”
Pria yang membaca surat itu tertawa terbahak-bahak.
Ia seperti tak ingin berhenti memaki-maki orang yang menulis surat itu. Sebab
ia tahu satu hal, perempuan yang selalu bersedih itu, yang hanya kepadanya
kesedihan bertempat, seminggu yang lalu telah ditemukan gantung diri, di
tokonya sendiri. (*)
Alif Febriyantoro, lahir di Situbondo. Masih sering melamun.
*Sumber gambar: www.brilio.net
Cerpen: Untuk Seorang Perempuan yang Hanya Kepadanya Kesedihan Bertempat
Reviewed by takanta
on
Oktober 13, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar