Ironi Pertanyaan Mahasiswa
Oleh: Nurul Fata*
Sejarah mencatat bahwa momentum-momentum
perubahan besar dunia tidak
pernah lepas dari peran pemuda. Hampir setiap gerakan revolusi menempatkan perjuangan pemuda di garda depan. Begitu
pun di Indonesia, beragam cara mereka lakukan untuk memperjuangkan nasionalisme
dan mengusir kolonialisme. Dari gerakan anarkis yang melibatkan kekuatan fisik
dan senjata, sampai akhirnya beralih pada gerakan ideologis dengan kekuatan ide
atau gagasan. Kemudian dari gerakan ideologis ini, lahirlah yang salah satunya
adalah Sumpah Pemuda.
Sudah
91 tahun usianya sejak dilahirkan dari rahim ideologis para pemuda dari pelosok negeri.
Sehingga kemudian konsep tanah air satu, bahasa yang satu, dan bangsa satu
yaitu Indonesia, telah mengantarkan generasi pemuda ke sebuah ruangan yang
demokratis dan teknologis saat ini. Meskipun di ruangan itu masih terdapat
sudut-sudut yang suram. Hal itu tentu menjadi refleksi bagi para pemuda hari
ini, lebih-lebih bagi diri saya sendiri. Bagaimanakah peran pemuda hari ini, khususnya
yang direpresentasikan dalam diri mahasiswa?
Saya pikir kemunduran gagasan di sebagian kalangan mahasiswa hari ini semakin jelas, yang ditunjukkan dengan komentar-komentarnya di media sosial. Banyak komentar negatif dengan gaya “kritis”, yang mereka lontarkan terhadap postingan orang lain (tokoh, pejabat atau kerabat). Tanpa mereka pahami isu, persoalan, subtansi atau esensi yang ada dalam postingan tersebut.
Fenomena
itu sering saya temukan. Misalkan saya temukan dalam cuitan Mahfud MD (28/10)
ia menyatakan,
“Radikalisme tak
pandang golongan apapun. Kalau muslimin Indonesia tidak radikal. Kalau kaum
muslimin radikal terhadap ideologi dan konstitusi tentu NKRI sudah runtuh. Yang
radikal hanya sekelompok orang, yang bisa dari agama apa saja.”
Sehingga
menimbulkan banyak reaksi yang salah satunya dari akun yang tak perlu saya
sebutkan, begini tulisnya,
“Kalau mayoritas
ngapain radikal??? Biasanya radikal itu minoritas. Dan muslim di Indonesia
adalah mayoritas. Paham prof?”
Selain
itu banyak tanggapan negatif, yang melontarkan ketidakpercayaannya terhadap
kinerja Prof.
Mahfud sebagai Menko Polhukam. Ya belum apa-apa sudah dikritik.
Fenomena di atas juga terjadi
pada diri saya, di tanggal yang sama, saya memposting cuplikan artikel Budiman
Sudjatmiko di Kompas (28/10) yang berjudul Sumpah
Pemuda dan Data Pintar. Mas Budiman di akhir tulisannya
mengajak pembaca mengenal teks yang menurutnya adalah Sumpah Pemuda 4.0,
kemudian cuplikan teks itu
saya posting di akun sosial media saya.
“Kami 63,36 juta putra dan putri pasangan
Manusia Bijak (Homo Sapiens) dan Manusia Data (Homo Datum) Indonesia yang
berdiam di 416 kabupaten dan 98 kota, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
air Indonesia, yang terletak di antara 6 derajat Lintang Utara, 11 derajat
Lintang Selatan, 95 derajat Bujur Timur, dan 141 derajat Bujur Timur
Nusantara:…”
Nah,
dari teks yang saya posting itu, ada dua mahasiswa yang berkomentar, yang
pertama akun atas nama @MuhammadIlham.
Mahasiswa pertama ini mengingatkan saya agar tidak merevisi teks Sumpah Pemuda
yang berpotensi mengundang emosi. Ia bilang, saya harus paham tempat dan
situasi dalam memposting teks macam itu. Saya sempat bingung dan berpikir,
apakah saya yang tidak paham situasi atau dia yang tidak paham subtansi dan
esensi? Sedangkan penulis teks itu bukan manusia abal-abal seperti saya. Kalau
bicara tempat, justru tulisan itu disebarluaskan di media massa yang lebih
ekstrem.
Mahasiswa
kedua dengan akun @DestaAliwafa berkomentar
bunyinya seperti ini,
“Marilah jangan sampai
Indonesia yang indah ini kau usik dengan bahasa-bahasa propaganda, berikan
kata-kata stimulus untuk mengobarkan semangat pemuda untuk bangsa ini.”
Pertanyaanya,
dia paham teori
propaganda atau tidak sih?
Kemudian
saya beri jawaban sedikit,
malah tambah ngawur balasannya.
“Mas Homo itu apa?
Saya tidak menemukan Homo yang artinya manusia di KBBI. Apalagi Datum gak ada
itu di KBBI di mana-mana saya cari.”
Pertanyaannya
mereka ini tuntas tidak sih bahasa Indonesianya? Kalau belum diserap ke dalam bahasa
Indonesia, ya tidak ada lah. Lah ini cari pengertian Homo di KBBI? Lalu saya beri tahu dia bukunya Jared Diamond, Yuvual Noah
Harari dan lain-lainnya. Apa jawaban mereka? Sebagai orang Indonesia, ya saya cari di KBBI, karena saya cinta bahasa
Indoneisa. Mendengar jawaban itu, saya yakin akal yang sehat tiba-tiba
sakit. Jawaban semacam itu menunjukkan, bahwa mahasiswa seperti mereka masih
miskin informasi dan kurang memperkaya bacaan.
Melihat
fenomena itu, oleh Tom Nichols (2019) disebut “Efek Dunning-Krugger”, yang
ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger, peneliti psikologi di Cornell
University melalui penelitiannya. Di mana Efek Dunning-Kruger mengatakan
semakin bodoh Anda, semakin Anda yakin kalau Anda sebenarnya tidak bodoh.
Menurut
Nichols, dengan lebih halus Dunning dan Kruger menjuluki orang-orang semacam
itu sebagai “tidak berkeahlian” atau “tidak kompeten”. Juga dalam temuan
utamanya mengatakan seperti ini: “Mereka bukan hanya salah dalam menyimpulkan
dan membuat pilihan; inkompetensi juga merampas kemampuan mereka menyadari
kesalahan atau kebodohan tersebut.
Artinya,
kebanyakan orang ini terlalu banyak bicara, namun tidak dibekali dengan
informasi yang lebih. Bahkan mahasiswa matematika menyalahkan pernyataan dosen
ilmu politik dan seterusnya. Sehingga perdebatan yang terjadi tidak dialektis.
Mahasiswa matematika ini justru tetap merasa dirinya benar. Nah, mempertahankan
kebenarannya inilah secara tidak sadar ia menunjukkan kebodohannya. Padahal
dosen ilmu politik tadi, pernyataannya memang sesuai ahli di bidangnya. Tentu
pengalaman dan keilmuannya jauh kompeten dari pada mahasiswa matematika tadi.
Lantas
apakah semua mahasiswa seperti itu? kemungkinan hanya sebagian. Lalu apa yang
perlu diperbaiki? Kualitas kampus menjadi penentu. Karena banyak kampus-kampus
yang didirikan hanya untuk meraup keuntungan. Kebanyakan kampus tidak memenuhi
standar, namun tetap saja dipaksa. Sehingga lahirlah mahasiswa asal bicara,
asal kritis.
Di
era industri, kampus pun dikapitalisasi. Sehingga kehadiran mahasiswa di
kampus, hanya sebagai klien yang harus dilayani, bukan dididik dan dilatih
keterampilannya. Menurut Nichols juga (2019), kampus layaknya mall, mahasiswa
datang sebagai pembeli dan harus dilayani. Sebagaimana paham industri, pembeli
itu sebagai raja yang harus dilayani. Sehingga esensi protes atau kritik
mahasiswa yang tidak subtantif, tidak dapat dijelaskan oleh dosen. Dosen tidak
bisa membantah karena mereka tugasnya beralih menjadi pelayan. Dengan dalih
bahwa mahasiswa sudah membeli tenaga mereka, mahasiswa membayar kampus.
Menurut
saya, hari ini kampus tak ubahnya kebun perburuan. Di mana calon mahasiswa beramai-ramai
datang untuk berburu ijazah. Padahal identitas kesarjanaan bukan dilihat dari
seberapa cepat sesorang membawa pulang ijazah, melainkan seberapa banyak
buku-buku yang lahir dari pikirannya.
Jadi
jelas apa yang perlu diperbaiki, yaitu kualitas dan sistem pendidikan kampus.
Kedua adalah mahasiswa itu sendiri. Apa yang perlu diperbaiki mahasiswa?
Keterampilan, keahlian dibidangnya (kalau tidak ahli dibidangnya dengarkan
saja), banyak membaca, banyak mendengarkan, banyak melihat, banyak berdiskusi,
lalu menulislah dengan kritis minimal yang konstruktif. Agar tidak berkeliaran
di Indonesia pernyataan Nichols. Apa itu? “Sebagai pelanggan, mahasiswa selalu benar.”
Cieeeeeee... serius amat bacanya dari tadi.
------------------------------------
*) Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta.
------------------------------------
*) Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional, Jakarta.
Ironi Pertanyaan Mahasiswa
Reviewed by takanta
on
Oktober 29, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar