Cerpen: Fragmen Ingatan
Oleh: Alif Febriyantoro
Tentang Bola dan Rumah Tua
Usiaku masih enam tahun ketika dulu aku
berlari ke arah rumah tua di depan rumahku. Aku berlari karena bola yang
kutendang melayang ke atas dan masuk ke rumah tua itu. Namun langkahku
terhenti, teriakan mamaku sangat keras.
“Nikolas, jangan main ke sana.
Berbahaya!”
“Ayo pulang!”
“Tapi, Ma. Bolaku di sana.”
“Sudah, nanti Papa pasti belikan yang
baru.”
“Tapi, Ma....”
Belum sempat menyudahi ucapanku, mamaku
sudah ada di dekatku. Kemudian menyeret lenganku.
“Sudah, ayo pulang! Hampir malam!”
Rumah tua itu terlihat sangat menyeramkan.
Apalagi saat malam dan di luar sedang hujan. Di kamarku ada jendela. Jendela
itu menghadap tepat ke rumah itu. Karena dulu aku masih menginginkan bolaku dan
yang aku pikirkan adalah bagaimana cara untuk mendapatkannya kembali, maka
malam itu aku memberanikan diri untuk menyingkap gorden dan melihat ke luar.
Tatapanku tertuju ke rumah itu. Sangat menyeramkan. Seakan-akan ada sesuatu di
dalamnya. Seakan-akan ada yang bergerak. Padahal rumah itu sudah kosong sebelum
aku dilahirkan. Dan benar saja, sesaat setelah mataku mulai terasa lelah karena
terus memerhatikan rumah itu, tiba-tiba bolaku terlempar sendiri.
Memantul-mantul di tanah yang basah. Tentu saja aku kaget dan ketakutan. Dengan
cepat aku menutup gorden. Aku melompat ke kasur. Memeluk guling dan menarik
selimut sampai menutupi seluruh tubuhku. Dan aku tertidur.
Saat aku terbangun, tubuhku berkeringat.
Karena masih penasaran, aku kembali melihat ke luar jendela. Namun sejauh mata
memandang, aku tak menemukan apa yang sedang aku cari.
Kereta, Bola, dan Obat-obatan
Usiaku delapan tahun ketika Papa tewas
tertabrak kereta. Aku menangis. Mama menangis. Semua orang datang ke rumah. Rumah
mendadak ramai, seperti tempat wisata. Pada saat itu aku tak berpikir kenapa
bisa papaku itu tertabrak kereta. Yang ada dalam pikiranku dulu hanyalah janji
Papa yang akan membelikanku bola baru.
Seminggu kemudian, kutemukan Mamaku
terkapar di kamar mandi dengan mulut berbusa. Setelah itu, aku seperti hilang
kesadaran dan jatuh ke lantai. Dan semuanya menjadi gelap.
Cita-cita
Usiaku sepuluh tahun ketika aku pindah
rumah ke daerah selatan yang dingin. Di sana aku tinggal bersama Nenek, ibu
dari mamaku. Aku ingin berhenti sekolah, tapi aku dipaksa untuk melanjutkan
jenjang pendidikan. Kata Nenek, biar jadi pintar. Sebenarnya aku ingin jadi bodoh
saja. Aku tak ingin sekolah. Aku hanya ingin menjadi pemain sepak bola.
Setidaknya, dulu aku mempunyai
cita-cita.
Keputusan
Saat usiaku dua puluh lima tahun, aku
berpikir bahwa cita-citaku adalah ingin mempunyai cita-cita. Karena rokok dan
minuman-minuman keras, aku gagal menjadi pemain sepak bola. Memang pada saat
itu aku sudah menyelesaikan kuliahku. Tapi aku tak ingin bekerja di kantor.
Atau bekerja kepada seseorang. Atau bekerja kepada seseorang dan seseorang itu
juga bekerja kepada seseorang yang lain. Aku tak ingin hidupku menjadi rumit.
Cukup pola pikirku saja yang rumit. Jadi pada saat itu aku memutuskan untuk
menulis.
“Carilah pekerjaan, menulis bukan
pekerjaan. Menulis itu kutukan!” kata seorang teman.
Tetapi aku hanya diam. Dan, tersenyum.
Pernikahan
Saat usiaku sudah menginjak kepala
tiga, Nenek berkata, “Cepatlah menikah, punya anak, dan hidup bahagia.”
Seminggu setelah Nenek mengatakan itu,
beliau meninggal. Bukan karena penyakit. Tetapi karena sudah waktunya. Aku
menyatakan berduka pada sebuah meja bar dan menghabiskan beberapa botol Vodka.
Karena pada saat itu aku sudah tidak
punya siapa-siapa lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mendekati seorang wanita yang
terlihat duduk sendirian di sudut bar. Kulihat wajahnya pucat, dan sepasang
matanya seakan menjelaskan bahwa ia telah lama hidup dalam penderitaan.
Rambutnya hitam seperti malam. Ketika aku duduk tepat di hadapannya, aroma
samponya menyeruak. Aku suka jenis harum samponya.
“Maukah kau menikah denganku?”
Permintaan itu keluar begitu saja dari
mulutku. Dan karena wanita itu juga mabuk, ia hanya bisa mengangguk.
Sebulan kemudian, aku dan wanita itu pun
menikah. Namanya Sofia. Pada malam itu, lagu Beautiful in White diputar.
Dan kami bahagia.
Perbedaan
Setelah menikah aku baru menyadari, ternyata
kebahagiaan itu tidak abadi. Selama dua tahun, istriku tak kunjung memberi
tanda-tanda kehamilan. Kami tak tahu siapakah di antara kami yang mandul. Seringkali
kami bertengkar hanya karena persoalan tersebut. Pernah terlintas keinginan untuk
mengadopsi anak. Namun selalu saja terhalang oleh perbedaan pola pikir.
Perlahan-lahan, aku tak lagi menemukan kecocokan dengannya. Kurasa ia pun merasakan
hal yang sama.
Karena cinta kami sepenuhnya telah
menghilang, maka kami pun memutuskan untuk bercerai.
Yang Sulit adalah Kebahagiaan
Lima tahun setelah perceraian itu, aku
tak punya keinginan untuk menikah lagi. Masalah kebutuhan biologis masih bisa kusalurkan
kepada wanita-wanita lain yang juga mengalami kesepian yang sama. Apa saja yang
bisa membuatku tenang atau membuat jiwaku terlepas dari kesunyian masih bisa
kudapatkan dengan mudah. Namun, yang sulit adalah kebahagiaan. Walau banyak
yang bilang bahagia itu sederhana, tetapi tetap saja aku tak bisa sesederhana
itu menerapkan teori tersebut.
Depresi
Saat usiaku lima puluh, aku merasa
hidupku tak ada gunanya. Aku putus asa. Untuk kesekian kalinya aku merasa
kesepian dan tak punya siapa-siapa lagi. Aku telah gagal dalam banyak hal. Aku
sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan cara paling tragis yang pernah
ada di dunia. Tetapi di sisi lain, aku masih ingin merasakan kebahagiaan
sebelum aku mati. Maka aku urungkan niat untuk bunuh diri. Aku masih berharap
kebahagiaan akan datang di depan rumah, mengetuk pintu, kemudian masuk dan
memeluk tubuhku.
Saat itu, aku memutuskan untuk tinggal
di sebuah bukit yang jauh dari kota. Jauh dari keramaian. Hanya ada udara sejuk
dari dedauan. Bunyi aliran sungai di belakang rumah. Kicau burung. Atau kabut
tipis saat pagi hari, yang dingin dan menyegarkan pikiran. Aku sudah
merencanakan semuanya. Rumah itu adalah warisan dari papaku. Aku ingin menghabiskan
masa tuaku di sana. Sebab pada satu titik yang berlubang di dalam hatiku, aku
percaya bahwa menyendiri adalah sebuah kontemplasi sederhana untuk menetralisir
pikiran.
Cermin
Aku baru tahu kalau di rumah ini ada
sebuah cermin yang besar. Bentuknya lonjong. Ukurannya melebihi tubuhku. Jika
aku berdiri di depannya, aku tak lagi merasa kesepian.
“Kelak, kau pasti akan bahagia,” ucap
seseorang di dalam cermin.
Ingatan Terakhir
Ini semua adalah sebuah cerita yang aku
tulis saat ini. Saat usiaku sudah tujuh puluh. Saat tubuhku sudah tak sekuat
dahulu. Ini adalah sebuah cerita yang terkumpul dari potongan-potangan
ingatanku. Aku masih hidup normal. Aku pun masih hidup berkecukupan. Sebab dulu,
saat aku masih bayi, orangtuaku sudah mendaftarkan namaku di sebuah perusahaan
asuransi. Mungkin hanya jaminan kehidupan inilah yang bisa kusebut: tanda kasih
sayang mereka kepadaku.
Sudah dua puluh tahun aku menetap di sini. Melewati berbagai musim yang sangat melelahkan. Tetapi akhirnya kesepianku semakin berkurang setiap tahunnya. Sebab kawasan perbukitan ini
telah berubah menjadi kompleks perumahan yang asri. Rumah-rumah bermunculan
dari dalam tanah. Orang-orang berdatangan entah dari mana. Memang terkadang ada
sebagian orang yang bertamu ke rumah. Tetapi lebih banyak yang membicarakanku
di luar rumah. Mungkin mereka berpikir pendengaranku sudah tidak tajam lagi.
Namun aku masih bisa mendengar percakapan-percakapan mereka, walau sepertinya
mereka hanya saling berbisik.
“Kasihan Kakek itu, tidak ada yang
merawat.”
“Anak-anaknya mungkin sudah
melupakannya.”
“Rumahnya juga tidak terawat.”
“Iya. Seperti rumah hantu.”
“Menyedihkan sekali!”
Aku melihat mereka semua dari balik
jendela. Pandanganku pun masih jelas. Tidak rabun sama sekali. Ingatanku pun masih
tajam. Dan inilah yang akan aku ceritakan selanjutnya.
Peristiwa ini terjadi kemarin sore,
ketika aku melihat seorang anak kecil menendang bolanya terlalu kencang,
sehingga bola itu terlempar sampai masuk ke halaman rumahku. Kemudian
seorang wanita keluar dari rumahnya, ia berteriak kepada bocah itu.
“Navara, menjauhlah dari rumah itu!
Berbahaya!”
Pada saat itu juga aku seperti
dipulangkan menjadi bocah kecil yang senang bermain bola. Ingatanku berputar dengan
cepat. Apakah waktu selalu mengulang kejadian-kejadian lain yang selalu
berakhir sama? Teori ini belum pasti. Maka aku akan membuktikannya. Dan aku
akan menunggu. Jika empat tahun kemudian bocah itu menjadi yatim piatu, aku
akan menghampirinya. Aku akan bercakap-cakap dengannya. Aku akan menceritakan
semuanya.
Setelah ia telah larut dalam
cerita-cerita, aku akan membunuhnya! Dengan begitu, ia tak perlu
merasakan kepedihan-kepedihan lain yang akan datang selanjutnya. Dan ia akan berbahagia,
di surga. (*)
ALIF FEBRIYANTORO, lahir di Situbondo. Saat ini sedang mempersiapkan
buku ketiganya. Doakan saja, semoga tidak lagi dikutuk oleh ingatan.
Cerpen: Fragmen Ingatan
Reviewed by takanta
on
November 24, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar