Oleh: Baiq Cynthia
“Aku tidak ingin menikah, jika giok itu belum ditemukan!”
Pada suatu hari aku berkata kepada
sosok pemuda yang berdiri di hadapanku. Wajahnya mirip pemeran artis papan atas
tapi hanya pemeran figuran, jadi ya dibilang ganteng tapi biasa saja, dibilang
jelek bukan Si buruk rupa. Aku melihat dengan tatapan setengah marah. Pasalnya
sebuah gelang indah satu-satunya pemberian Nenek harus hilang setelah dipinjam
olehnya.
“Pokoknya, harus sampai dapat. Kalau
tidak ada gelang gioknya sampai tiga hari ke depan, kita putus!” nadaku mulai
meninggi dan dia hanya menunduk. Menekur di sebuah lincak di tepi jalan yang sunyi. Di belakang kami, gulungan ombak
terus mengejar. Menabrak karang hingga terdengar seperti getaran detak jantung.
Sutomo masih duduk di lincak bersamaku, ia berusaha
menggandeng pergelangan tangan. Dalam hitungan detik kuempaskan tangan kekar
hitam itu. “Satiya[1],
pokok harus ditemukan gelang itu. Gelang turun-menurun dari Mbah Buyut, padahal
kemarin kamu berjanji bisa mengatasi. Mengapa tidak kembali?” Satu tamparan
kecil hinggap pada pipinya. Ia bergeming, tapi kulihat raut wajahnya menyesal.
Aku meninggalkannya yang tetap duduk
membelakangi pantai. Kupanggil penjaga perahu apung yang sudah lama
bersandar di bibir pantai. Ia duduk
tepat di kemudi perahu sesekali menyesap rokok yang tersisa sedikit. Sesaat aku
memanggil dengan gerakan tangan ke atas, lelaki berambut sedikit ikal
melepaskan rokoknya kemudian menginjak puntung rokok hingga tandas.
“De’emmaa,
lek?”[2] samar-samar kudengar suara Sutomo, aku
tak menggubris lagi seraya mempercepat langkah kaki menuju kapal apung. Lelaki
pemilik kapal sudah melepaskan jangkar langsung mendorong kapal apung. Suara
mesin kapal sudah berdengung, gelembung-gelembung air berloncatan. Aku menatap
lelaki kurus yang berambut klimis mengejar kapalku, ia terus berteriak
memanggil, “Mia... Mia... jangan pergi!”
Aku tidak menangis kali ini, hanya saja
dentuman detak jantung bergantian dengan suara mesin perahu. Kupandangi langit
yang cerah dengan pemandangan gunung berbentuk sketsa perempuan cantik yang
tertidur. Gunung Putri Tidur, orang Situbondo memanggilnya begitu. Karena dari
jarak yang jauh terlihat seperti seorang putri yang tertidur, dengan lekuk
hidung mata, bibir sampai dagu, dan juga rambut yang menjuntai.
Pantai ini sangat indah, saat dilihat
dari tengah laut. Ada muara di sekitar jembatan, bergeser lagi ada bebatuan
yang menumpuk ke arah laut, bebatuan itu mengingatkan pada gardu di pantai
Sanur. Bergeser lagi terlihat daerah daratan dengan pasir hitam juga
pohon-pohon rimbun hingga terlihat seperti hutan. Di sana juga ada sepasang
cucu Adam dan Hawa yang sedang dimabuk cinta, bermain kejar-kejaran seperti di
film India. Pekik tawanya terdengar bertabrakan dengan dengung mesin. Terkadang
aku ingin seperti mereka, tetapi aku tidak suka dengan sifat lelakiku yang
pelupa. Lupa tanggal lahirku, lupa menjemputku, lupa membawakan bunga, hingga
lupa soal gelang giokku.
“Ahhh!” Tanganku menghantam angin,
hanya suara mesin yang lagi-lagi membalas kekesalanku. Kulirik pemuda yang
sedang mengemudikan kapal apung tidak menatapku sedikit pun. Pikiran maupun
pandangannya fokus pada arah lain. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Mataku
mengekor pada tatapan elang pemuda yang masih duduk dengan tenang, menggerakkan
kemudi kapal. Suaranya bising melebihi suara knalpot Astrea tahun 70-an. Aku
mulai mengambil ponsel, ingin bermain medsos
tetapi jaringan tidak mendukung.
“Ahhh!” Kembali lagi aku mengeluh.
“Kenapa, Mbak?” pemuda itu bersuara.
Tapi, aku pura-pura tidak mendengarkannya. Kualihkan pada deretan keramba yang
mengapung di tengah laut. Terpaan sinar matahari siang memantul, terasa silau.
Pandangan kini kembali pada arah kemudi, menantap pemuda yang berambut pirang.
Ia mengulangi pertanyaan yang sama.
“Enggak papa,” sahutku. Tetapi ada
perasaan yang sedikit menganggu fokusku. Mengapa pemuda ini tampak begitu
tenang? Tidak seperti Sutomo. Ia terlihat tidak memiliki beban berat. Tapi,
pertanyaan demi pertanyaan hanya tersimpan dalam pikiran. Aku tak sanggup
melontarkan satu kata pun.
“Punya beban pikiran? Berbagilah dengan
saya,” katanya dengan senyum sedikit mengembang. Darimana ia mengetahui
perasaanku? Lagi-lagi aku hanya bisa tertunduk, menggigit bibir.
“Saya memang tidak tahu masalah sampeyan dengan lelaki tadi yang
teriak-teriak, tapi apakah itu masalah serius? Sampai sampeyan tidak ingin menatap matanya.”
Aku kembali diam, hanya deru mesin yang
terus bergerak maju. Ini sungguh membuatku bingung, aku bahkan tidak
mengenalnya. Apakah aku harus bercerita?
“Ceritakan saja, Mbak! Saya tidak akan
membocorkan cerita itu kepada siapa pun.”
Aku tidak menoleh, kali ini aku hanya
duduk berusaha meluruskan kaki dan mulai menarik napas panjang. Tidak diduga
aku sudah mulai bercerita, tentang pertemuan pertama dengan Sutomo di Utama
Raya. Saat itu ia menggunakan cicin bermata giok. Kata Mbah buyutku kalau
bertemu dengan lelaki yang menggunakan cincin bermata giok bisa dipastikan
adalah jodohku. Aku hanya duduk di area istirahat yang bangku-bangkunya terbuat
dari besi dilapisi cat kecoklatan yang mengilap. Utama Raya salah satu tempat
yang nyaman untuk istirahat saat perjalanan jauh ke luar kota dan melintasi
Situbondo, saat itu aku mengendarai motor sendiri. Butuh istirahat, ke arah
timur masih berupa hutan bakau dan daerah pantai Pasir Putih.
Saat itu aku duduk dengan satu cup kopi
hangat. Di sana aku mulai pindah ke tempat lelaki bercincin giok. Tanpa
basa-basi aku langsung bertanya apakah benar itu cincin bermata giok atau
bukan. Lelaki itu terlihat ramah dan menjawab: benar. Suaranya berat dan sangat
tegas. Jantungku terus berdetak kencang. Melebihi kecepatan cheeta yang mengejar kijang. Kami
berbicara tentang giok, dan aku pun menceritakan bagaimana Mbah Laki yang harus
mendayung perahu di zaman sebelum merdeka menuju Batam, kurang lebih seminggu
terombang-ambing di atas perahu demi menjual hasil pribumi. Daerah Batam
merupakan arus pelayaran Internasional, hingga tidak perlu pakai paspor untuk
berjalan-jalan menuju Singapura.
Mbah Laki pergi di sebuah pusat
perbelanjaan, membeli sebuah gelang bermata hijau yang bernama giok. Lelaki itu
langsung mengantongi dan membawa pulang ke tanah Madura. Konon orang-orang
Situbondo asalnya dari daerah Madura, jadi meskipun kota tetangga menggunakan
bahasa Jawa, Tengger maupun Osing, hanya Situbondo yang menggunakan bahasa
Madura. Menjadi alasan Situbondo sering disebut sebagai Madura ‘swasta’, sampai
sekarang pun rata-rata orang Situbondo tidak bisa menggunakan bahasa Jawa,
selain para pendatang dari luar kota.
Aku kembali bercerita soal gelang giok
itu yang diberikan secara turun-temurun, kurang lebih usianya melebihi satu
abad. Lalu suatu ketika rantai gelang itu patah. Sutomo menawarkan kepadaku
untuk membantu mereparasi kepada tukang emas yang ia kenal. Aku sudah sangat
percaya, ia adalah tunanganku. Tunangan lebih baik menurut tradisi kami,
daripada pacaran. Karena kalau tunangan setiap lebaran akan mendapatkan ampao.
Pemuda itu sangat antusias mendengarkan
kisahku, hingga kami mengitari lautan jauh dari tempat berlabuh tadi. Ia bahkan
menghidupkan kembali rokoknya, aku tidak menyukai rokok maka kugunakan masker,
dan harus berbicara layaknya orang pedalaman—teriak-teriak menyaingi suara
mesin kapal.
Aku katakan padanya, bahwa aku kesal
dan tidak akan menikah dengan tunanganku kalau tidak menemukan batu giok itu.
Pemuda itu nampak terbatuk-batuk karena menahan tawa. Aku semakin jengkel
dengan sikapnya, kini aku hanya menatap keramba dari dekat. Melihat ikan-ikan
yang berloncatan dan nelayan yang memberi pakan ikan. Pemuda itu membawa kapal
apung menepi pada sebuah keramba, aku bengong dibuatnya. Ternyata ia pemuda
pekerja keras, di usia semuda itu ia sudah terampil dengan mengikatkan tampar
pada pasak keramba. Sedetik berikutnya, ia mengajakku untuk berkeliling melihat
keramba, sedikit bergidik. Karena selama ini tidak pernah diajak tunangan ke
tempat-tempat menyeramkan. Kami ke pantai Pathe’ cuma untuk berpacaran dan
sembunyi-sembunyi, nama pantai Pathe’ pun diambil dari Pacaran Te’-ngite’ (Pacaran sembunyi-sembunyi).
Pemuda itu pergi ke sebuah gubuk tempat
menyimpan kail dan pakan ikan, ia juga mengajakku melemparkan ikan teri yang
masih hidup sebagai pakan ikan-ikan besar yang ada dalam penangkaran keramba.
Aku terheran-heran dengan banyaknya ikan di laut ini, padahal di tepi pantai
airnya sedikit keruh, karena banyak orang membuang sampah di sungai dan
mendarat di laut.
“Kasihan deh, ikan-ikan kelaparan!”
“Iya, kasihan juga yang kasih makan
juga lagi ngambekkan hingga tunangannya dibiarakan di tepi pantai.”
Sebuah jawaban yang membuatku cemberut,
kalau aku sudah berkomitmen tidak akan menikah sampai bertemu dengan gelang
giok itu. Baru satu langkah akan menuju sudut keramba, kakiku kehilangan
keseimbangan. “Ahh....”
Dan Byuurr!!
***
Aku bertemu dengan Mbah Laki, ia tidak
berbicara lagi denganku. Di sebuah ruangan gelap dengan satu sumber cahaya yang
sangat silau. Aku mendengar suara itu lagi, “Mia... Mia...” Mbah Laki seakan
membawa sekantong plastik berisi giok yang kini menjelma menjadi ular-ular. Aku
mengejar, sedikit tertatih. Tetapi terlambat gerbang menuju arah Mbah Laki
sangat cepat tertutup. Ruangan itu menjadi gelap dan sangat gelap.
“Mia... Mia...” Suaranya terus
membuatku bingung, terasa sebuah magnet menarik tubuhku hingga aku merasakan
percikan air membasahi wajah.
Napas tersengal, tidak tahan untuk
batuk. Kulihat banyak orang yang mengelilingiku, orang-orang asing berpakaian
hitam. Apakah ini? “Tidak!”
Orang-orang yang tadinya melihat dengan
wajah-wajah sedih, kini berlarian meninggalkan aku sendiri.
“Hei! Ini Mia, bukan hantu!”
Sutomo muncul di balik kerumunan orang,
matanya merah sepertinya ia habis menangis. “Mia... Mia... Jangan pergi, besok
kita cari giok itu bersama di Singapura. Tapi kamu mau kan, menikah denganku?”
“Pokoknya aku tidak mau menikah, kalau
gelang giok itu tidak kembali!” (*)
Baiq Cynthia, perempuan pecinta
senja dan hujan, pegiat literasi di Situbondo. Sudah sold out.
Cerpen: Giok
Reviewed by takanta
on
November 10, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar