Cerpen Mored: Impian Putra Taman Dadar
(SDN 10 Curah Tatal. Doc Bu Hamidah, M.Pd) |
Sepoi angin semilir dan burung-burung bernyanyi. Sesekali mereka hinggap di ranting-ranting pohon yang
mulai rapuh. Daun-daun berguguran di sepanjang lereng gunung dengan jalan
terjal bebatuan berkelok. Ranting-ranting pun berbisik.
“Aku tak lama lagi patah, tangan-tangan usil pun akan
membakar kami dan mempertemukan kami dengan api. Kami pun akan menjadi abu. Abu
yang hanya bisa digunakan sebagai penghilang amis bersama sabun pencuci piring.
Tidakkah mereka menyadari jika musim penghujan nanti? Air tak terbendung,
akar-akar telah mati, tak ada yang bisa menyerapnya. Longsor tak terelakkan,
akses mereka pun tertutup di sini. Mereka hanya bisa melalui satu jalur yaitu
melewati Desa Curah Tatal. Dengan medan yang sulit, kanan kiri jurang terjal
menantang maut. Lalu, siapa yang akan disalahkan jika terjadi bencana?
Bagaimana anak-anak mereka akan melanjutkan ke sekolah menengah jika akses
jalan tertutup? Bagaimana mereka bisa menuntaskan Wajib Belajar 12 tahun?”
***
Di
sinilah aku dilahirkan, di sebuah dusun yang sangat jauh dari kota. Kategori kampung
terpencil yang berada di perbukitan lereng gunung dengan jalan yang hanya bisa
dilalui kendaraan bermotor tertentu.
Lereng gunung yang ditemani kicauan burung dan lutung-lutung bergelantungan di
atas pohon. Tepatnya aku putra daerah Dusun Taman Dadar termasuk bagian dari
Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten SItubondo. Sejak kecil aku
mengimpikan menjadi guru, agar aku dapat memajukan dusunku yang tertinggal.
Waktu aku duduk di bangku Sekolah Dasar, tidak ada jaringan listrik. Hanya
lampu minyak tanah yang menerangi rumah kami. Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama, aku harus menuruni bukit berkelok dengan diantar Ayah
mengendarai sepeda motor butut zaman itu. Lalu,
saat aku melajutkan ke Sekolah Menengah Atas, aku harus meninggalkan kampungku
karena di sekitar kecamatan dekat rumahku tidak ada SMA. Aku harus kos untuk
mengecam pendidikan di SMA. Hanya saat liburan sekolah aku pulang ke kampung
halamanku.
Impianku tercapai, aku berhasil lulus S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar di sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Akhirnya Aku mengabdikan diri sebagai Guru Tidak Tetap di SDN 10 Curah Tatal, Dusun Kacep, Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo sejak tahun 2010 hingga sekarang. Jarak dari Dusun Taman Dadar tempat aku tinggal ke SDN 10 Cuah Tatal kurang lebih 2 kilometer. Kondisi SD yang berada di pegunungan dengan jumlah siswa 46. Rombongan belajar 6 rombel, guru yang aktif mengabdi di SDN 10 Curah Tatal, yaitu Guru Tetap/PNS hanya berjumlah 3 orang, dan Guru Tidak Tetap/Sukwan hanya 2 orang. Kondisi siswa yang memprihatinkan dengan tingkat ekonomi orang tua menengah ke bawah. Tak pelak, untuk membeli baju seragam saja kesulitan apalagi sepatu. Hampir tiap hari aku mengajar beberapa kelas, karena sekolah kami kekurangan tenaga pendidik. Aku sering memotivasi mereka agar tetap bersekolah hingga lulus meski tidak harus berseragam ataupun bersepatu.
Impianku tercapai, aku berhasil lulus S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar di sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Akhirnya Aku mengabdikan diri sebagai Guru Tidak Tetap di SDN 10 Curah Tatal, Dusun Kacep, Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo sejak tahun 2010 hingga sekarang. Jarak dari Dusun Taman Dadar tempat aku tinggal ke SDN 10 Cuah Tatal kurang lebih 2 kilometer. Kondisi SD yang berada di pegunungan dengan jumlah siswa 46. Rombongan belajar 6 rombel, guru yang aktif mengabdi di SDN 10 Curah Tatal, yaitu Guru Tetap/PNS hanya berjumlah 3 orang, dan Guru Tidak Tetap/Sukwan hanya 2 orang. Kondisi siswa yang memprihatinkan dengan tingkat ekonomi orang tua menengah ke bawah. Tak pelak, untuk membeli baju seragam saja kesulitan apalagi sepatu. Hampir tiap hari aku mengajar beberapa kelas, karena sekolah kami kekurangan tenaga pendidik. Aku sering memotivasi mereka agar tetap bersekolah hingga lulus meski tidak harus berseragam ataupun bersepatu.
“Bapak dulu juga seperti kalian. Kalau sekolah tidak pakai
seragam dan sepatu karena orang tua Bapak hanya seorang petani kopi rakyat.
Bangunan sekolah Bapak masih lebih bagus sekolah kalian ini. Listrik belum ada
sehingga kalau musim penghujan, saat mendung menyelimuti langit, kami sering
pulang lebih awal karena kondisi kelas gelap gulita. Jangan pernah putus asa
untuk menuntut ilmu. Setelah lulus nanti kalian harus melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi. Pemerintah sudah menggratiskan biaya sekolah hingga SMP,
bahkan di jenjang SMA dan SMK Negeri sudah tidak ada lagi biaya. Kalian harus
lebih bersemangat belajar agar kelak kalian bisa menjadi putra-putri bangsa
yang berguna untuk negeri ini.”
“Pak, saya ingin menjadi dokter, agar bisa menyehatkan warga
dusun Kacep. Karena dokter di sini tidak tiap hari ada. Kalau aku jadi dokter,
aku kan bisa melayani warga 24 jam, Pak. Tapin orang tuaku tak mampu, untuk makan
sehari-hari saja kadang tidak cukup. Aku jarang diberi uang jajan. Bagaimana
aku bisa jadi dokter, ya Pak?” celutuk Arman siswa kelas 6.
“Bagus, Arman, Bapak doakan agar cita-citamu tercapai. Oleh
karena itu, kamu harus rajin belajar. Kalau kamu pintar dan berprestasi,
pemerintah sudah menyiapkan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu. Mulai dari
SMP, SMA, hingga kamu kuliah di kedokteran, kalau kamu berprestasi, semua akan
ditanggung pemerintah. Tugas kamu hanya belajar dan belajar. Jadi, kamu mulai
dari sekarang,” jawabku.
“Aku juara kelas dari
kelas satu hingga sekarang di kelas enam, Pak. Aku ingin nanti kalau aku jadi
dokter, Bapak dan Ibuku tidak lagi menjadi buruh tani. Bapak juga kalau sakit,
bisa berobat gratis pada saya.” Serentak teman-temanya bertepuk tangan
menyemangati Arman.
Arman memang satu dari 10 siswa kelas 6 yang motivasi
belajarnya bagus. Dia selalu membaca buku pelajaran di kelas saat jam
istirahat. Aku sering memotivasi Arman agar tidak putus asa menuntut ilmu
termasuk siswa yang lainnya. Di antara 10 siswa kelas 6 yang punya keinginan
melanjutkan ke SMP hanya 5 orang. Yang 5 orang memilih membantu orang tuanya
bekerja di perkebunan kopi.
“Kalau saya, ingin jadi TNI, agar saya bisa mengerahkan
rekan-rekan TNI lainnya memperbaiki rumah warga yang masih memprihatinkan. Saya
juga akan bergotong royong dengan warga untuk memperindah halaman sekolah ini. Tidak berdebu
seperti sekarang dan kalau musim hujan becek,” Suyitno bersemangat.
“Wah, kamu hebat, Yit. Bapak bangga padamu. Postur tubuhmu
memang pantas jadi TNI. Giatlah belajar dan jangan coba-coba merokok nanti.
Karena kalau kamu coba-coba merokok, kamu tidak akan lulus kesehatan di TNI.”
Suyitno anak seorang buruh tani yang setiap harinya tidak
pernah memakai sepatu. Jangankan membeli sepatu, dia sendiri seringkali puasa
karena orang tuanya tidak bekerja karena belum panen kopi. Aku sering
memberinya uang secukupnya sekadar membeli nasi bungkus untuknya. Tubuhnya
kekar dan ia paling aktif kalau disuruh kerja bakti membersihkan halaman
sekolah.
“Pak, saya ingin jadi presiden karena saya ingin Bapak bisa
diangkat jadi pegawai negeri. Saya akan naikkan gaji Bapak karena yang paling
rajin masuk, mengajar kami, itu Pak Iwan. Ibu saya dulu murid Bapak. Ibu saya
hanya lulus SD dan tidak melanjutkan ke SMP. Kata ibu, dia menikah usia 14
tahun dengan ayah. Ibu sering menyemangati agar saya melanjutkan sekolah tidak
seperti ibu. Makanya saya ingin jadi presiden, Pak. Pengabdian Bapak sudah cukup lama dan
Pak Iwan harus dapat gaji besar,” tegas Syaifullah.
“Kamu hebat, Pung, kalau kamu jadi presiden, Bapak akan cium
tangan kamu. Bapak akan berterima kasih karena kamu sudah memikirkan nasib
Bapak. Tapi, jangan hanya Bapak, Bu Ningsih juga harus kamu perjuangkan
nasibnya.” Aku menghampiri Syaiful yang akrab dipanggil Pung dan memeluknya
seraya berbisik padanya, “Bapak doakan cita-citamu tercapai.”
“Aku ingin jadi guru seperti Bapak. Aku ingin mengabdi di
sekolah ini agar Pak Iwan tidak pontang panting pindah kelas untuk mengajar.
Meski aku tahu, gaji Bapak tidak seberapa bahkan tidak cukup untuk keluarga
Bapak. Tapi, aku ingin membantu Bapak dan Bu Ningsih agar tidak kelelahan. Guru
perempuan di sini kan hanya satu, Pak, Bu Ningsih, guru kelas 1,2, dan 3,” tambah Siti Aminah penuh semangat. Dia juga salah satu siswa kelas 6 yang
motivasi belajarnya tinggi. Jarang sekali dia tidak masuk, kecuali sakit, meski
harus memakai sandal jepit ke sekolah.
“Bagus kamu, Siti, Bapak juga bangga padamu termasuk pada
kalian semua. Bapak harap semua siswa kelas 6 ini melanjutkan ke SMP bahkan ke
SMA atau SMK. Apalagi bisa sampai ke Perguruan
Tinggi, Bapak akan sangat bangga pada kalian. Bapak yakin semua punya cita-cita
tinggi untuk memajukan dusun dan desa kalian. Kalian kebanggaan kami dan
kalianlah generasi penerus bangsa yang akan memajukan negeri ini. Di pundak
kalianlah, dusun ini akan berubah, termasuk kesadaran orang tua akan pentingnya
pendidikan bagi kalian. Ilmu yang Bapak berikan tidak seberapa, ini hanya
secuil, kalian harus mendapatkannya lebih banyak.”
“Terima kasih Bapak telah memberikan ilmu meski hanya
secuil, tetapi bagi kami sangat berguna. Tanpa Bapak,
apalah artinya kami. Setiap hari senin Bapak selalu mengarahkan kami
melaksanakan upacara, meski yang masuk tidak lebih dari 30 siswa. Bapak selalu memberi semangat pada
kami untuk cinta pada negeri ini,” tegas Arman sambil berdiri dan mengajak
teman-temannya ke depan.
Semua siswa kelas 6 yang hanya 10 orang itu ke depan mendekatiku. Tentu saja aku kaget dan berbisik, “Ada apa mereka mendekatiku?”
“Kami cinta Bapak. Kami berterima kasih pada Pak Iwan. Kami mengucapkan, Selamat Hari Guru. Semoga Pak Iwan
selalu sehat dan bersemangat untuk mendidik kami,” ucap Siti penuh semangat dan
diikuti teman-teman yang lainnya.
Anak-anak menyalami dan mencium tanganku sambil mengucapkan
selamat hari guru secara bergiliran.Terharu sekali aku akan sikap dan ekspresi
mereka. Tak disangka mereka menyemangati aku agar tetap mengabdi di sekolah
ini. Meski ekonomi orang tua mereka tergolong tidak mampu, aku yakin dalam
batin mereka, semua punya keinginan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi untuk menggapai impian dan cita-citanya.
***
Impian SDN 10 Curah Tatal, agar pemerintah lebih
memperhatikan kebutuhan sekolah siswa-siswi kami. Bantuan seragam lengkap, buku
tulis, tas, dan sepatu agar dianggarkan khususnya oleh pemerintah daerah
Situbondo di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Situbondo.
Selain itu, jumlah penerima beasiswa
miskin agar ditambah jumlahnya karena hampir semua siswa kami, ekonomi orang
tuanya tergolong tidak mampu. Mata pencaharian mereka rata-rata sebagai buruh
tani di perkebunan kopi milik pemerintah. Kebutuhan sarana yang belum ada yaitu
ruang perpustakaan dan penambahan jamban siswa yang hanya satu sampai tahun
pelajaran 2019/2020, data Dapodik SDN 10 Curah Tatal. Meski pemerintah sudah
mengalirkan kebutuhan air bersih dari mata air Dusun Taman Dadar ke Dusun
Kacep, namun kebutuhan air bersih masih belum tercukupi karena siswa mayoritas
membawa air minum sendiri.
Sedangkan impian guru SDN 10 Curah Tatal terutama aku dan
rekan guru lainnya adalah agar ada perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Guru sukwan di SDN 10 Curah Tatal sama tugas, kewajiban, dan tanggung jawabnya
dengan guru PNS. Mungkin ada tambahan insentif bagi kami tiap bulan. Meski
demikian, kami tetap ikhlas dan akan
tetap mengabdi di sekolah ini untuk membawa siswa-siswi kami menjadi generasi
penerus bangsa yang berguna dan berakhlakul kharimah. (*)
Hamidah, M.Pd., guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1
Panarukan. Beliau lulusan S1 Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas
Kanjuruhan Malang dan melanjutkan S2 di FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya
dengan jurusan yang sama. Semangat menulisnya baru tumbuh saat digerakkannya
Gerakan Literasi di sekolah. Beliau baru mencoba mengirim karya cerpennya di
Takanta, media informasi budaya dan tradisi SItubondo. Menulis bukan menunggu
waktu luang, namun meluangkan waktu untuk menulis. Itulah yang memotivasi
beliau untuk menulis beberapa cerpen meski masih dalam proses publikasi.
Cerpen Mored: Impian Putra Taman Dadar
Reviewed by takanta
on
November 30, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar