Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You
Oleh: Taradita Yandira Laksmi
Aku ingat keseluruhan kisah meski
acapkali terbolak-balik susunannya. Ya, untuk ketiga kalinya aku bermimpi sesuatu
yang begitu nyata. Benar-benar seperti nyata. Entahlah, akan ada petualangan
kisah apalagi setelah ini.
Sebenarnya aku tengah berada di
sekolah. Ya, baru selesai latihan hadrah. Saat kulihat Praja dan Azam beserta
teman-teman laki-lakinya yang familiar di mataku berjalan dari tangga kelas
sepuluh menuju ruangan di atas UKS.
Hei. Ruangan itu sejak kapan ada di
sana?
Melihat keduanya, aku langsung bangkit
dan berlari seraya memanggil nama mereka. Mereka menoleh dan hanya memandang
satu sama lain.
"Kenapa, Zah?" tanya
Praja. Di sebelahnya, Azam juga memandangku penuh tanya.
Aku pun berlari mendekat ke arah mereka
yang masih berdiri di tangga ruangan ajaib itu. Seraya menetralkan nafas, aku
memberikan dua lembar foto pada mereka.
"Ini fotonya yang buat cerita, Ja,
Zam.”
Praja menerimanya dan tersenyum manis
padaku, "Oh iya, makasih ya, Zah."
Azam mengambil foto di tanganku di saat
aku masih menatap kepergian Praja menuju ruangan itu. Tatapku teralih demi
mendapati wajah Azam yang tampak berpikir memandang foto di tangannya.
"Kamu... kenapa, Zam?"
Azam beralih menatapku. Tatapannya
berhasil membuatku tertunduk. Dari matanya dapat kurasakan sorot yang sangat
dalam. Entahlah, sorot itu mengingatkanku pada sorotnya masa laluku.
Aku menundukkan wajahku dan berusaha
untuk tak menatapnya. Aku tak mau terjebak dalam kisah rumit itu lagi. Sungguh,
aku tak mau merasakan sakit itu lagi. Aku tak mau mengulangi kesalalahan di
masa lalu.
Bahuku sedikit bergetar. Air mata
sepertinya mencurangiku dengan hendak jatuh dari pelupuk mataku. Aku
memosisikan badanku dengan posisi yang sama dengan Azam sehingga ia tak bisa
melihat wajahku yang kusangka telah kacau.
Sebuah tangan hangat mendekapku dan
membawaku mendekat ke sebuah dada bidang. Dekapan ini...
"Sstt... sudahlah, kamu tenang
aja, Yara. Jangan nangis. Kalau kamu nangis, bagaimana denganku?"
Air mataku malah terus jatuh seiring
dengan rasa hangat yang mulai muncul di dadaku. Hangat dari dekapannya
membuatku kembali teringat pada dia. Meski kutahu harapanku harus aku kubur
dalam dan meninggalkan kisah lalu yang membuat sembilu bertambah pilu.
"Kamu itu cahaya, Ayara Zahra. Dan
aku adalah gelap yang membutuhkan cahaya agar dapat disebut ada." Azam
masih belum melepaskan dekapannya. Ia menaruh dahinya di pucuk kepalaku yang
tertutup kerudung. Hangat kurasa menyebar hingga ke lubuk hatiku.
"M-makasih, Zam...."
Aku berusaha tersadar dan melepas
dekapannya. Dengan cepat kuhapus air mataku dan berusaha tersenyum seperti
biasanya.
"Yara-"
"Yaudah, aku pulang dulu. Sudah
dijemput soalnya. Assalamu'alaikum...."
Aku menuruni tangga dengan terburu-buru
dan tak membalikkan badan meski Azam terus memanggil dan mengejarku.
Tak kusangka saat aku tengah melewati
bangunan universitas yang berada tepat di samping sekolah, beberapa bagian
bangunan utama di sana runtuh. Aku hampir saja tertimpa salah satu reruntuhan
jika tak ada seseorang yang mendorongku menjauh.
"Kamu nggak papa kan, Yara?"
Masih dalam mode kaget dan otakku
berada dalam fase telmi, aku masih belum bisa mengenali sosok yang memegang
pundakku dengan erat. Yang kupahami hanyalah sorot khawatir yang mendalam dari
matanya. Dan juga ada bekas reruntuhan di bahu kirinya.
"Zam! Bahumu!"
Secepat kilat aku membawanya jauh dari
sana dan mendudukkannya di trotoar. Aku menatapnya kesal bercampur khawatir.
Dan sekali lagi aku tak tahu mengapa bisa sekhawatir itu padanya.
"Kamu... kenapa kamu nolongin aku,
sih? Kamu jadi luka gini kann!" mataku mulai berair. Tampak Azam menatapku
dengan wajah datar. Entahlah, bukan datar hanya tanpa ekspresi yang belum bisa
dikatakan flat face.
"Kok kamu malah nangis, Ay? Duh, nggak
papa. Ini cuma luka ringan. Kalau kamu yang kena reruntuhannya, itu baru luka
parah yang letaknya di sini," ujarnya seraya menunjuk dada kirinya sedikit
ke bawah.
Aku yang masih menangis tak mengerti
dengan isyaratnya.
"Tapi kamu kan jadi luka, Zam."
"Nggak papa, selama kamu
selamat." Azam tersenyum manis dengan menghapus air mata di wajahku. Ia
menepuk kepalaku pelan dan berdiri seraya memandang sekitar.
"Zam, ke rumah sakit aja yuk.
Obati bahumu," ajakku seraya turut berdiri.
"Nggak usah, Ay. Kamu pulang aja
lagian udah hampir hujan ini. Ayo aku antar." Azam perlahan bangkit dan
sedikit meringis melihat bahunya.
"Tuh kan, sudah kubilang. Ayo ke
rumah sakit!"
"Nggak usah, Ay. Mending pulang
aja yuk, sebentar lagi banyak yang datang. Aku nggak mau dicap sebagai pahlawan
kesiangan, eh kesorean...," ucapnya seraya menarik gadis yang masih
menatapnya khawatir itu menjauh dari TKP.
"Kamu beneran nggak papa?"
"Iya, Ayara.... Udah ya, jangan
khawatir gitu. Aku nggak papa."
Degh....
"Kok, aku khawatir gini?" rutukku
dalam hati. Aku pun langsung mengalihkan perhatian dari pemuda manis itu.
Aku hanya bisa diam menyalahkan
perasaanku, sementara Azam hanya bisa menatapku dengan senyum kesungguhan.
Tiba-tiba ia pun memosisikan badannya tepat di hadapanku.
"Ay, aku mau ngomong sesuatu sama
kamu, boleh?"
Aku menoleh dan melotot. Bagaimana bisa
sosok Azam kini berubah sangat manis di hadapanku?
"I-iya, Zam. B-boleh kok," ucapku
yang tanpa sadar telah nyengir kuda.
"Jangan bilang I Love You."
"Ha!?"
"Neng, mangapnya jangan kelebaran,
nanti lalat masuk, keselek, hilang nyawamu. Aku gak mau gitu, ya."
"Uhm, okey. Terus maksudmu
tadi apa?"
"Aku suka kamu. Tapi aku gak mau
mengatakan I Love You. Boleh aku minta kamu nunggu sampai aku ke rumahmu
dan meminta izin pada orangtuamu untuk segera mengkhitbahmu?"
Jederr!
"Masyaallah!! Ini... sungguh?
Aku rasa hatiku sudah mau meledak. Aku
kaget dan tak bisa berbicara. Aku diam seribu bahasa. Wajahku kutundukkan
seraya menyembunyikan semburat merah di wajahku. Sebenarnya hatiku menghangat,
senyum pun perlahan tertarik di wajahku.
"Lho, Ay? Kok kamu diam gitu?"
Aku mendongak. Dan kulihat ada cahaya
lembut dari sepasang mata elangnya itu. Ya Tuhan, kenapa dadaku bergetar hebat.
"N-nggak, nggak papa kok,
Zam." Aku tersenyum malu.
"Yasudah ayo kuantar pulang. Aku
hanya bisa mengungkapkan itu. Aku tahu ini mendadak dan kau tak perlu
menjawabnya. Karena aku tahu, lelaki sejati ialah mereka yang berani
menunjukkan hati lewat akad suci. Bukan malah mencintai, mengungkapkan, lalu
ditinggal pergi."
"Iya, Zam. Tapi, kok-"
Tiiiingg!
Aku mengerjap.
Ha!?
Aku mengerjapkan kedua mataku. Yang
kulihat bukan lagi wajah Azam yang tersenyum manis. Tapi, langit-langit kamar
yang berwarna putih.
"Aduh!"
Rasanya kepalaku nyeri sekali. Baru
kusadari aroma di sekitar membuatku sadar. Tadi... mimpi? Tapi kok, kenapa aku
ada di rumah sakit?
Kutolehkan wajah untuk mencari
seseorang yang mungkin ada di sini. Dan bertanya kenapa aku ada di sini.
Pintu berdenyit. Seseorang masuk
membawa sesuatu yang ia sembunyikan di balik tubuhnya. Aku masih terhipnotis
dengan sekitarku hingga tak sadar ia telah berdiri di samping kiriku.
"Hai. Gimana kabarmu, Ay?"
Suara ini....
Aku menoleh dan mataku membulat. Dadaku
berdesir.
"Azam?"
"Iya ini aku, Ay."
"Berarti yang tadi, bukan
mimpi?"
"Kamu mimpi apa? Tadi apa?"
"Ah, benar cuma mimpi. Terus kamu
cuma sendiri ke sini?"
"Iya, aku khawatir. Aku mau kamu
cepat sembuh, Ay. Kelas sepi nggak ada kamu."
Degh....
"Azam... Emang kenapa? Kok kamu
tiba-tiba seperti ini?"
Azam tersenyum. Ia mendekatkan wajahnya
ke arahku lalu membisikkan sesuatu yang membuat wajahku kehilangan urat
syarafnya.
"Karena satu kalimat. Jangan
bilang i love you, ya, Ay. " (*)
Situbondo, 20 Desember 2018
_______________________________
_______________________________
Taradita Yandira Laksmi, Siswi kelas XI MIPA 5, SMAN 1
Situbondo.
Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You
Reviewed by takanta
on
November 16, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar