Cerpen Mored: Lukisan Kenangan
Masih terngiang di kepalaku rekam jejak masa lalu yang tak
lekang terhimpit waktu. Seolah terus-menerus memelukku dalam kepingan neraca
kehidupan saat itu. Darinya aku mendapatkan arti tetes keringat yang berguguran
ini. Dan darinya pula aku mulai memahami hakikat ikhlas sejati.
Rekam tapak kecilku yang senantiasa berjaualan di sore hari,
mengelilingi perumahan-perumahan hingga taman kota. Hanya demi mendapat sedikit
untung lebih untuk hidup dan sekolah. Semenjak lahir, ibuku telah tiada. Ayah
pun, aku tak tahu ada di mana. Yang kutahu dari nenek tua penjual sayur di
depan sekolah, aku ditemukan di depan gedung tua. Ibuku telah tergeletak tak
bernyawa dan bersimbah darah. Aku hanya menangis karena tak tahu apa. Hingga
nenek itu memungutku dan merawatku selayaknya anaknya.
Mendengar cerita itu membuat hatiku tergerak. Aku harus
berjuang dan tak boleh menyerah. Kehidupan ini hanya sekelebat fana yang akan
lenyap diterkam masa. Tapi asa tak boleh lemah. Aku harus merebut hakku sebagai
putera Bangsa. Nenek pun selalu berdoa agar apa yang kuharapkan dapat tercipta.
Semenjak kecil aku memang menyukai seni. Berbagai jenis seni
aku pelajari, bahkan nenek pun selalu kaget dengan hasil karyaku ini.
“Kau punya bakat seni yang besar, Nak. Jangan pernah
sia-siakan itu! Kau harus tetap semangat meski tak ada yang menghargai karyamu.”
Ah, ucapan yang selalu terlontar dari bibir tuanya. Saat aku
hilang harap karena karyaku tak pernah dilirik pelanggan. Karena bakatku tak
pernah diakui orang-orang. Tapi beliau selalu ada untuk meringankan beban.
Aku merindukanmu, Nek. Terhitung sudah hampir lima tahun kau
meninggalkanku. Dari aku SMP hingga kini menjadi mahasiswa fakultas seni. Aku
rindu akan cerita motivasimu tentang sosok besar yang mengubah dunia
kesukaanku. Tentang sosoknya yang selalu menjadi panutanku. Dari dulu hingga
sekarang, jasanya akan selalu kukenang-seperti ucapanmu.
***
Aku sempat terjatuh dan terpuruk layu. Aku kehilangan
penopang hidup karena hampir dikeluarkan dari sekolah akibat tak ada biaya.
Saat itu kukira impianku akan segera musnah. Tapi seorang pria tua tiba. Dia
melihat lukisan-lukisan yang sengaja kupajang tak beraturan di emperan trotoar
ini. Aku malas meladeninya, paling-paling hanya melihat lantas pergi seperti
kebanyakan orang. Tapi kali ini berbeda. Ia tampak memandangi lukisan di
tangannya dan melirikku sesekali. Sudah tiga puluh menit berlalu dan ia masih
saja setia memandangi lukisan itu.
“Nak, apakah ini karyamu?”
Aku hanya mengangguk lemah. Toh,
mungkin saja ia hanya kepo akan siapa pelukisnya.
“Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Nama saya Ahmad Rayhan Azzamani.
Panggil saja Azam, Tuan.”
“Berapa harga semua lukisan ini?”
Bibirku keluh. Mataku seolah
terpatri jelas pada sosok tuanya. Mimpikah ini?
“Se… semuanya 150 ribu saja, Tuan.”
Suaraku bergetar seolah tak percaya akan apa yang baru saja terjadi. “Apakah
Tuan benar-benar ingin membelinya semua?”
“Tentu. Ngomong-ngomong, harga untuk
semua lukisan ini terlalu murah, Nak. Sebuah karya seni seharusnya tidak semurah itu.
Banyak seniman di luar sana yang menjual karyanya dengan harga selangit.”
“Tapi, Tuan… jika saya menjual
dengan harga yang sama dengan mereka, maka tidak aka ada yang membeli lukisan saya.” Sanggahku
pada ucapannya. Separuh hatiku membenarkan ucapan sosok tua itu, tapi separuhnya
lagi menolak atas dasar kemanusiaan.
“Baiklah, saya akan membeli semua
lukisanmu ini. Datanglah ke alamat ini dan melukislah di sana setiap hari
Minggu. Bisa?” Pria tua itu menyodorkan selembar kertas kecil yang kusangka
adalah tanda pengenalnya. Aku ragu-ragu untuk mengambilnya.
“Terimakasih, Tuan. Besok saya akan
kesana.”
“Tetaplah seperti ini, Nak. Bangsa
ini perlu sosok yang memikirkan orang banyak sepertimu.” ucapnya seraya
berlalu tanpa membawa lukisan-lukisan itu.
“Syukurlah… terimakasih, Tuhan.” Aku
melakukan sujud syukur seraya menangis. Terpampang jelas wajah nenek yang
kurasa akan tersenyum saat mendengar ceritaku hari ini.
Mentari terbit menyapa hari. Kabut
pagi seolah enggan bertranfusi hanya untuk memperlihatkan wajah pertiwi.
Mungkin saat ini telah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Aku keluar dari
gubuk reyot-rumahku-ini dengan membawa peralatan lukis sederhana. Hanya
beberapa kuas yang tak layak pakai, cat yang sudah mulai mengering, dan
beberapa kertas sisa yang kutemukan di jalanan. Kusimpan semua itu ke dalam tas
dan bergegas menuju alamat yang ditunjukkan sosok tua kemarin.
Kuperhatikan nama bangunan di
depanku dan yang tertera di kertas kecil ini berulang kali. Hanya untuk
memastikan apakah alamatnya sudah benar atau belum.
“Ada apa, Dik?” Seorang
satpam menyapaku di balik pos jaganya.
“Apa benar ini alamat yang
ditunjukkan di kertas ini, Pak?” Aku memberikan kertas yang ada di tanganku
kepadanya.
“Oh, tentu saja benar, Dik. Apa adik
sudah buat janji dengan Tuan Besar?”
Tuan Besar? Pria tua itukah?
“Hmm… saya hanya disuruh kemari oleh
sosok pria tua, Pak.”
“Oalah, mari masuk, Dik. Tuan Besar
masih menyelesaikan meeting dengan clientnya.” Pak Satpam memintaku duduk
di ruang tamu. Pertama kali yang kulihat dari rumah ini adalah: spektakuler.
Di ruang tamu ada sofa empuk, vas bunga dengan ukiran yang mahal, ada pula
lampu-lampu eksotis, beserta beberapa lukisan cantik yang membuatku terpesona.
Kukira beberapa dari lukisan itu adalah karya dari Leonardo da Vinci, seniman
terkenal di dunia.
“Maaf membuatmu menunggu, Nak Azam.”
Aku sontak berdiri dan menyalami
pria itu. Dia hanya terkekeh dan mengelus
puncak kepalaku lembut. “Mari duduk
lagi.”
“Maaf, Tuan. Tadi saya tidak melihat
Tuan tiba.”
“Tidak apa-apa. Saya perhatikan kamu
mulai tadi hanya melihat lukisan-lukisan itu. Apakah kamu tertarik?”
“Tidak, bukan begitu, Tuan. Saya
hanya kagum terhadap mereka. Seperti yang itu, karya Leonardo da Vinci yang
terkenal itu. Dan yang itu karya Paul Cezanne. Nah, kalau yang itu seperti
replica dari karya Van Gogh.” Aku menunjuk sopan terhadap beberapa karya yang
memang kukenali dan kuhafal jenisnya.
“Hebat, kau mengenalinya dengan
sangat baik, Azam.” Dia bertepuk tangan kagum.
“Eh, tidak juga, Tuan.”
“Hehehe. Begini, Nak. Sebenarnya
saya memiliki sebuah sanggar lukis. Sanggar itu cukup besar, namun tak ada
siapa pun yang ingin melukis di sana. Bahkan para pegawainya sudah banyak yang
berhenti. Jadi, saya memberimu penawaran. Bagaimana kalau kamu menjadi pengajar
di sanggar lukis itu? Tenang, masalah gaji akan sepadan dengan usahamu.”
“Bapak bersungguh-sungguh?”
“Iya, Azam.”
Aku terperanjat. Otakku berpikir
cepat. Tuhan, ini adalah kesempatan emas bagiku. Tapi, bagaimana dengan
sekolahku?
“Tapi, Tuan… bagaimana dengan
sekolahku?”
“Tenang, Azam. Kelas melukis hanya
hari Minggu saja. Selebihnya kau bebas dari sanggar. Dan ya, apa kau tinggal
bersama kedua orangtuamu?”
Wajahku yang semula tersenyum riang
mendadak terlipat. Entahlah, beliau mengingatkanku pada kematian mereka. Dan
kerinduanku pada sosok kedua orangtuaku tetap tak terlupakan.
“Tidak, Tuan. Ayah saya tak tahu ada
di mana. Ibu dan nenek sudah lama tiada. Saya sebatang kara di gubuk pinggir
jalan sana.” ucapku seraya
menunjuk persimpangan jalan di ujung perumahan ini.
Dapat kulihat wajahnya terlihat
melipat. Seolah ada tatap bersalah darinya. “Oh, maafkan saya, Nak. Tapi, jika
kau berkenan, apakah kau mau tinggal bersama pria tua yang kesepian ini, di rumah ini?”
Aku menunduk diam seribu bahasa. Aku
tak tau harus menjawab apa, sementara otakku terus berpikir yang manakah opsi
yang benar. Hingga akhirnya wajah nenek terlintas seolah memberikan jawaban
atas segala pertanyaan di otakku.
“Baiklah, Tuan. Saya bersedia.”
“Mulai sekarang kau panggillah aku Kakek Bisma,
ya?” Dia langsung memelukku erat selayaknya seorang kakek pada cucunya.
Kusambut kehangatan itu dengan senyum tulus penuh syukur bahagia.
***
Suara ketukan pintu membuyarkan
lamunanku. Aku bangkit dari dudukku seraya meletakkan buku kusam itu dengan
hati-hati. Kubuka pintu ruanganku yang menampilkan sosok gadis berhijab tengah
menunggu.
“Mas, acaranya akan segera dimulai.
Mas diminta untuk segera ke backstage.
Oh iya, wawancara kali bertema lukisan kenangan. Berikan yang terbaik untuk
fakultas
ya, Mas.”
“Tentu, Dik. Yasudah mas
ambil jas dulu.” Aku kembali masuk dan mengambil jas yang tersampir di sofa.
Memakainya dan merapikan pakaianku. Kutatap sejenak buku kenangan yang
membuatku terus bernostalgia tentang masa kelam. Masa kelam yang menumbuhkan
binar impian.
“Terimakasih, Nek.” (*)
Taradita Yandira Laksmi, Siswi kelas XI MIPA 5 SMAN 1 Situbondo.
Cerpen Mored: Lukisan Kenangan
Reviewed by takanta
on
November 02, 2019
Rating: 5
situbondo memang penuh kenangan, cerita yang cukup apik :)
BalasHapus