Cerpen: Peri dan Kekuatan Kenangan
Oleh: Ulfa Maulana
“Tania rindu ayah, Mimi Peri,” ucap gadis kecil saat ditanya
alasan ia merenung di bibir pantai.
Perempuan bergaun putih itu tersenyum. “Kuncinya hanya satu,
Sayang. Kekuatan kenangan. Kamu ingat masa-masa bersama ayahmu?” Tania
mengangguk. Segala hal tentang sang ayah takkan pernah ia lupa.
“Baiklah. Yuk ketemu ayah.”
Perempuan yang Tania panggil mimi peri itu menggandeng
tangannya untuk beranjak.
Abracadabra!!!
***
Tak ada yang tau asal perempuan bergaun putih itu. Ia tetiba
saja datang dari arah utara, tepatnya arah muara sungai berada. Di antara senja
yang hampir turun, wajahnya yang kemilau senada dengan gaun yang dipakai sontak
menjadi sorotan. Nelayan yang sedang melepas jangkar, ibu-ibu yang meneriaki
anaknya untuk berhenti bermain pasir dan siap-siap ke surau, terpaku pada sosok
Livia, perempuan bergaun putih itu, yang melangkah dengan takdzim. Pandangan
lurus, kaki yang tak beralas menapaki pasir halus. Wajah putihnya terlihat
kontras dengan masyarakat pesisir pada umumnya.
“Mak, itu mimi peri kayak di tipi-tipi itu kan, Mak?” Entah
anak kecil yang mana mencetuskan panggilan itu untuk Livia. Bahkan sebelum ia
memperkenal diri.
“Eh, ada bidadari turun dari khayangan.”
“Apa ia mau mandi di laut, untuk kemudian selendangnya di
ambil salah satu pemuda desa ini?”
“Kau kira ini legenda Jaka Tarub? Lihat, bahkan ia tidak
membawa selendang.”
“Tidak ada yang bisa tahu kalau bakalan ada legenda yang
terulang kan? Bisa jadi dengan versi yang berbeda.” Barangkali begitu
bisik-bisik para pemuda di seberang sana. Pada intinya, semua membicarakan hal
yang sama.
Lalu semua tersadar saat adzan berkumandang. Bergegas dengan
aktifitas yang sempat tertunda kecuali Tania. Pandangannya lurus ke arah laut.
Bukan, ia tak sedang mengamati Livia seperti yang lainnya. Justru pandangannya
jauh ke tengah lautan. Di mana arah ayahnya pergi dan tak kunjung pulang.
“Sudah maghrib, Tania. Waktunya sembahyang dan berdoa.”
Dan Livia, tanpa disadari sudah menghilang ke arah selatan.
Bertepatan senja berganti petang.
“Ayah? Ayah ke mana saja?” Teriak Tania sembari berlari ke
pelukan ayah yang dirindukannya.
“Ayah tidak kemana-mana, Sayang. Ayah adalah apa yang sering
bersamamu.”
“Maksudnya, Yah?”
“Ah, sudahlah. Ayo, Ayah temani Tania tidur.” Tania
mengangguk. Lalu seperti biasa, mereka akan berbincang banyak hal sebelum
tidur. Kadang Ayahnya menceritakan kisah-kisah. Seperti malam ini.
Dahulu, ada seorang peri, ia berasal dari lautan. Hidup seorang
diri tak ayal membuatnya kesepian. Dan saat itulah, di malam dingin ada seorang
nelayan yang berlayar pada saat hujan.
Lalu tiba-tiba saja, laut terasa hening sekali. Oh tidak,
ini pertanda buruk. Peri itu ingin menyampaikan pada pria dewasa dihadapannya
agar cepat kembali. Namun terlambat, badai lebih cepat. Sang peri hanya bisa
menatap saat perahu kecilnya mulai bergoyang-goyang, bagaimana ia mencoba
menahan layar. Percuma, saat ombak tinggi menghempas, selesai sudah.
“Apakah pria itu mati? Kenapa peri tidak menolongnya?
Bukankah peri itu baik?” Di usianya saat ini, ia suka sekali bertanya.
“Ceritanya belum selesai, Sayang. Setiap pertanyaan pasti
menuai jawaban, atau kau yang harus menemukan jawaban itu sendiri. Semua hanya
soal waktu.” Sang Ayah kembali bercerita walaupun perkataannya barusan membuat
kernyitan baru di dahi Tania.
Pagi harinya, pria itu terdampar, namun kondisinya sudah
sangat memprihatinkan. Baju yang sobek sana-sini dengan tubuh membiru. Di
waktu-waktu sekarat itu, pria itu dengan lirih berdoa, entah apa yang ia
ucapkan, hingga tiba-tiba sang peri datang. Memberi penawaran.
“Jadilah tubuh lautan, maka kau akan abadi bersama
kehidupan.”
Dengan sisa-sisa kekuatan pria itu berpikir cepat. Lalu
mengangguk saat peri menyebutkan apa saja yang bisa pria itu lakukan jika
menerima tawarannya. Ia tak punya banyak waktu.
Sedikit demi sedikit, kondisi si pria mulai membaik.
Luka-lukanya mengering dan sembuh, bajunya tetiba saja berganti menjadi pakaian
pada masa kerajaan. Sempurna gagah bagai seorang pangeran.
Tapi tidak dengan tubuhnya. Semakin membiru seperti air
bening tengah lautan. Ia memandang peri yang sebelumnya hanya terdengar
suaranya dengan pandangan sayu.
“Tuhan mengabulkan doamu dan putrimu dengan caranya
sendiri.”
***
Livia sedang menatap senja dari atas bebatuan di arah
selatan dekat muara yang jarang sekali didatangi penduduk saat Tania
menghampiri. Anehnya, tak ada seorangpun yang melihat Livia setelah senja pertama
kali ia datang selain Tania. Padahal, setiap sore Livia selalu muncul dari arah
utara dan lagi-lagi dengan takdzim melangkah ke sini. Tempat yang biasa Tania
datangi saat merindukan ayahnya.
“Mimi Peri, nanti malam Tania mau ketemu ayah lagi ya.”
“Kau sudah bisa melakukannya sendiri, Sayang. Tinggal
mengolah kenangan.”
“Tapi Tania pinginnya ditemani Mimi Peri.” Tania merajuk. Ia
sudah nyaman bersama Livia. Seperti menemukan sosok ibu yang tak pernah ia
temukan. Ya, iapun tak tahu seperti apa wajah ibu kandungnya.
Tania sudah pernah menanyakannya. Tapi, waktu itu sang ayah
hanya diam, pandangannya berkaca-kaca dan seharian murung. Semenjak itulah,
Tania tak mau bertanya lagi. Tania tak mau ayahnya bersedih. Yang hanya Tania
tahu, kata nenek; ibu sedang berada di tempat jauh. Jauh sekali.
“Tugas Mimi sudah selesai, Sayang. Maafkan Mimi. Mimi harus
kembali.”
Apa arti kembali bagi Livia? Kita takkan pernah tahu. Setiap
orang punya pemaknaannya sendiri. Punya sisi pemahaman yang berbeda.
“Kau hanya perlu berdamai dengan kenangan, Sayang. Jadikan
kawan terbaik, karena kenangan itulah satu-satunya alat mendekatkan segala yang
jauh dan tak terjangkau.”
Tania menangis dipelukan Livia. Ah, sial. Taniaku harus
basah karena rintik hujan mulai turun. Aku tak bisa menahan rasa sedih agar
tetes itu berhenti menghujam tubuhnya. Dan sialnya lagi, air mataku malah
meluncur bebas saat melihat bahu Tania yang begitu berguncang. Tanda kesedihan
yang mendalam. Mencipta guyuran hujan yang lebih deras bagi mereka yang sedang
berpelukan.
“Sudah. Jangan menangis lagi. Kau lihat? Ayahmu ikut
bersedih. Kau tentu tak inginkan hal itu bukan?”
Saat langit cerah, gelombang laut yang tak tenang, lalu
hujan memberi sensasi gamang, semua itu adalah lingkaran kesedihan. Kata Livia,
semua itu akan terjadi bila ayah Tania sedang bersedih. Konon, seberapa sedih
ayahnya, seberapa deras juga hujan yang turun.
Livia mendongak, merasai hujan yang membelai wajahnya
seakan-akan itulah sapu tangan air matanya seraya bergumam, “Jangan menangis,
Ayah. Tania janji nggak bakalan nangis lagi. Tania sayang Ayah.”
Abracadabra!!!
Mantra itu langsung menghujam langit. Melesat cepat menembus
awan. Seketika angin berkesiur. Meninggalkan sejuk yang nyaman. Dan hujan mulai
tumbang. Dan senja menghilang.
Dan Tania, masih terlihat duduk di bibir pantai. Hanya seorang
diri. (*)
Ulfa Maulana, lahir di Situbondo sebagai seorang perempuan yang suka
mengolah kenangan.
Cerpen: Peri dan Kekuatan Kenangan
Reviewed by takanta
on
November 03, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar