Tak Perlu Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital
Jikapun ada seseorang yang memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan berita hoaks, propaganda, ujaran kebencian dan lain sebagainya, bukan berarti manusia yang lain tidak bisa menyebarkan berita benar, dakwah yang santun, perkataan menyejukkan atau perbuatan baik lainya.
Oleh: Syaif Zhibond Matregi*
Saudara Fata sangat khawatir dengan kecanggihan teknologi yang menurutnya ikut
mendorong lahirnya percakapan melelahkan dan menjengkelkan, saya malah
berbahagia dengan adanya teknologi canggih. Paling tidak ketika saya butuh
tambahan teman berbagi kerinduan, Tan-tan bisa memberikan solusi yang
tepat dan cepat. Mark Zucrkerberg dulu mengalami hal serupa, dia yang jenius
tapi gelisah karena tidak punya banyak teman, mengumpulkan teman-temannya yang
ahli matematika dan algoritma, maka jadilah facebook.
Mark Zuckerberg berhasil memecahkan banyak persoalan pertemanan dengan
kecanggihan teknologi
hasil imajinasinya.
Larry Page
dan Sergey Brin mungkin awalnya
mengalami hal yang sama. Dia yang enggan keluar dari kamar kosan untuk mencari
informasi di perpustakaan, memilih berpikir tentang algoritma yang dapat
memecahkan masalah kebutuhan informasi manusia tanpa harus capek–capek datang
ke perpustakaan atau toko koran. Dari kondisi itu, lahirlah google
yang dapat menghubungkan manusia dengan pengetahuan tanpa harus terkendala oleh
jarak, ruang dan waktu.
Saat
ini, apa yang tidak dapat dipecahkan oleh adanya teknologi. Hampir semua
hal dapat dipecahkan. Saking canggihnya teknologi, manusia sulit berpisah dengan
gawainya meskipun satu jam saja. Itu
karena mereka tidak mau tertinggal informasi yang arusnya sangat cepat dan
menarik untuk diketahui. Terlepas informasi tentang teman, pekerjaan, kuliner, traveling,
wisata, politik, pedidikan, hingga gosip perceraian para artis yang mau tidak
mau dianggap penting untuk diketahui.
Saya
sangat yakin bahwa manusia akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan memproduksi
atau memanfaatkan teknologi untuk keberlangsungan hidup. WHO menyebutkan bahwa
selama 16 tahun pertama di abad ke-21, angka harapan hidup manusia rata – rata 70 tahun, meningkat signifikan
jika dibandingkan dengan angka harapan hidup di abad ke-20 yang hanya sekitar
40 tahun.
Jepang,
Swiss, Spanyol, Australia, Norwegia dan negara maju lainnya memiliki angka
harapan hidup di atas
80 tahun. Selain karena kondisi ekonomi yang baik, masyarakat di negara maju
dapat memanfaatkan teknologi
dengan baik. Teknologi
rekayasa biologis, rekayasa cyborg
dan rekayasa benda-benda
non-organik sangat mungkin menekan angka kematian manusia.
Rekayasa
biologis dimulai dengan pandangan bahwa kita masih jauh dari mewujudkan potensi
penuh tubuh organik kita. Dengan teknologi yang canggih, para ilmuwan
dapat menulis ulang kode genetik, menata ulang sambungan sirkuit otak, mengubah
keseimbangan biokimiawi dan bahkan menumbuhkan organ–organ yang sama sekali
baru. Itu sangat mungkin dilakukan, tinggal menunggu waktu untuk sampai ke
kehidupan nyata kita.
Rekayasa
Cyborg akan bergerak selangkah lebih maju, dengan kecanggihannya akan
mampu menggabungkan tubuh organik dengan alat-alat non-organik seperti tangan
bionik, mata artifisial atau jutaan robot nano yang akan menavigasi aliran
darah kita, mendiagnosis dan memperbaiki kerusakan.
Mungkin
ini terdengar seperti fiksi sains, tetapi di beberapa negara maju sudah membuktikannya. Belum lama
ini sejumlah monyet belajar untuk mengendalikan tangan dan kaki bionik yang
dilepaskan dari tubuh mereka melalui elekroda yang ditanam di otak. Para pasien
lumpuh mampu menggerakkan organ-organ bionik atau mengoperasikan komputer
dengan kekuatan pikiran saja.
Sekarang
sudah ada teknologi
yang bisa mengendalikan jarak jauh alat-alat elektronik di rumah dengan membaca
sinyal-sinyal elektrik yang menjalar di kulit kepala. Misalnya ingin menyalakan
lampu di kamar, cukup dengan mengenakan helm itu, lalu bayangkan isyarat mental
yang sudah diprogram (bayangkan tangan kanan bergerak) lalu menekan tombol
untuk menyalakan, maka lampu yang ada di kamar akan menyala.
Kondisi
ini berbeda dengan pola masyarakat yang ada di negara berkembang dalam
memandang teknologi, atau katakanlah pedesaan di sekitar kita, misalnya ketika
mau melahirkan, mereka lebih memilih bersalin ke dukun daripada ke bidan atau
dokter kandungan. Padahal, kalau ke dukun risiko kematian ibu dan bayi tidak bisa
dideteksi dini karena tidak ditopang dengan teknologi yang canggih. Sementara bidan dan dokter dengan
keahlian yang dimiliki, ditopang dengan teknologi yang memadai, akan mampu
mengukur potensi risiko
yang akan dialami seorang ibu hamil beserta dengan keselamatan bayinya.
Itulah
pentingnya teknologi
dalam kehidupan umat manusia. Jikapun ada seseorang yang memanfaatkan teknologi
untuk menyebarkan berita hoaks, propaganda, ujaran kebencian dan lain
sebagainya, bukan berarti manusia yang lain tidak bisa menyebarkan berita
benar, dakwah yang santun, perkataan menyejukkan atau perbuatan baik lainya.
Pilihannya, apakah orang baik cukup diam membiarkan orang tidak baik
menyebarkan berita hoaks, propaganda dan
ujaran kebencian, atau orang baik mengambil sikap lalu bertindak menebarkan
kebaikannya untuk kemaslahatan orang banyak. Saya kira masih banyak orang baik
yang optimis dengan arus kecanggihan tehnologi saat ini dan yang akan datang.
Pertanyaan
terakhir, perlukah memperkuat nilai kemanusiaan Generasi Digital? Saya kira
tidak begitu perlu. Karna generasi digital membangun hubungan manusia dengan
manusia yang dicukupkan dengan media sosial. Malah yang sebenarnya perlu
dikuatkan adalah pada dimensi keilahian. Teknologi menggiring manusia untuk dapat
melakukan perbuatan yang super canggih atau bahkan bisa menciptakan sesuatu
yang menyerupai ciptaan tuhan. Maka tidak menutup kemungkinan, tehnologi
berubah wujud menjadi tuhan-tuhan baru yang dipercaya dapat mengatasi segala kebutuhan
manusia.
Ah....serius
amat bacanya...!? Hehehe..
*) Mantan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Ekonomi Syari’ah.
Tak Perlu Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital
Reviewed by takanta
on
November 29, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar