Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja
Oleh: Ahmad Zaidi
“Ceritakan
padaku tentang malam yang dingin, pantai, dan senja,” katamu.
Maka,
aku menceritakan ini kepadamu.
Kita sedang duduk
berhadap-hadapan. Di depan kita ada sebuah meja dengan dua cangkir dan piring
kecil yang diletakkan di atasnya. Di luar gerimis. Kau memesan espreso dan chocolate
sponge cake. Aku ingin memesan bir, tapi tentu kau akan ngambek sehingga aku memesan cokelat
panas. Dingin menggerogoti udara malam yang semakin tua. Nyala lampu di
jalan-jalan, taman, dan perumahan, disamarkan kabut. Apa yang ingin kita
bicarakan? Sedang matamu mengatakan lebih banyak dari apa yang mungkin disampaikan
kata-kata.
"Aku ingin
pergi ke pantai. Melihat ombak bergulung-gulung, kawanan camar, dan langit yang
biru," katamu.
"Aku ingin melihat
senja."
"Kau terlalu
banyak membaca Seno, Sayang.
Aku ingin sebuah tenda, di bawah pohon, dengan kompor, lalu kita membuat kopi
dan membaca buku."
"Boleh aku
membawa bir?"
"Jangan
bodoh."
Lalu kita kembali
diam. Kau mengamati bianglala yang dari dalam kotak-kotak kecil yang terus
berputar. Sesekali ada kilatan cahaya blitz.
Sepasang kekasih di dalamnya berciuman. Tapi, aku tidak ingin menciummu. Aih,
tapi matamu seperti menarikku ke dalam pusaran yang tidak bisa aku ungkapkan
dengan kata-kata. Dengan pelukan, mungkin. Atau…
"Baiklah."
"Baiklah
apa?"
"Baiklah, kita
ke pantai. Melihat ombak di kejauhan, langit yang biru, dan kawanan camar yang
terbang bebas."
"Tanpa bir!"
"Ya, tanpa
bir."
Aku melihat matamu
menyipit, dengan senyum yang disembunyikan. Kita saling diam saat tatapanmu
kian tajam. Tatapan yang menusuk, menguliti diriku hingga bagian paling dalam.
Dua orang, laki-laki dan perempuan baru saja masuk lalu duduk di dekat jendela.
Sepertinya mereka sepasang kekasih yang bahagia. Tentu, kita sama bahagianya
dari mereka. Namun apakah kebahagiaan kita perlu dipamerkan? Di luar sana,
banyak yang menganggap kebahagiaan hanyalah ilusi yang diciptakan perasaan.
Tapi, seberapa penting bahagia atau tidaknya sepasang kekasih yang saling
melengkapi?
"Sayang...."
"Ya."
"Benarkah kita
saling mencintai?" tanyamu.
"Tentu
saja."
"Bagaimana jika
seandainya aku tidak mencintaimu?"
"Tidak
masalah."
Malam kian rapuh. Waktu
menelantarkan kita semakin jauh. Dingin menunjukkan bentuknya yang angkuh.
Seperti perempuan. Seperti kau yang sulit ditaklukkan. Sepertinya... apakah
kita sedang takluk-menaklukkan? Lalu kau menyandarkan kepalamu dan kau
memelukku, tanpa suara dan tanpa percakapan. Jemari kita saling menyatu
mengatur tempo yang lambat. Pelan sekali denyut nadimu.
"Berjanjilah
kepadaku," katamu lagi.
"Apa?"
"Jangan pernah
pergi."
"Tidak bisa,
sayang."
"Kenapa?"
"Kau tahu, aku
tidak bisa berdiam terlalu lama. Aku ingin terus bergerak. Suatu saat nanti aku
ingin melakukan perjalanan yang tidak memiliki tujuan dan juga jalan kembali."
"Jahat."
"Apakah kau
menginginkan sesuatu yang monoton?"
"Tidak. Tapi
aku ingin terus bersamamu."
“Kau tahu, apa yang
menakutkan dari kebersamaan?”
“Apa?”
“Kesementaraan.”
Namun akhirnya kita masih
bersama-sama pergi ke sebuah pantai, saat langit sedang memoles dirinya dengan
warna biru dan kau merasa haru dengan itu, lalu berangsur-angsur memerah. Kau
mengamati sekeliling kita yang berupa tebing terjal. Tempat yang indah
sekaligus mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan jika seseorang melompat dari
atas, tubuhnya menghantam karang, lalu ombak menyeretnya dalam-dalam.
“Kenapa kau memilih
tempat ini, Sayang?”
“Tunggu sebentar
lagi. Ada hal yang akan menggugurkan pertanyaanmu.”
Aku mengajakmu ke Batu
Bengkung, sebab konon ia memiiki senja yang ajaib. Kita mendirikan tenda di
atas bukit di bawah pohon dan untuk sampai kemari, kita harus melalui jalan
yang terjal. Lihatlah gugusan batu itu, bukankah seperti perempuan?
Lalu aku teringat
pada obrolan seseorang yang memberi tahu tempat ini.
Barangkali, dalam
cerita yang tak banyak diingat lagi, pada mulanya batu itu adalah seorang
perempuan. Ia terlalu lama menunggu hingga akhirnya menjadi beku di antara
waktu. Ia memiliki seorang kekasih yang pergi melaut dan tidak pernah kembali
meski untuk sekadar memberi tahu agar tidak menunggu. Barangkali pula, perempuan
itu dikutuk setelah menyerah atas kesetiaannya, memilih menikah dengan
laki-laki lain yang berpenghasilan tetap, bukan nelayan, dan hidupnya terjamin
bahagia dengan laki-laki itu. Tanpa perempuan itu tahu, kekasihnya yang pergi
melaut sedang berusaha mencari cara pulang setelah perahunya diseret badai ke
sebuah daratan yang asing dan belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Kekasih
yang ditinggalkan itu kembali setelah bertahun-tahun lenyap tanpa jejak. Dan
ditemui perempuan yang selalu ia bayangkan sedang menjaga kesetiannya itu,
ternyata sedang mengandung dan memiliki suami yang bukan dirinya. Laki-laki itu
pun pergi memikul rasa kecewa. Meninggalkan perempuan yang begitu dicintainya.
Maka, di pantai inilah, dengan menyesal perempuan itu memohon agar dikutuk
menjadi batu.
Aku belum pernah
melihatmu sedamai itu. Udara pantai membuatmu lebih segar dari biasanya. Angin
memainkan anak-anak rambutmu yang tergerai. Kau biarkan cahaya lembut matahari yang
mulai rebah di batas horizon menyapu wajahmu. Dari kejauhan, kita mendengar suara
tawa anak kecil yang berlari menghindari kejaran orangtuanya, tak mau difoto.
Sepertinya mereka ingin bermain-main tanpa diganggu.
“Lihat, awannya
memerah.”
“Pipimu juga.”
“Seperti permen
kapas.”
“Seperti mengundang
ciuman yang malu-malu dan ragu.”
Kau mendaratkan telapak
tanganmu di kedua pipiku. “Ngarep,” ucapmu sembari masuk ke dalam tenda.
Senja menjulurkan permadani dari cahaya kemerah-merahan di permukaan karang
diiringi kesiur angin dan dengus ombak yang patah-patah menghantam batu-batu.
Tiba-tiba kau
kembali keluar dengan dua gelas di tanganmu.
“Kau ingin minum
kopi?”
“Tentu.”
“Kalau begitu, nyalakan
api untukku.”
Aku mengambil
parafin dan menuangkan air mineral ke dalam panci kecil yang telah kita
persiapkan sebelumnya, untuk dipanaskan. Kau kembali mengamati sekeliling,
mellihat laut yang mulai pasang dan kembali menenggelamkan gugusan karang yang
memanjang, yang sebelumnya seperti benteng. Ada kolam alami di sana. Yang
perlahan lenyap.
“Kau tahu, apa yang
ajaib dari senja di sini?” tanyaku.
“Apa?”
Aku mengeluarkan
kamera, menggandeng tanganmu menuju sisi paling tepi bukit itu. Matahari
menyelam di batas antara langit dan laut, ketika tangganmu menggamit lenganku.
Senja tidak lagi berwarna kemerah-merahan. Tapi ungu.
“Kenapa bisa
begitu?” tanyamu kesekian.
Sayangnya, aku
buru-buru menyudahi cerita ini sebab yang kau pinta di awal cerita hanya tentang malam yang dingin, pantai, dan senja. (*)
Ahmad Zaidi, lelaki yang baru saja kehilangan kesepiannya.
Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja
Reviewed by takanta
on
Desember 01, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar