Home
/
Mored
/
Moret
/
Sirli Qurrota Aini
/
Cerpen Mored: Selembar Kerudung dan Senandung Cadar dalam Mata Lelaki Cina
Cerpen Mored: Selembar Kerudung dan Senandung Cadar dalam Mata Lelaki Cina
Oleh:
Sirli Qurrota Aini
Aku kisahkan
padamu, tentang seorang lelaki cina yang tabah menjual kain kepada siapa saja,
tak peduli siapa pun. Tanpa sepengetahuan dan kesadarannya, kain yang ia jual harus
memuncratkan peristiwa mencemaskan, ketika selembar kerudung dan senandung
cadar harus berseberangan saling menyalahkan atas nama agama. Lelaki cina itu
tergeleng-geleng tak dapat menebarkan ekspresi apapun. Ia tak habis pikir,
pertengkaran mereka akibat kain yang ia jual. Bersama ini, kukisahkan padamu
tentang seorang lelaki cina yang harus cemas menatap kenyataan yang tak mampu
ia pahami sebagai fragmen kehidupan.
Bunga sakura berguguran memenuhi sebentang jalan yang ramai ditebari pejalan kaki. Setangkai sakura
menjatuhi wajah seorang lelaki yang tengah memakai bomber cokelat yang cukup kontras dengan kulit pucatnya. Angin mendesir. Damai. Ia tampak mengembuskan napasnya di telapak tangannya
seusai menggesekkan kedua bilah tangannya. Cukup dingin. Ia memilih duduk di
sebuah kursi panjang,
pinggir jalan. Sebagian parsial memorinya tampak megingat ucapan ayahnya.
“Pergilah ke negeri seberang!”
Ia hanya mendiami perkataan ayahnya. Ambang keputusannya masih mengambang dan melayang di pikiran. Terlalu banyak yang dipertimbangkan. Timang menimang dalam remang. Sekali lagi ia masih mendesahkan napasnya kuat-kuat di suhu udara berderajat tinggi. Berharap resahnya akan menghilang terbawa lengang.
***
Sebuah pesawat Airline tampak take off. Suaranya sedikit mendengung di
gendang telinga para penumpang. Mode pesawat nampak telah terpasang di setiap handphone. Seorang lelaki putih dan bermata sipit tengah memandang
kabut awan yang begitu tebal mengangkasa.
“Semoga rencanaku tidak akan sia-sia,” ucap hatinya.
Harapannya telah terlihat di kedalaman kornea matanya yang berwarna cokelat lekat.
***
Batang kepercayaan berulangkali menunduk dan menengadah.
Kepulan asap dupa semerbak menelisik setiap lelambai helai kain. Membaur
seiring lantunan merdu sang penenun. Kelopak matanya menutup demi penghormatan.
Tak sedikit pun tercipta derap. Permohonannya membisik di setiap sudut ruangan.
Mendesis di sela-sela angin.
Ting tong!!! Dentang waktu bergemuruh. Menghempaskannya
di setiap daun pendengaran. Lelaki berkulit putih masih tercekat likat. Pita
suaranya masih tak bersua. Seusai beberapa ketukan jarum jam, ia membuka
kelopak matanya. Ia segera meletakkan batang merah nyala dengan sedemikian
hati-hati. Langkahnya berpaling. Ia menutup pintu kotak sesembahnya. Batang
kakinya tampak menepuk pualam perlahan. Sekilas tempias cahaya menghempas tubuh
jangkungnya.
***
Tik-tok-tik-tok. Jarum jam terus berpacu melewati
dimensi waktu. Mengikuti alur yang teratur. Sang penenun tampak begitu khusyuk
mengencani Tuhannya.
“Tuhanku... anugerahkan kemudahan kepadaku untuk menekuni
usahaku. Berikan kekekalan panji-panji yang terdapat dalam diri ini.”
Asap dupa masih mengepul. Bertebaran di antara angin yang
tak bersinergi. Udara di sekitar sang penenun tampak tak berkutik. Cukup
sembap, namun menyejukkan. Seusai menyelesaikan ritual sesembahnya, ia segera
menyiapkan kain dagangannya dan membuka
pintu toko kainnya. “Aku yang akan memulai, dan keturunanku adalah penerusku
yang tak akan tergerus,” sabda hatinya. Beberapa saat setelah ia membuka tokonya, seorang lelaki
datang. Kedatangannya disambut oleh senyum ramah sang penenun: Liangyi Fengyin.
***
Jalan kota tampak lengang seiring panas mendera kota Kediri.
Pepohonan tampak berbaris tegap menghadap jalan. Sebuah mobil Alphard putih menghentikan laju rodanya
di depan sebuah pasar. Terlihat hiruk
pikuk. Seorang lelaki berjubah putih keluar dari mobil. Sepotong perbincangan
tampak terjalin. Dengan sumringah sang pedagang jalanan menjawab untaian
pertanyaan. Lelaki tinggi itu segera melanjutkan penjelajahannya di kota antah
berantah. Roda berpacu menelusuri jalan
aspal yang tak terlalu berpenghuni. Pandangannya tampak mengawasi setiap papan
penunjuk jalan. Melampaui setiap batas logistika yang pernah ia sabdakan kepada
umatnya. Persepsi yang pernah ia koarkan tampak mendengung di telinganya.
Berulang-ulang. Suara rem terdengar sedikit mendecit di halaman depan sebuah
toko kain. Lelaki berjenggot pirang itu turun dari kendaraannya.
Klining!! Suara lonceng berdenting tatkala lelaki
itu membuka pintu toko kain yang cukup megah tersebut.
“Selamat pagi, ada yang bisa Wo bantu?”
“Saya ingin membeli kain hitam untuk cadar.” Tanpa pikir
panjang Jianheeng segera mencarikan kain yang diinginkan sang pelanggan.
***
Detik demi detik melampaui porosnya. Hawa malam semakin menusuk
rahang wajah seorang lelaki berkulit sawo matang. Ia masih mengawasi jalanan
yang tampak suram dengan lampu jalan yang cukup redup. Lelaki berpeci putih
tersebut tampak mengawasi gps di handponenya. Mobil Avanzanya tampak
menelusuri lorong-lorong jalan yang semakin kosong sebab pinggan gelas waktu
yang hampir habis melewati masanya. Bulan masih menggelantung seiring cahaya
kemuningnya yang tak asing. Laju rodanya berputar seiring dengan ketukan detik jam
tangan yang melekat di tangan kiri lelaki bermata bulat itu. Pepohonan itu
melewati mobil yang ia kendarai. Ia menghembuskan napas lega secara perlahan
tatkala ia menghentikan mobilnya di depan toko kain.
Klining!! Denting itu berbisik pada angin malam
yang bisu. Seorang karyawan berujar.
“Malam, ada yang bisa Wo
bantu?”
“Saya ingin membeli kain untuk kerudung,” ucapnya dengan
tenang.
***
Tuan Liang tampak terdiam di sebuah kursi singgasananya.
Sebuah ketukan terdengar. “Masuk!” Dan suara pintu berderit. Ia memutar
pandangannya ke arah pintu. “Para tamu undangan sudah datang, Tuan.”
“Baiklah, saya akan segera ke sana.” Tuan Liang tampak
membenarkan arlojinya. Ia segera melangkahkan batang kakinya menuju acara
peresmian tokonya dengan tenang. Langkahnya terhenti. Seorang tamu undangan
lelaki tampak menarik cadar seorang tamu perempuan. Krashh!! Mulai kacau. Caci maki terus bersabda di setiap mulut
antah berantah. Teriakan bersahut-sahutan bagaikan riuh gemuruh. Beberapa
lelaki tampak menodongkan senjata kepada lawannya.
Dorr!! Dorr!!
Tempias darah memercik. Bau anyir menyeruak di mana-mana.
Tuan Liang tampak menutup sebilah kelopak matanya. Krakk!! Bunyi kain cadar telah tersobek
egoisme. Bagai remah Tuan
Liang membelalakkan matanya kuat-kuat. Nestapa berkemelut di hatinya. Ia segera
pergi menuju kotak sesembahnya. Ia tampak mengucap permintaan demi permintaan. Prang!! Suara gaduh di luar kotak sesembahnya memecah
kekhusyukannya. Hatinya hancur bagai remah yang tak bertuah.
“Tuhanku, bagaimana
ini?”
Asap masih mengepul dan mencuat di udara. Berulangkali
batang-batang merah nyala itu masih saja menunduk dan menengadah demi memohon. “Tuhan, bagaimana dengan ini?” Ia
terbatuk-batuk sebab asap dupanya yang semakin menyala. Membara. Tuhan marah
padanya. Kelopak matanya tampak mengeluarkan bulir-bulir bening dengan derasnya. Bahkan membanjiri seluruh batang tubuhnya.
“Tuhan! Bagaimanaaa!?” Batang merah nyala membakar kehidupan
mereka dengan kejam. Tuhan marah.
Lelaki cina itu
semakin cemas. Mengapa mereka yang hanya berbeda cara menutup kepala saja harus
berseberangan padahal satu golongan. Apakah iman yang semakin dalam malah
menebarkan pertengkaran sampai banjir darah? Lelaki cina itu semakin cemas apakah ia harus tetap menjual kain kepada
siapa pun?
Kukisahkan ini
kepadamu,
sebagai sebentuk
kegelisahanku kepada.... (*)
Jember, 6 Maret
2019
Sirli Qurrota Aini, Siswi MA Unggulan Nuris, Jember.
Cerpen Mored: Selembar Kerudung dan Senandung Cadar dalam Mata Lelaki Cina
Reviewed by takanta
on
Desember 07, 2019
Rating: 5
Tidak ada komentar