Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang
Oleh: Taradita Yandira Laksmi*
Lembayung senja
menyinari hamparan biru laut di hadapanku. Seolah kaca yang mendapat sinar,
bagai permata pantulannya menyinari netraku. Tampak serasi dengan deru ombak,
nyanyian unggas udara, dan percikan kilas masa lalu. Menghantamku kembali pada
masa kelam itu.
Aku menatap jauh,
seolah awan yang berarak merupakan gumpalan kesahku. Tatapku tak seindah
mereka, karena binarnya telah tiada. Ya, aku tahu benar bahwa apa yang
kulakukan akan sia-sia. Tapi jauh dalam benakku memaksaku untuk berdiri dan tak
menerimanya semudah ini.
“Apa tak bisa aku menjadi bagian dari kehidupannya? Bahkan karena tradisi, aku telah terperosok jatuh.”
“Mungkin aku harus
ikhlas kembali. Ini ujian yang hebat.”
Setetes air mata
meluncur. Penuh akan kesedihan dan keikhlasan.
Gemuruh dadaku
menggambarkan kilasan yang pecah itu. tentang dia yang kini hanyalah menjadi
bayangan harapku. Bukan menjadi realita dalam hidupku. Tentang sosok hebat yang
hilang ditelan kenyataan. Untuk kesekian kalinya aku harus mengalah pada adat
yang ada. Setelah ia mengekangku untuk tidak menggapai mimpiku, melanjutkan
sekolahku di universitas ternama negeri, kali ini aku harus mengikhlaskan
hatiku. Bukannya aku lemah, meski kenyataannya demikian. Aku hanya tak ingin
menjadi sosok yang durhaka karena melanggar aturan orang tua. Apalagi aku
adalah anak dari sosok penting di desa.
Syita.
Gadis berusia enam
belas tahun yang memiliki kehidupan indah, tapi dalam imajinasinya saja. Karena
masa remaja yang diidamkan banyak orang tak lagi sama rasanya bagiku. Karena di
usiaku ini, aku harus menerima kenyataan bahwa adat yang selama ini kujunjung
harus menelanku bulat-bulat.
Bagai sang Dewi
Sinta yang akan disunting Rahwana, sedangkan Dewa Rama tak dapat berkutik sedikit
pun. Iya, itulah kenyataan dari kehidupan remajaku. Aku hidup di desa yang
masih menjunjung tinggi tradisi perjodohan muda. Bahkan aku telah dipinang
semenjak usiaku baru beberapa minggu.
Saat masih kecil
aku tidak mengerti arti dari ikatan pernikahan, apalagi perjodohan. Tapi
semenjak usiaku menginjak dewasa, aku bertemu dengannya. Pemuda dari desa
tetangga dengan takdir yang hampir serupa denganku. Dia berusaha lari karena ia
merasa terkekang dengan adat di desanya. Bahkan mimpinya untuk menjadi arsitek
harus gugur karena tugasnya sebagai penerus sosok penting di desa. Ya, tak beda
jauh denganku.
“Hei, Syit.
Bukankah ini melelahkan?” Ucapnya seraya duduk di sampingku dengan netra yang
terus menatap aliran sungai.
Aku menoleh
padanya dengan tatapan bingung. Tanganku masih sibuk memainkan ilalang yang
dipetiknya tadi.
“Iya, kita
memiliki perasaan ini tetapi kita tak dapat menyatukannya. Bukankah itu
menyakitkan?”
Aku menunduk.
Dalam hati aku mengiyakan ucapannya. Memang itulah yang terjadi. Baik aku atau
pun Dharma tak bisa menentang tradisi itu. Meski Dharma merasa hidupnya
terkekang dan berakhir dengan keberadaannya di sini.
“Aku tidak tahu
harus bagaiamana, Dhar. Ayah akan menikahkanku dua bulan lagi. Ini menyakitkan,
untuk kesekian kalinya aku harus menerima rasa sakit yang sama. Aku mulai
merasa hidup ini tak adil.”
“Hei, bukankah kau
pernah berkata selama kita percaya kita dapat melakukan apa pun? Kenapa
sekarang malah sebaliknya?”
Aku menatap Dharma
dengan lekat. Aku sendiri lupa kapan aku mengatakan kalimat itu. Sementara
Dharma hanya membalasku dengan senyuman kecut.
“Kau lupa lagi,
ya? Sepertinya amnesiamu mulai parah. Apakah kau ingat pertama kali kita
bertemu di mana?”
Aku masih diam.
Sungguh, dia benar soal amnesiaku. Mungkinkah aku melupakan kejadian itu? Yang
kuingat hanyalah aku bertemu dengannya dan entah bagaimana kelanjutannya hingga
kami saling mengenal.
“Jangan-jangan kau
juga lupa akan mimpimu?” Tegurnya sekali lagi yang membuatku menunduk lesuh.
Entah untuk ke berapa kalinya amnesiaku kumat. Tunggu, apa benar aku amnesia?
Setahuku amnesia akan membuatku lupa secara keseluruhan. Tapi, ini hanya
beberapa. Ya, hanya beberapa saja.
“Sudahlah, Syit.
Kau jangan memaksakan dirimu untuk mengingatnya. Aku hanya berharap kau dapat
melupakanku saat hari pernikahanmu nanti.” Dharma mengelus puncak rambutku.
Setetes air mata kembali jatuh dan itu sungguh sangat perih. Kenapa aku tidak
bisa mengingat hal penting dalam hidupku?
“Jangan... aku
membutuhkanmu, Dharma.”
“Sudahlah, meski
kita merasa adat ini mengekang kita, tapi aku yakin satu hal. Ada pelajaran
hebat di baliknya. Ya, meski aku mengetahuinya setelah bertemu denganmu.”
Dharma tersenyum begitu tulus. Seolah ringan baginya untuk melepasku.
“Dan mimpi-mimpi
kita? Mimpimu untuk menjadi arsitek bagaimana? Mimpimu untuk membangun negeri
ini haruskan hancur? Tidak, Dharma. Tak semuanya semudah itu.”
“Hei, kau benar.
Aku masih memiliki mimpi itu. aku yakin bisa mewujudkannya. Entah kapan,
mungkin lewat cucu-cucuku nanti.” Dia tertawa seolah ucapannya adalah hal lucu.
Aku diam.
Mungkinkah ini mustahil?
Ya, lama rasanya
setelah ia mengucapkan hal itu. Kini hanya tinggal menghitung hari mendekati
umurku genap tujuh belas tahun. Tepat saat ulang tahunku ke tujuh belas, aku
akan menikah dengan pemuda yang telah dijodohkan denganku. Miris?
Ya kehidupan
remajaku tergolong cukup prihatin. Bagi kebanyakan orang masa remaja adalah
yang indah karena penuh dengan ambisi dan rasa ingin tahu. Tapi bagi beberapa
orang, masa remaja hanyalah perjalanan penuh rintang. Kelokan di sana-sini yang
terkadang membuatmu bertanya-tanya soal takdir. Dan, itulah yang kurasakan saat
ini. Benang merah pengekang yang membuatku harus ikhlas melepasnya pergi dan
membiarkanku hidup lebih mandiri.
___________________________________
*) Penulis merupakan pelajar kelas XI MIPA 5, SMA Negeri 1 Situbondo. Penyuka sastra.
Cerpen Mored: Benang Merah Pengekang
Reviewed by takanta
on
Januari 18, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar