Oleh: Romi Afriadi
Di kos barunya Sidik begitu merasakan kesepian karena tidak
punya satu pun kenalan walaupun kos tersebut terdiri dari banyak kamar dan
dihuni puluhan orang, namun masing-masing lebih suka menyendiri dan menjaga privasi.
Beruntung kondisi itu tak bertahan lama buat Sidik, setelah bertemu dan
berkenalan dengan Anton seorang mahasiswa Jurusan Filsafat, barangkali karena
memiliki beberapa kemiripan; sesama anak rantau yang berasal dari daerah jauh,
hidup dalam lingkungan keluarga miskin, dan suka membaca buku, membuat keduanya
jadi cepat akrab layaknya sahabat.
Setelah mengikrarkan diri sebagai
sahabat, Anton dan Sidik hampir selalu bersama setiap saat, mereka sering
membantu dalam berbagai permasalahan yang menimpa, jika salah satu belum
menerima kiriman dari orang tua di kampung, yang satu akan berusaha menutupi
dan meminjami uang.
Anton gayanya sangat filsuf, bacaannya buku-buku kaum pergerakan
kiri, dia begitu mengidolakan Karl Marx, Lenin, Mussolini dan Soekarno, teori-teori para Filsuf menjadi makanannya
sehari-hari, tak heran Anton bersifat kritis dalam segala hal.
“Kenapa kau memilih masuk jurusan Filsafat?” Sidik pernah bertanya suatu kali. Bagi
Sidik jurusan Filsafat tidak menjanjikan masa depan karena sempitnya lowongan
untuk sarjana lulusan filsafat.
“Alasan pertama karena menempuh jalan filsuf merupakan suatu yang mulia, sebab mereka mau
belajar sampai ke akar-akanya untuk mempelajari suatu hal. Alasan kedua, jurusan filsafat tidak
banyak peminat sehingga kemungkinan lulus jadi besar.”
Sidik nyengir mendengar jawaban terakhir itu.
“Kau sendiri kenapa masuk jurusan Hukum?” Gantian Anton yang
bertanya.
“Aku sampai sekarang tidak paham kerja orang-orang hukum
itu.”
“Bagian mana yang tak kau pahami?”
“Misalkan begini, ada seorang pengacara menangani kasus
pembunuhan, kliennya itu sudah jelas membunuh, pengacaranya pun sudah tahu.
Lalu kenapa mesti dibela?” Anton berusaha sesederhana mungkin menjelasakan maksudnya.
“Semua orang berhak membela untuk mendapatkan keadilan,” ujar Sidik.
Itu dia yang membingungkan, tujuan dari hukum itu adalah
menegakkan keadilan, bukan malah melindungi orang yang jelas bersalah.” Anton menangkis
sengit.
“Yang dilindungi itu bukan perbuatannya, tapi sebagai
seorang warga negara semua orang berhak mendapat perlindungan di mata hukum.”
“Itu juga hanya semboyan dalam hukum, katanya semua orang
sama di mata hukum, tapi tetap saja tumpul ke atas, tajam ke bawah.”
“Kalau itu tergantung penegak hukumnya.” Sidik berdalih.
“Misalnya suatu saat kau jadi penegak hukum, apa kau juga
akan berbuat begitu?” Anton mencoba menerawang.
“Andai aku jadi penegak hukum, aku akan menegakkan hukum
dengan sejujurnya.”
“Semoga saja, sesuai dengan namamu Sidik, kamu memang harus jujur. Atau
orangtuamu akan merasa bersalah memberimu nama demikian.” Anton seperti
menyematkan harapan.
Sidik kembali nyengir mendengar pernyataan terakhir, lalu
keduanya terdiam mencoba meneropong masa depan masing-masing yang saat itu
masih kabur.
***
Memasuki tahun kedua kuliah hubungan persahabatan Anton dan
Sidik mulai berubah dan tak lagi terlalu mesra, frekuensi pertemuan mereka pun
jarang meski tetap satu kos. Semuanya terjadi setelah keduanya mantap masuk organisasi
kampus. Sidik
memilih bergabung dengan anggota BEM sementara Anton masuk komunitas Mapala,
keduanya terkadang lebih banyak tidur di sekret organisasi yang membuat waktu bertemu
mereka jadi semakin terbatas.
Anton merasa Sidik mulai berbeda pemikiran dengannya. Kesenangan dan keistimewaan yang didapatnya
selama menjadi anggota BEM membuat gaya hidup dan tampilannya begitu berbeda. Sidik kini
mendambakan menjadi pejabat tinggi dengan gaji yang banyak.
“Orangtuaku pasti akan bahagia melihat
aku kaya.” Dia mulai banyak belajar ilmu politik, ikut rapat-rapat penting
mewakili BEM dengan orang-orang besar di kampus. Pihak kampus memang
memfasilitasi kebutuhan anggota BEM dan memberi “keistimewaan” dibandingkan
mahasiswa lainnya. Itulah alasan utama Sidik begitu ngotot ingin menjadi pejabat
tinggi.
“Sepertinya menjadi pejabat itu enak
ya....” Itu adalah pertama kali secara terang-terangan Sidik menyampaikan keinginannya
menjadi seorang pejabat kepada Anton pada suatu pertemuan mereka yang diisi
pertentangan.
“Asalkan jadi pejabat yang mementingkan
rakyatnya.” Anton menjawab ketus
Sidik duduk di kasur sambil merokok
saat itu, barangkali angan-angannya masih berseliweran bagai suatu keenakan
yang akan didapatnya pada masa depan.
“Jika kau berpikir menjadi pejabat itu
untuk menyelamatkan hajat orang banyak, berarti kau sudah memilih jalan yang
benar. Namun ketika kau mulai memikirkan kemewahan dan kekayaan yang kau dapat
dari jabatan itu berarti selamanya kau akan jadi pejabat brengsek. Aku ragu apa
kau benar-benar berkeinginan seperti harapanku yang pertama, aku malah lebih
condong kau akan mengejar pernyataanku yang kedua.”
Darah Sidik terkesiap, tak menyangka
akan mendengar itu.
“Bukankah dulu kita berandai-andai, jika
kau menjadi penegak hukum akan berlaku jujur?” Nada suara Anton melunak.
“Aku tidak mengubah keinginan itu,
malah sekarang semakin kuat.”
“Dan setelah menjadi pejabat kepolisian
kau manfaatkan itu untuk merenggut hak-hak orang banyak seperti yang telah kau
dan kawan-kawan BEM-mu itu tunjukkan sekarang, kalian bersekongkol dengan orang
Rektorat, lalu menciptakan opini bohong tentang penyelewengan uang masjid yang
akan di bangun itu.” Anton kembali geram.
Di kampus ketika itu memang sedang
heboh penyelewengan uang yang diduga dilakukan pihak rektorat untuk pembangunan
masjid kampus. Dana pembangunan itu selalu di minta kepada mahasiswa setiap
pembayaran semester, dan pihak BEM yang diharapkan kritis terhadap hal ini
malah diduga menerima persenan agar tutup mulut.
“Mana konsep penegakan hukum baik yang
kau agungkan itu?” Anton menunjuk langsung muka Sidik yang saat itu memerah. “Ternyata
benar kesimpulanku selama ini, sebaik-baik manusia akan berubah jika memegang
jabatan.”
Sidik tertunduk mendengar itu, hanya
hatinya yang membatin. Apakah aku berubah
menjadi manusia serakah karena jabatan ini?
“Kau berhak menentukan masa depanmu,
jika kau masih tetap ingin petualangan mimpimu menjadi pejabat tinggi,
lanjutkan, aku tak berhak mengatur hidupmu. Tapi ingat, sekali kau masuk dalam
dunia yang salah, kau tak kan pernah bisa keluar lagi, selamanya kau akan tetap
jadi orang brengsek!”
Anton membanting pintu kamar kos, lalu
keluar. Itu adalah puncak kemuakannya atas perubahan sikap Sidik. Semenjak itu
Anton tak lagi pernah bertemu Sidik, malah lebih terkesan menghindarinya. Anton
menjadi penghuni tetap sekret Mapala, lalu lebih memilih menyibukkan diri
dengan naik gunung dan ikut demonstrasi menggulingkan pihak rektorat kendati ia
menyadari kelompok ini tidak mudah ditumbangkan. Akibat itu pula, kuliahnya
jadi bermasalah dan terancam DO dari kampus. Selentingan kabar sampai ke
telinganya bahwa Sidik akan diwisuda, Anton tak tahu harus seperti apa mendengar
kabar itu, dia senang sekaligus sedih. Lalu setelahnya jejak Sidik benar-benar
mengabur dalam hidupnya.
***
“Kami tak mau dipimpin penguasa keparat
yang menerima suap.” Suara Anton menggelegar ketika memimpin kelompok
demonstran.
“Angkat kaki dari tanah kami.”
“Jangan jadikan lahan kami bisnis.”
Berbagai teriakan yang berisi nada
kecaman susul menyusul, matahari begitu terik saat itu serupa hati orang-orang
yang ikut demonstrasi. Aksi ini sebetulnya sudah yang kedua kalinya, minggu
lalu suasana aksi berjalan damai dengan menghasilkan kesepakatan pemerintah
akan membubarkan usaha Galian C ilegal yang beroperasi di pinggiran kota, namun
janji itu tak ditunaikan pemerintah dalam tempo waktu yang telah ditetapkan
bersama, hingga ribuan massa kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor
Gubernur.
Anton yang menjadi otak dari gerakan
ini bersuara paling lantang di depan, kemarahannya pada pemerintah dan para
penguasa tak pernah padam, bagi Anton, pejabat itu tetaplah sekelompok
manusia-manusia dungu yang mementingkan perut sendiri.
Suasana aksi semakin tidak kondusif,
pihak demonstran memaksa untuk masuk dan menemui langsung Gubernur untuk
dimintai pertanggung jawaban. Usaha mereka sudah dihadang oleh kepolisian yang
jumlahnya makin banyak. Lalu tepat setelah sebuah suara ‘serbuuuu!’ memekakkan
telinga, bentrokan tak bisa dihindari lagi, demonstran yang semakin beringas
memaksa pihak kepolisian menembakkan gas air mata dan water canon yang membuat pendemo kocar-kacir, tak lama setelahnya
beberapa demonstran yang dianggap berbahaya diamankan Polisi, Anton tentu saja
salah satunya.
***
Setelah bangun dari tidur yang tidak
lelap, Anton membuka mata dengan susah payah. Dari kejauhan samar-samar
pendengarannya menangkap derap sepatu lars yang menuju ke tempatnya. Tak lama
setelahnya sesosok lelaki berseragam sudah berdiri di sebelahnya.
“Bertahun-tahun tidak tahu kabar, perjumpaan
pertama kita malah di penjara.”
Anton bagai disambar petir mendengar
suara itu, ia butuh beberapa detik untuk kembali sadar, suara itu segera
menyeretnya ke masa lalu, tanpa melihat dengan jelas sosok wajahnya pun, Anton
sudah merasa yakin bahwa pemilik suara itu adalah orang yang dulu begitu ia
akrabi, seorang kawan kos yang menyenangkan lalu takdir kehidupan membawa
keduanya menjadi pribadi yang berseberangan. Betapapun Anton memendam kemaraham
kepada Sidik, ia juga tidak bisa membohongi betapa ia merindukan suara itu
selama tahun-tahun ini.
“Dulu ketika kau pertama kali datang ke
kos, aku langsung teringat adik lelakiku yang meninggal tujuh tahun lalu. Gaya
bicara, dan sifat pendiamnya begitu mirip denganmu, mungkin itulah alasan utama
kenapa kita cepat akrab, kau mengingatkan aku langsung kepada adik lelakiku.”
Anton berucap lirih.
Sidik tak membalas ucapan Anton. Anton
pun seperti tidak membutuhkan dialog, dia hanya ingin didengar meskipun apa
yang mereka bincangkan tidak ada hubungannya dengan kondisi yang mereka alami
saat ini, kedua teman lama itu lebih bernostalgia.
“Lalu setelah kau masuk anggota BEM dan
bergabung dengan orang yang sok paham politik itu seolah-olah permasalahan
bangsa ini bisa kalian selesaikan, kau berubah jadi musang berbulu domba, aku
tak lagi melihat sosok adik lelakiku dalam wujudmu,” sambung Anton.
Hening agak lama.
“Setelah sekian tahun berlalu dan sosok
itu tak pernah kembali, aku tetap merindukannya.” Ada yang berlinang di mata
Anton sesudahnya.
“Kini lihatlah, dunia kita sungguh
berbeda. Kau berada di tempat penuh gemerlapan. Sedangkan aku tetap dengan
duniaku yang di penuhi demonstrasi.”
Sidik merasa kalimat itu begitu menohok
baginya, ia menatap Anton yang kini tertunduk lesu sambil mengusir air mata
yang turun ke pipinya. “Andai kau tahu, semenjak insiden di kos dulu, aku
selalu berusaha untuk menjadi penegak hukum yang jujur, seperti yang dulu kau
harapkan. Aku tidak mau jadi pejabat yang brengsek!”
“Aku akan ikut memperjuangkan apa yang
kalian kehendaki itu, nanti siang aku akan mengajak kau bertemu langsung dengan
Gubernur.” Sidik seakan membuktikan kebenaran kata-katanya.
Mendengar pengharapan itu seketika ada cahaya
yang terbit di mata Anton. Saat itulah ia merangkul Sidik, ada yang luruh di
hatinya, kerinduan bertahun-tahun yang dipendam, tumpah ruah di penjara itu.
Keduanya terisak namun merasa menemukan kembali kenyamanan yang dicari selama bertahun-tahun.
(*)
Tanjung 29 Desember 2019
Romi
Afriadi, dilahirkan
di Desa Tanjung, Kampar, Riau 26 November 1991. Menamatkan studi di Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Mulai suka membaca ketika kuliah setelah
menyelesaikan sebuah novel di perpustakaan kampus, semenjak itu dia ketagihan
membaca novel dan karya sastra lainnya. Selain
ingin terus menulis dan menerbitkan buku-buku bagus, ia juga menyimpan sebuah
cita-cita kecil yang kelak ingin diwujudkan yakni mempunyai lapangan sepakbola
sendiri. Saat
ini, penulis tinggal di Desa Tanjung dengan mengabdi di sebuah sekolah Madrasah
Tsanawiyah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain
sepakbola di sebuah SSB, sambil sesekali tetap menulis apa saja yang menurutnya
penting. Bisa dihubungi lewat email: romiafriadi37@gmail.com atau akun Facebook: Romie Afriadhy.
Cerpen: Penjara
Reviewed by takanta
on
Januari 26, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar