Cerpen: Perempuan Penjaga Senja
Oleh: Alifa Faradis
"Cinta itu tak
bisa dipaksakan,"
katamu sore itu, saat
senja menggurat warna jingga di langit seperti sebuah lukisan abstrak pada
kanvas biru di ufuk barat.
Saat itu kita tengah
duduk di rangghun; sebuah tempat bernaung untuk melepas lelah mirip
gazebo yang terbuat dari lincak beratap daun-daun kelapa kering di pinggir
pantai. Semilir angin yang berembus menyibak rambutmu yang hitam kemerahan
karena seringnya terpapar sinar matahari, membuatnya berantakan.
"Lalu, apa rencanamu?" tanyaku kemudian. Mengisi kesunyian yang sempat hadir di antara kita.
Kau tak langsung
menjawab pertanyaanku. Pandanganmu lurus menghadap ombak yang sedang
bermain-main bersama batu karang. Buihnya mengulum apa saja yang berada di
bibir pantai; dedaunan kering, sampah plastik, hingga kotoran sapi yang terikut
arus air hujan.
"Sepertinya, aku akan pergi ke negeri seberang untuk mencari
cinta yang tak bisa dipaksakan itu," jawabmu kemudian setelah hening yang mengambang.
"Kenapa harus
sejauh itu?" tanyaku
keberatan. Namun
sama sekali tak ada jawaban meskipun aku berharap kau akan membuka suara dan
mengusir tanya yang ada.
"Baiklah, jika maumu begitu. Kuharap kau dapat menemukannya
meski harus pergi jauh meninggalkanku."
"Aku hanya
sebentar dan akan lekas kembali saat aku telah menemukannya," katamu lagi seakan menangkap
ketidakikhlasanku.
"Baiklah, aku
akan menunggu,"
ujarku menutup pembicaraan sore kita.
Esok hari, setelah percakapan itu, kau datang padaku untuk
pamit menuju negeri seberang yang pernah kau katakan sebelumnya. Aku melepas
kepergianmu, mengikuti setiap pergerakanmu dengan mataku saat kau menarik
jangkar di hilir muara agar bisa memberangkatkan sampan yang akan kau gunakan
menuju negeri seberang. Muara itu adalah tempat para nelayan melabuhkan sampan
mereka, berjajar rapi seperti parkiran mobil di basement sebuah hotel, yang sesekali bergerak mengikuti riak air yang
mengalir. Perlahan mesin sampanmu berbunyi nyaring seperti orang batuk sambil
terkentut-kentut menandakan ia siap pergi ke mana pun si pemilik membawanya.
Setelah itu kau melambai padaku sembari mengucap salam perpisahan dengan
lantang berbaur dengan kesiur angin yang menerpa layar yang mulai kau
bentangkan.
Aku masih berdiri
menatapmu hingga kau dan sampanmu itu hilang di ufuk timur dan tertelan
semburat jingga yang mulai memudar.
Hari-hari
berlalu sejak kepergianmu. Tiap subuh dan senja aku selalu berdiri di tempat
yang sama sambil menatap lautan sejauh mata memandang. Berharap kau segera muncul di antara jingga yang
menggiring matahari
yang mulai terbenam dan kemudian beranjak pergi saat matahari mulai masuk ke peraduan, lantas tenggelam di
lautan yang kian menghitam.
"Setiap sore dia
selalu berdiri di sana," sayup-sayup kudengar beberapa orang berbisik-bisik di
belakangku.
"Ya, dia selalu
ada di sana sampai hari benar-benar gulita. Apakah ia tengah menunggu
sesuatu?"
"Jangan-jangan
ia menunggu makhluk laut yang mengerikan untuk meminta pesugihan."
"Hus, ngawur!
Tapi apa dia manusia, kan? Atau jangan-jangan dia makhluk jadi-jadian?"
"Kau ini lebih
ngawur lagi. Sudahlah, ayo kita pergi!"
Langkah-langkah lebar
mereka masih sempat kudengar bersama kalimat-kalimat yang semakin melebar ke mana-mana.
Ya, tentu saja perihal diriku. Aku mengedikkan bahu acuh, mengabaikan
bisik-bisik mereka yang berdengung bak lebah madu, toh yang mereka katakan
bukanlah kebenaran yang sesungguhnya.
Terkadang manusia
memang lucu, ia akan mengaitkan sesuatu pada hal-hal buruk sebelum benar-benar
mau menggalinya terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran yang hakiki.
Mulut-mulut manis mereka bak racun yang menggiurkan. Sedap namun mematikan.
***
Sepuluh purnama
berlalu. Tiga ratus lebih hari-hari aku menunggu bersama gunjingan-gunjingan
tetangga yang makin riuh. Entah kenapa aku menjelma menjadi seorang selebriti
dadakan yang tengah hangat diperbincangkan di mana-mana; pasar-pasar, emperan
rumah, arisan-arisan sampai sekolah-sekolah paud tempat ibu-ibu berkumpul
menjaga anaknya dengan sebuah headline yang terpampang besar-besar dalam
perbincangan mereka: perempuan yang setia pada senja atau kata-kata lain
seperti perempuan yang meratapi duka karena kepergian kekasihnya yang hilang
di tengah lautan saat senja. Dalam pikiranku terbesit sebuah tanya, apakah
aku semenyedihkan itu? Lalu mengeluh, menyalahkan kau di sana yang masih
abu-abu.
Berminggu-minggu
kembali berlalu. Tepat saat jingga mulai menampakan diri, kau benar-benar
kembali. Suara mesin sampanmu yang seperti orang batuk sambil terkentut-kentut
itu sangat aku ingat. Benar saja, kau menyibak ombak yang damai menuju muara
tempat kau menyimpan sampanmu itu. Membuang jangkar lalu mengikat tali tampar
ke sebuah kayu di daratan agar sampanmu tak kehilangan keseimbangan. Setelah
itu kau berjalan menghampiriku yang sedang berdiri menunggumu datang.
"Lama sekali kau
kembali,"
kataku merengut sebal. "Kau tahu, dirimu telah menjadikanku perempuan
penjaga senja!"
"Bagaimana
bisa?"
"Karena saat
matahari melukis jingga aku selalu berdiri di sini, hanya untuk menunggumu," tandasku.
Kau masih sama, terdiam. Membuatku berkali-kali lipat sebal.
"Apa kau sudah
menemukannya?" tanyaku saat kita telah duduk berdua di rangghun
yang pernah kita tempati sepuluh purnama yang lalu.
Kau masih terdiam
sebelum menjawab pertanyaanku, sama seperti dulu. Matamu masih terfokus pada
ombak yang menggulung tenang meninggalkan bekas-bekas buih di pasir yang hitam.
Bedanya, diammu ini lebih lama dari sebelumnya, yang membuat kekosongan di antara
kita menjadi kian melebar. Satu hal yang baru kusadari, tatapanmu tergurat
letih. Perpaduan kecewa dan sesal, dan sedikit keraguan. Entahlah.
Sesaat kemudian
perhatianmu beralih ke arah muara di sisi utara.
"Lihatlah muara
itu," katamu sambil mengacungkan tanganmu dan
menunjuk aliran muara tempat sampan-sampan berjajar. Airnya berwarna cokelat
karena bercampur dengan air bekas olahan pabrik seafood yang dibuang
langsung ke sungai yang berada di belakang pabrik tersebut sehingga air bekas
olahan pabrik itu mengalir beriringan menuju muara di dekat kampung kita dan
mengubah air yang seharusnya jernih menjadi keruh lalu membaur di antara air
laut.
Aku mengikuti arah
telunjukmu, memandangi muara yang sudah bosan kulihat sejak kepergianmu.
"Aliran sungai
manapun pada akhirnya akan bermuara pada lautan yang sama, bukan? Seperti
cinta, dicari ke manapun pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yang sama,"
lanjutmu setelah jeda beberapa waktu. Aku yang tak mengerti maksud perkataanmu
hanya mengernyit penasaran.
"Lalu?"
Otakku mencoba mencari celah makna dari setiap untaian kata yang baru saja kau
lontarkan. Sedang dirimu hanya menatap mataku begitu dalam sehingga membuatku
merasa seperti ada sinar laser yang keluar dari matamu lalu menghujam telak
netraku. Wajahmu makin mendekat kemudian dapat kurasakan manis dari sapuan
lembut di bibirku.
"Kau adalah
cinta yang tak dipaksakan itu," bisikmu nyaris tanpa suara.
Di kejauhan sana,
senja mulai memudar. Dan di kejauhan sana senja perlahan-lahan menghitam,
tergantikan gelap yang kian menguar. (*)
Alifa Faradis, gadis Situbondo yang menyukai anime Boruto dan
masih berstatus jomblo.
Cerpen: Perempuan Penjaga Senja
Reviewed by takanta
on
Januari 05, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar