Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu
Oleh: M Firdaus Rahmatullah
Seharusnya
malam itu aku pulang terlebih dahulu
sebelum Marni berhasil meloloskan diri dari kamar tidur yang kau kunci dari
luar. Jika bukan lantaran menuruti
kegembiraanku yang bergas,
tentu kau tak perlu terjun dari lantai tiga kontrakan.
Marni memang
tak bersalah. Tentu saja. Usianya yang menginjak lima tahun masih belum mampu
mencerna pikiran dan keinginan orang dewasa macam kita. Kau yang terlalu posesif
seakan mengungkung keinginannya untuk belajar apa pun. Sementara aku hanyalah penulis
kacangan yang ingin dianggap penulis meski tiada sekalipun tulisanku yang dimuat media.
Anggap saja
aku ceroboh. Dulu, aku menikahimu, dengan keyakinan, bahwa aku akan
membahagiakanmu dengan caraku sendiri. Terlebih ketika Marni lahir, aku kian
gusar menumpuk beberapa kebahagiaan palsu padamu. Kecerobohan itu kian
menggunung sebab aku yang terlampau idealis—barangkali “sok” bahasa lebih
tepatnya—sehingga tak mampu meyakinkanmu bahwa aku
benar-benar menikahimu dan akan membahagiakanmu dengan caraku.
Janjiku
padamu seperti kabut dalam gelap dan menggumpal di langit malam. Tiada sebersit
cahaya bintang yang datang.
Tentu saja
anggapanmu dulu benar perihal minuman hitam itu mengandung racun. Racun kafein
yang menenggelamkanku berlama-lama dengannya ketimbang menghabiskan waktu bersamamu
dan Marni. Ya. Lagi-lagi harus Marni yang jadi korban keegoisanku.
Belum lama
ini kau mengungkit-ungkitnya sebagaimana kisah seorang kawan yang mesti
menyerahkan nyawanya pada racun bernama sianida. Barangkali kau ingin aku mati
bersama kopi yang dicampur zat kimia itu. Mudah saja kau mengaduknya ke dalam
kopi yang kauhidangkan saban pagi sebelum kau berangkat ke kantor, sebab pada
jam segitu aku masih terlelap usai semalaman menulis beberapa kisah yang tak
kunjung usai kutulis akhir ceritanya. Aku terlalu terbelenggu dengan ending yang
tertutup. Menurutmu haruskah sebuah cerita berakhir terbuka?
“Kau harus mengubah gaya menulismu.
Menulislah sesuai keinginan pasar saat ini.” Begitulah saran Mufid suatu hari
ketika aku mengunjunginya di kantor PWI. Selain berdiskusi soal media baru yang
baru dirintisnya, aku juga meminjam beberapa ratus ribu rupiah dengan dalih
membeli susu Marni.
“Jika cerpenku dimuat di koran, baru
kukembalikan.”
Aku selalu meyakinkannya, dan ia menurut.
Namun perkara
menepati janji tidaklah semudah membuat janji. Bahkan berbulan-
bulan aku tak
kunjung bisa mengembalikan uang itu. Cerpen-cerpenku tidak pernah dimuat di koran Minggu ataupun media daring.
Mungkin benar, cerpenku terlampau idealis, tak menuruti keinginan pasar. Atau, mungkin, aku yang
salah kirim ke alamat email redakturnya.
Pernah suatu
ketika kumarahi seorang redaktur koran X lewat surel lantaran cerpenku dimuat
di koran yang diasuhnya dan aku tak mendapatkan sepeser pun honor. Aku hanya
minta hakku setelah buah tulisanku dimuatnya tanpa memberitahukan perihal
pemuatan. Aku kian gusar sebab hampir dua bulan tak kunjung ditanggapi. Maka,
sejak saat itu, cerpen-cerpenku tak pernah lagi dimuat di koran itu.
Barangkali, si Redaktur beranggapan bahwa aku penulis materialistis dan
pemarah.
Untung Mufid
pengertian dan tak pernah menagih. Sejak kuliah, ia selalu bisa kuandalkan dan
tak luput sering membantu persoalan ekonomiku. Selain mengelola media daring citizen
journalist-nya, ia juga wartawan tajir yang sering memperoleh fee
dari pemerintah daerah. Ia kawanku yang mujur.
“Uang diam, Bung. Banyak kebusukan
di pemda,” jawabnya, ketika kutanya dari mana uang yang
selalu dipinjamkannya itu. Termasuk rokok yang kuisap saban hari, juga
pemberiannya.
Tapi ini soal
lain.
Kukatakan
padanya jika istriku mulai mengeluh lantaran susu Marni kian bertambah dan
harganya pun makin mahal. Beberapa kali ia meminta pisah jika aku tak segera
punya penghasilan. Bersama Marni, ia mengancam akan pulang ke rumah orang tuanya. Aku jadi
gelap pikiran dan sering melarikan diri ke warung-warung kopi. Ada yang kubayar
dengan beberapa cerpenku yang gagal dimuat namun tak sedikit yang kasbon. Aku
telah terperosok ke dalam keegoisanku sendiri. Bahkan terlampau tak peduli.
Puncaknya
adalah malam itu. Diiringi deru lalu-lalang bus dan truk dan kendaraan pribadi
lain, rel kereta api bergetar digesek roda besi hingga berderit, sebenarnya aku
hendak mengabarkanmu bahwa aku telah mendapat honor dari salah satu koran
nasional. Aku mampir sebentar ke kahwaji di seberang stasiun, sebelum pulang.
Aku juga hendak membeli beberapa bungkus nasi dan lauk sebagai tanda syukurku
bahwa itu kali pertama aku menafkahimu dan Marni. Oh ya, sepulang dari
warung kopi aku juga akan membelikan Marni beberapa kotak susu jika saja kau
tak buru-buru terjun dari lantai tiga kontrakan dan Marni meloloskan diri dari
kamar tidur yang kau kunci dari luar. (*)
M
Firdaus Rahmatullah, lahir di
Jombang. Menggemari
sastra dan kopi. Buku kumcernya Cerita-cerita
yang Patut Kau Percaya (2019). Kini mengabdi di SMAN 1 Panarukan. Twitter: @mufirra_
Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu
Reviewed by takanta
on
Januari 12, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar