Oleh:
Agus Hiplunudin
Tatapan pasang mata sendunya dipancangkan ke luar. Di
balik tirai kamar, ia memperhatikan sekitaran halaman rumah, seolah ia
berkeinginan untuk menerjang hujan yang menderas menyerupai paku-paku air yang
jatuh dari langit yakni hujan yang membasahi setiap sudut kota itu. Hujan yang
dapat menghapus semua bekas jejak langkah telapak kaki manusia, saat mereka
berjalan pulang, menuju rumahnya masing-masing demi sekadar mereguk kehangatan
keluarga di sana.
Gadis berkerudung—Melina menghela napas panjang, terkesan
berat. Namun, pandangan pasang matanya, masih belum beralih pada hujan-hujan
itu, seolah di balik hujan tersebut ada sesosok yang diperhatikannya. Betapa
kenangan itu, masih mengharu-biru dirinya, ia belum pula mampu melupakan
kekasihnya yang telah sekian lama meninggalkannya. Melina merasa, dirinya tak
mungkin lagi bersua dengannya, entahlah. Yang jelas, Melina percaya dengan
perasaannya itu. Sebuah perasaan yang diyakininya sebagai suara halus dari
nuraninya, sebuah suara yang jujur yang mungkin berasal dari langit, yang tak
mungkin membohonginya.
Dan lagi, Melina menghela napas panjang. Kali ini nampak
lebih sesak dan berat, ini merupakan pantulan dari dasar hatinya yang menyimpan
kenang. Melina menanggungkan rindu tiada berkesudahan. Kerinduan itu yang
mungkin kini telah berubah menjadi kepedihan yang menganga lagi merongga. Masih
terbayang jelas dalam benaknya; waktu itu, ketika dirinya berada di lereng
gunung Merbabu bersama Alkindi—lelaki yang tengah dan telah menjadi kekasihnya,
ketika itu kebetulan pada bulan April, di mana bunga Keabadian atau Edilweis
mahkotanya yang putih jernih sedang meranum bermekaran, dan terkena hujan
deras, sedederas hujan pada siang itu. Rupanya, itulah yang membuat Melina tak
menghentikan pandangan matanya pada hujan yang lagi menghujam.
Siang terus melanggang, lambat laun hujan deras pun
tinggal menyisakan rintik hujan yang melayang ringan menyerupai helayan benang-benang
yang jatuh dari langit. Siang menjelang sore, rintik hujan telah tiada,
digantikan udara segar, serta menyisakan lengkung indah pelangi di langit biru.
Hari itu hari Minggu, sebuah waktu yang disepakati
bersama sebagai hari libur. Pula dengan Melina, saban hari Minggu ia berlibur
dari pekerjaannya sebagai admin sevice
pada salah satu kantor jasa pengiriman surat-menyurat di kotanya, Jogjakarta.
Dan, karena hujan telah reda, untuk mengisi hari liburnya dengan sedikit
kebahagiaan—tampak Melina keluar dari kamarnya, menyalakan sepeda motornya,
menjemput Rani sahabatnya di kediamannya, dan mereka menuju Malioboro bersama,
sekadar untuk menikmati keramahan ubun-ubun kota Jogja tersebut, yang
senantiasa menyajikan aneka kuliner, pernak-pernik aksesoris, serta saban hari
terutama pada hari libur selalu dipadati oleh para pelancong dari seantero negeri.
Sehingga, bagi Melina keramaian Marioboro dapat menghibur gundah hatinya, dan
dapat mengenyahkan segala penat yang bersarang dalam kepalanya—walau hanya
sejenak.
Hari Senin pagi, pukul delapan kurang lima belas menit,
Melina telah berada di kantor tempatnya bekerja. Sepagi itu dirinya dan rekan
kerjanya yang lain, telah disibukkan dengan persiapan kerja. Tepat pukul
delapan—jam kerja baru masuk, dan semuanya sibuk dengan pekerjaannya
masing-masing.
Pukul sembilan, tampak seorang pemuda bertubuh tinggi
namun tipis, serta berambut ikal panjang, menuju loket pelayanan pengiriman
surat yang sedang dijaga oleh Melina. Untuk sejenak, Melina menatap penuh fokus
pada lelaki yang hendak dilayani itu. Sungguh, Melina tak silap, pria tersebut
sangat mirip dengan kekasihnya, namun Melina segera tersadar karena Alkindi tak
memiliki tahi lalat kecil yang menempel di dagu sebelah kirinya, sedangkan pria
itu memilikinya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” sapa Melina dengan
ramah.
“Aku hendak mengirim surat,” kata lelaki itu, sambil
menyodorkan sebuah amplop yang telah berperangko. Melina kembali tertegun,
sebab gambar gadis dalam perangko tersebut menyerupai dirinya, namun Melina tak
begitu yakin bahwa gambar itu, adalah gambar dirinya.
Setelah mencatat, nama pengirim, nama penerima, dan
tempat tujuan surat dalam komputer, Melina memprint-outnya, dan print-out itu
ia berikan pada lelaki tersebut sebagai bukti transaksi jasa pengiriman.
“Terima kasih, siapa namamu?”
“Oya, sama-sama. Namaku Melina.”
Setelah membayar, lelaki yang bernama Daus tersebut,
lekas meninggalkan loket, keluar, dan bergegas pergi dengan mengendarai motor
Vespa.
***
Saban hari kerja, pada setiap pagi, Daus selalu datang ke
loket yang ditunggu Melina, tujuannya tak lain adalah berkirim surat. Dan,
saban kali Melina menatap wajah Daus, Melina selalu merasa—bahwa dirinya pernah
menatap wajah itu. Hingga pada akhirnya di antara Melina dan Daus terjalin
sebuah keakraban. Karena telah akrab sebagai tanda terima kasih—dari seorang
pelanggan pada penyedia jasa, Daus kerap membawakan sebuah es krim vanila
teruntuk Melina. Melina pun tak mengerti kenapa Daus memilih es krim vanila? Es
krim vanila itu tak lain merupakan es krim favoritnya. “Ah, barangkali hanya
sebuah kebetulan,” gumam hati Melina. Dan, tiap kali Melina mengemut es krim
yang diberikan Daus padanya, Melina merasa; bahwa dirinya pernah diperlakukan
seperti itu oleh seseorang.
Hingga pada suatu pagi, ketika suasana dalam kantor masih
sepi, Melina bertanya pada pemuda pengirim surat itu.
“Us, kok kamu berkirim surat pada kekasihmu tiap hari?”
“Begitulah.”
“Tidakah lebih baik kamu dan dia bertemu saja?”
“Tak mungkin!”
“Kok bisa? Memangnya kenapa?”
“Sulit untuk aku jelaskan.”
“Sesulit itukah? Hingga kau tak dapat merumuskan bahasa
yang singkat dan padat, biar aku tahu.”
“Ia, sangat sulit.”
Melina pun tak hendak memaksa Daus untuk menceritakan
perihal surat-surat itu, surat yang konon—kata Daus dikirimkannya untuk Ely
yang tak lain merupakan perempuan yang menjadi kekasihnya.
Setelah menyerahkan surat untuk dikirimkan kepada
kekasihnya melewati Melina, dan menerima bukti pengirimannya serta membayarnya,
Daus pun keluar kantor, dan bergegas pergi, seperti biasa dengan mengendarai motor
Vespanya.
***
Tak biasanya, pagi itu Daus tak datang ke kantor tempat
Melina bekerja. Melina merasa heran pada dirinya sendiri, ketidakdatangan Daus
membuat dirinya dilanda galau dan gelisah. Sungguh, perasaan galau dan geliah
tersebut dirasakan oleh Melina—bahwa hal tersebut pernah dirasakan sebelumnya.
Menjelang pukul enam belas sore, sebuah Vespa masuk ke
pelataran kantor, Melina tak sangsi lagi bahwa suara Vespa yang khas itu, suara
Vespa miliknya Daus. Sungguh, Melina merasa bahagia dengan kedatangan Daus, dan
kebahagiaan semacam itu, Melina merasa bahwa dirinya pernah mengalami
sebelumnya.
“Mana surat yang akan kamu kirim?” tanya Melina setelah
Daus berada tepat di hadapannya.
“Kali ini aku datang, bukan untuk berkirim surat. Namun,
hanya untuk bertemu denganmu.”
“Maksudmu?”
“Apakah kamu ada waktu? Sebentar lagi jam kerja habis,
sebelum kamu pulang, bersediakah kamu sejenak berbincang denganku?”
“Bisa kok, bisa!” Melina agak gagap, karena pikirannya
dilanda keheranan.
Tak lama berselang, jam telah menunjukkan pukul enam
belas lebih sedikit—itu berarti jam kerja telah habis. Melina tidak lantas
pulang. Namun, menemui Daus yang menunggunya di luar, tepatnya di sudut pojokan
kantor yang teduh, yang memungkinkan mereka akan terlindung dari derasnya hujan
yang kiranya sebentar lagi akan turun.
“Jika ada sesuatu yang harus kamu bicarakan denganku,
bicarakanlah!” kata Melina dan menatap tajam teman bicaranya.
Daus tak lantas bicara. Namun, ia meraba tahi lalat yang
menempel di dagu sebelah kirinya, dan tahi lalat itu dicopotnya—ternyata tahi
lalat tersebut bukanlah tahi lalat sungguhan, melainkan tahi lalat tiruan.
“Ingatkah kamu padaku?”
“Alkindi, kamukah itu?”
“Iya Mel. Kamu tak salah!”
“Ke manakah kamu selama ini?” tanya Melina dan air
matanya spontan jatuh dari kelopak matanya.
Awan yang menggelayuti langit telah berubah manjadi hujan
yang merintik menimbulkan suara lirih beraroma kesedihan.
“Maafkan aku Mel.”
“Kenapa aku harus memaafkanmu?”
“Maafkan cintaku.”
“Ada apa dengan cintamu?”
“Aku tak dapat hidup bersamamu.”
“Kenapa?”
“Aku telah menikah dengan perempuan lain.”
“Setega itukah kamu padaku?”
“Pernikahanku dengannya, karena permintaan ibuku, Ibu
bilang padaku; jika aku menikah dengan perempuan lain selain dirinya, maka
kebahagiaan ibuku itu akan pupus dari jiwanya. Mengertilah Mel. Anak mana yang akan
membiarkan sisa-sisa hidup ibu kandungnya sendiri dibanjiri air mata derita?”
Melina tak mampu menimpali perkataan dari Daus alias
Alkindi. Melina menangis, tangisannya menyayat hati siapa saja yang kebetulan
mendengarnya, barangkali langit pun mendengar akan derita jiwa Melina, sehingga
langit menurunkan air matanya dengan cara mencurahkan hujan yang lumayan
lebatnya.
“Surat-surat itu, yang kataku untuk kekasihku, semuanya
kosong tak berisi sepatah tulisan pun. Surat itu kualamatkan pada alamat rumah
temanku sendiri yang telah kuhubungi sebelumnya. Mel, dengan mengirim
surat-surat kosong itu, maka atas karenannya; untuk sejenak aku dapat melihat
wajahmu, dengan sekilas aku dapat melihat gurat senyummu, dengan sekejap aku
dapat melihat gayamu. Dan itu, sungguh membahagiakan bagiku. Jujur—tak ada
kebahagiaan yang paling nyata dan hakiki selain ketika diriku bersamamu, atau
ketika diriku hanya sekadar dapat menatapmu.”
Setelah bicara demikian, Alkindi meninggalkan Melina yang
sedang menangis di sudut luar kantor yang sepi. Alkindi menyelah Vespanya, dan
pergi menantang hujan. Sedangkan air matanya yang mengalir tersamarkan oleh
derasnya hujan tersebut.
***
Bagi Melina; selain sampah, bahwa kenangan itu merupakan
sesuatu yang tak akan habis dipungut dan dibuang. Betapa kenangan itu meruap
keluar dari embun, meruap dari dinding rumah, dan meruap di balik hujan.
Kala hujan datang bertandang, Melina keluar dari
rumahnya, membiarkan tubuhnya diguyur air hujan. Dan, yang terpenting bagi
Melina—biar air matanya yang mengalir itu tersamarkan bercampur baur dengan
derasnya air hujan. Dengan demikian, tak seorang pun yang dapat mengira, bahwa
dirinya sedang menangis, menanggungkan derita. (*)
Yogyakarta, 29 Maret 2019-Januari 2020
Agus Hiplunudin, lahir
di Lebak-Banten, adalah
lulusan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan
ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah
menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai
staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung dan
Sistem Politik Indonesia di STIA-Banten. Adapun karya sastra yang telah
diterbitkan yakni:
1. Kumpulan Cerpen Edelweis yang
Merindu 2019, Spektrum Nusantara
2. Kumpulan Cerpen Lelaki Paruh
Baya yang Menikah dengan Maut 2019, Spektrum Nusantara
3. Novel Dendam yang Indah 2018,
Jejak Publisher
4. Kumpulan Puisi Nya 2019,
Spektrum Nusantara
5. Novel Orang Terbuang 2019,
Spektrum Nusantara
6. Novel Derita 2019, Spektrum
Nusantara
7. Novel Cincin Perak 2019,
Spektrum Nusantara
8. Novel Awan 2019, Spektrum
Nusantara.
Cerpen: Deja Vu
Reviewed by takanta
on
Februari 23, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar