Cerpen: Ginjal Pembawa Kesedihan dan Penyesalan
Oleh:
Harishul Mu’minin*
“Aku di mana, Bu?”
“Di Rumah Sakit, May.”
Setelah dua hari menjalani koma, Maya
akhirnya siuman. Ia terkena luka berat di bagian pinggang dan kepalanya. Bu
Lina syok saat mendengar kabar bahwa Maya masuk ke rumah sakit akibat
kecelakaan tunggal. Adalah Kapolres setempat yang mengabarkan kejadian tersebut.
Suara engsel pintu berderit, pintu perlahan
terbuka, dokter yang menangani Maya masuk. Ia menyuruh Bu Lina menemuinya di
ruangan atas. Ada hal penting yang mesti diuatarakan menyangkut keadaan Maya.
“Ibu tinggal dulu, ya.”
Maya hanya mengagguk dan ibunya keluar
bersamaan dengan dokter. Maya merasakan pusing yang hebat, juga sakit di
pinggangnya. Ia tak bisa mengingat betul kejadian yang menimpa dirinya malam
itu, hingga menyebabkan ia masuk rumah sakit. Ia hanya ingat—samar-samar—selepas pulang dari klub malam, ia menegemudikan sedan
dalam keadaan mabuk dengan kecepatan tinggi. Setelah itu, ia tak mengingat
apa-apa lagi.
Dokter mempersilakan Bu Lina duduk. Kemudian ia berkata kalau Maya mengalami masalah pada organ tubuhnya. Ginjalnya rusak akibat benturan cukup keras dan pengaruh minuman beralkohol yang sering dikonsumsi.
“Apa!?” Bu Lina terkejut dengan penuturan
dokter. Ia tak menyangka kalau Maya sering mengkonsumsi minuman tersebut. Dari
raut wajahnya, Bu Lina tampak sedih.
Dokter menyuruh Bu Lina agar cepat-cepat
menemukan pendonor ginjal buat Maya. Kalau tidak, takutnya terjadi hal-hal buruk
menimpa Maya di kemudian
hari. Tapi Bu Lina bingung harus mencari pendonor
ginjal ke mana. Nyatanya, sekarang sulit untuk mendapatkan orang yang benar-benar
tulus dan ikhlas mendonorkan ginjalnya.
“Yang penting Ibu berusaha dulu, saya
doakan semoga Ibu menemukan seorang pendonor.”
Kemudian dokter tersebut memberi hasil
lab keadaan ginjal Maya yang rusak. Namun hasil lab itu tak langsung diperlihatkan
kepada Maya, takut mengganggu kondisinya yang baru saja siuman. Saat ini dokter menyarankan
kepada Bu Lina agar Maya tidak mengetahui hal-hal yang membuat pikirannya
terganggu.
Maya terus menahan rasa sakit di
pinggangnya. Sesekali ia mendesah, memegangi kepalanya yang dibalut dengan
perban, hingga membuat cairan bening membanjiri pipinya.
***
Segala cara dan upaya dilakukan Bu Lina
agar secepatnya mendapatkan pendonor. Tapi sampai saat ini ia tak menemukan
satu pun orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya. Sementara di rumah sakit,
Maya terus mendesah menahan rasa sakit di pinggangnya.
Bu Lina khawatir bila tak segera
mendapatkan pendonor, akan berakibat fatal bagi anaknya. Ia berjanji akan
memberikan imbalan kepada siapa saja orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya. Dengan cara sepeti itu siapa tahu ada
seseorang yang bersedia.
Namun cara tersebut tak membuahkan
hasil. Bu Lina bingung harus menggunakan cara apa lagi agar mendapatkan
pendonor. Lalu
terbesit dalam benaknya untuk menggunakan cara yang lebih menarik perhatian, yakni: bila ada
seorang pendonor yang itu laki-laki akan dijadikan menantu, dan bila perempuan
akan dijadikan anak angkat.
Laki-laki mana yang tak mau terhadap
Maya, yang wajahnya cantik dengan lekuk pipi indah bila tersenyum, serta kulit
putih bak mutiara, dan tubuhnya yang semampai dengan rambut ikal, lebat, dan hitam?
Dan perempuan mana yang tak ingin
menjadi anak—walaupun cuma anak angkat—Bu Lina yang bergelimang harta dan makmur?
Selang satu hari, ada seorang lelaki
yang rela ginjalnya didonorkan kepada Maya. Sepertinya lelaki itu berasal dari kampung,
terlihat dari pakaiannya yang lusuh serta rambutnya acak-acakan. Ia bernama
Erwin, anak dari seorang nelayan.
Tapi Bu Lina tampak tidak suka dengan
pendonor yang bernama Erwin itu. Sebab, jika nantinya Maya sudah sembuh berkat ginjalnya sudah
diganti dengan ginjal Erwin, maka sudah pasti Erwin akan menjadi suami Maya
sekaligus menantunya. Bu Lina tidak ingin bila menantunya adalah lelaki
kampung. Apa kata teman-teman nanti bila mendengar hal itu, pasti mereka semua
menertawakanku, batin Bu Lina.
“Persetan dengan mereka semua! Lebih
baik aku
ditertawakan
daripada harus kehilangan Maya, anak semata wayangku,” gumamnya.
Erwin langsung diajak Bu Lina menuju
rumah sakit, tempat di mana Maya dirawat. Menggunakan mobil pribadinya, Bu Lina
berangkat satu mobil dengan Erwin. Mobil Bu Lina meluncur sangat cepat menuju rumah sakit.
Sesampainya di sana, Bu Lina menyerahkan Erwin ke dokter. Lantas ia
dibawa ke ruangan operasi. Sebelum melakukan operasi pengangkatan ginjal, terlebih
dahulu ginjal Erwin diperiksa—takut ada masalah. Setelah beberapa saat
diperiksa, tak ditemukan sama sekali masalah, ganjil Erwin bagus dan sehat.
Sebuah cairan penahan rasa nyeri
disuntikkan ke tubuh Erwin. Selang beberapa menit dokter menyuntiknya lagi,
hingga Erwin tertidur seperti orang pingsan akibat cairan itu. Dan saat itulah dokter memulai pembedahan,
mengangkat sebagian ginjal erwin untuk didonorkan kepada Maya.
Sementara di ruang lain, setiap kali
Maya menggerakkan badannya, pinggangnya akan terasa sakit. Tapi ia bisa sedikit
bernapas lega karena kepalanya yang semula pusing berangsur membaik. Tapi ia
masih tidak mengetahui penyebab pinggangnya yang terus-menerus sakit dan membuatnya
mengerang kesakitan.
Padahal sudah tiga hari semenjak ia di rumah sakit, pinggangnya masih belum
juga membaik.
Suara engsel pintu berderit, pintu perlahan terbuka, Bu
Lina masuk. Dari raut wajahnya ia tampak senang. Namun kesenangan itu ia tahan ketika
melihat Maya yang mendesah kesakitan.
“Pinggang Maya sakit, Bu.”
“Iya, May, Ibu tahu.”
“Ibu tak bertanya kepada dokter perihal
pinggang Maya yang terus menerus sakit?”
“Sudah, May.”
“Apa kata Dokter?”
Bu Lina diam. Ia tak mampu
berkata-kata. Mulutnya tertutup rapat seakan-akan terciprat lem. Saat ini ia
tak ingin memberitahu Maya dulu, perihal ginjalnya yang rusak—sesuai saran
dokter beberapa hari lalu.
“Kenapa diam, Bu?” Maya terus membujuk ibunya
agar membuka mulut.
Tetapi Bu Lina masih diam seribu
bahasa. Ia tak ingin memberitahu Maya, takut membuat pikirannya terganggu.
“Jawab, Bu! Beri tahu Maya, apa yang
dikatakan oleh Dokter?”
Desakan Maya membuat perasaan Bu Lina
tak tega. Dengan suara tergagap-gagap Bu Lina akhirnya membuka mulut dan memberitahu Maya
kalau sekarang ginjalnya rusak, dan harus diangkat dan diganti. Maya terkejut,
matanya berkaca-kaca,
hatinya sedih.
“Tapi kamu tidak perlu khawatir, May.
Ibu sudah menemukan seorang yang bersedia mendonorkan ginjalnya buat kamu.”
“Siapa pendonor itu, Bu?”
“Erwin.”
Lalu Bu Lina memberitahu Maya kalau
Erwin adalah calon suaminya. Karena selama tahap pencarian donor, Bu Lina
berjajnji akan menjadikannya sebagai menantu kalau pendonor itu lelaki, dan
kalau pendonor itu perempuan akan dijadikan anak angkat.
Maya tak setuju dengan hal tersebut. Ia
bersikeras
tak mau menikah dengan
lelaki yang belum ia kenal.
“Ini sudah menjadi jajnji Ibu, kamu
harus menikah dengan Erwin. Yang penting kamu harus menikah dulu dengannya,
masalah cinta tidak cinta itu urusan belakangan. Toh, kamu bisa minta talak
dikemudian hari. Sekarang kamu siap-siap untuk proses operasi pengangkatan
ginjalmu yang rusak, diganti dengan ginjal Erwin.”
Beberapa jam kemudian ginjal Erwin berhasil diangkat. Operasinya berjalan dengan lancar.
Sekarang giliran pengangkatan ginjal Maya yang rusak, operasi pun dilaksanakan. Bu Lina berharap semoga operasi Maya
berjalan dengan lancar.
***
Selang satu bulan, Maya diizinkan untuk pulang. Ia dinyatakan sembuh.
Dokter menganjurkan
agar Maya berhenti mengonsumsi
minuman-minuman beralkohol, karena kalau sering mengonsumsi minuman tersebut, akan berdampak buruk bagi kesehatan,
terutama ginjal. Maya hanya mengagguk dengan anjuran dokter sembari
tersenyum tawar.
Sepulangnya dari rumah sakit, Bu Lina membahas perkawinan Maya dengan
Erwin. Bu Lina mau agar secepatnya perkawinan tersebut dilangsungkan. Maya
hanya manut dengan perkataan ibunya itu. Meski ia tak kenal dengan Erwin, pun tidak mencintainya. Sebenarnya Maya
tak setuju dengan keputusan ibunya. Tapi apa boleh buat, ibunya terlanjur
berjanji dan Maya tak punya wewenang melanggar perintah itu.
Acara perkwinan dilaksanakan di rumah Bu Lina yang megah. Tampak tamu yang
hadir sedikit, karena acara tersebut dilaksanakan secara diam-diam. Setelah
ijab kabul selesai, Erwin dan Maya sah
menjadi suami-istri.
Erwin sangat senang, ia tak menyangka kalau lelaki kampung bisa mendapatkan istri
yang cantik dan mertua yang berkecukupan. Ia berharap semoga rumah tangganya
bahagia dan langgeng.
Tetapi, terkadang harapan tak selalu sesuai
dengan kenyataan.
Begitulah. Selama waktu terus bergerak,
selama ia berumah tangga dengan Maya, ia tak pernah mengenyam yang namanya
bahagia. Malah ia sering ditinggal di rumah sendirian. Seolah-olah Erwin tak
dianggap seperti seorang suami.
Ketika Erwin mendapati Maya sudah
pulang, ia sering dimarahi tanpa sebab. Dan bukan itu saja, Erwin sering
mencium bau alkohol dari mulut Maya saat membentaknya. Perilaku Maya tersebut
dihadapi dengan sabar oleh Erwin. Bagaimanapun juga, Maya adalah istrinya.
Erwin sadar, kalau ia sudah gagal menjadi suami yang baik. Buktinya ia gagal
membuat Maya terlepas dari perilaku buruknya.
Erwin sedih karena tidak bisa mengubah
perilaku buruk Maya itu. Dan lebih sedihnya lagi, Maya kedapatan jalan dengan
laki-laki lain tanpa sepengetahuannya. Ia sempat menyesal karena telah
mendonorkan ginjalnya untuk Maya.
Oh, betapa kesedihan akan selalu
menjadi payung yang menaungi hati Erwin. Dan baginya, betapa cinta adalah tentang
ketidakmungkinan. (*)
Kutub, Yogyakarta 2020
________________________
________________________
Harishul
Mu’minin, Kelahiran Sumenep 12 Mei 2001. Anak dari
seorang nelayan di Pulau garam. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Sekarang
bergiat di Lesehan Sastra Kutub
Yogyakarta.
*Sumber gambar: https://gaya.tempo.co/read/1286704/makanan-yang-boleh-dikonsumsi-dan-tidak-oleh-pasien-kanker-ginjal
Cerpen: Ginjal Pembawa Kesedihan dan Penyesalan
Reviewed by takanta
on
Februari 09, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar