Cerpen Mored: Percaya
Oleh: Iffah Nurul Hidayah*
Dedaunan
kering mulai berjatuhan, perlahan lalu mendarat tenang di atas permukaan tanah
yang digenangi air bekas tangisan langit semalam. Pesantren sedang ramai pagi
hari ini. Ada yang sedang menyantap hidangan ala ibu-ibu dapur, ada yang sedang
menyapu taman, ada juga yang duduk melamun tak jelas di ambang pintu kamar.
Tepat di
tengah aula pesantren, dihadapan para santri Ustadzah Sofia menggiring dia yang
menunduk tanpa ada tetesan air mata di pipinya. Segerombol insan bermahkota
hijab tengah menyaksikan dengan tegang namun, dia yang berada di hadapan
ustadzah tampak lebih tenang dibanding
mereka yang hanya menyaksikan. “PLAAAKKK,” sampai sudah sebuah tamparan
ustadzah di pipinya. Entah apalagi yang tengah dia perbuat. Tubuhnya lebih
tinggi dariku, badannya agak berisi kulitnya putih bersih hanya saja kurang
terawat, matanya sayu tapi tak sesayu hidupnya.
Aku terdiam
sejenak mendengar pembicaraan kawan-kawanku yang aku kira hanya isu belaka. Dia
yang berada di depan ustadzah tiga hari lalu itu katanya telah merampas sesuatu
milik adik kelas yang nampak masih polos. Terlepas dari pembicaraan tersebut
mereka malah berganti topik perihal pelanggarannya yang lain.
Aku memang
tahu bahkan lebih tahu dari mereka karena sejatinya aku teman sekelasnya dari
pertama kali aku memijakkan langkahku di pesantren ini. Aku malah pernah
menyaksikannya secara langsung dengan dua pasang kelopak mataku sendiri. Tidak
diceritakan. Saat itu tak ada guru yang mengisi pelajaran. Suasana kelas lebih
ramai dari biasanya. Adin malah hilang
tak tahu kemana. Dia dan dua teman dari kelas lain berhamburan keluar
macam ayam yang memberontak keluar dari kandangnya.
Aku tidak
sedang kabur dari kelas membosankan itu, aku hanya sedang ke kamar mandi. Tak
sengaja kelakuan mereka tertangkap olehku. Mereka sedang asyik bercengkrama
riang dengan tiga lelaki yang tak kukenali sedikitpun. Tangannya nampak
memberikan secarik kertas yang telah dilipat rapi. Sudah bisa kutebak, itu
surat. Yang jelas itu bukan surat resmi dari kementerian pendidikan, kertas itu
jelas surat cinta. Setelah kuintrogasi, dia hanya menyengir dan membungkam
mulutku seketika. Dia memohon agar tidak melaporkannya pada ustadzah. Aku
mengangguk pelan menjawab permintaannya. Siapa pula yang akan melaporkannya,
yang ada aku akan kena jurusnya yang mematikan. Aku berjanji untuk bungkam, tak
mengatakan pada siapapun yang dianggap berbahaya. Dia mengaku bukan dia orang yang
mengirimkannya. Dia hanya berperan menjadi perantara, mirip kantor pos saja.
Ya.. Adin
nama panggilannya, dia anak yang periang dan pandai. Hanya saja tabiatnya yang
sering melanggar peraturan pesantren, membuat ustadzah pusing. Sudah beberapa
kali kedua orang tuanya di panggil ke pesantren untuk menghadap ustadzah dan
pengasuh perihal kenakalannya. Sudah tak dapat dihitung jari, segala macam
ta’zir (hukuman) yang pesantren terapkan rasanya sudah ia coba semua, kecuali
dikeluarkan. Mulai dari membersihkan selokan yang panjangnya bermeter-meter,
membaca surat taubat dihadapan semua santri, di potong rambut secara acak
(petal), dijemur di lapangan, di scorshing, mengenakan kerudung pelanggaran
yang baunya luar biasa dapat membuat orang pingsan, selama satu bulanpun pernah
ia lakoni. Kadang aku penasaran apa yang membuatnya melanggar, dan apa pula
yang membuatnya bertahan di sini?
Aku tak
pernah meragukan Adin, aku cukup percaya akan kemampuannya. Tak pernah aku
kesal melihatnya yang terlalu sering melanggar. Meski aku tak begitu dekat
dengan Adin, hanya teman sekelas yang jarang bercakap-cakap dengannya. Namun,
sikapnya yang tiada takut kepada siapapun termasuk ustdzah terkadang membuatku
penasaran, dan diam-diam memperhatikannya.
Bel
berdering kencang beradu tak karuan dengan ramainya ocehan ratusan santri
nyaris membuat gendang telingaku pecah. Seisi kelasku lengkap, tak ada yang
terlambat. Semuanya rapi mengenakan seragam sekolah, terkecuali Adin yang
berdiri di depan kelas. Lagi-lagi kena hukuman karena terlambat. Tak lama dia
masuk berjalan gontai melaluiku juga yang lain. Dia memilih menduduki bangku
terbelakang. Dia sendiri, hanya dia yang menempati barisan yang dianggap
memalukan oleh teman kelas unggulanku itu.
Satu jam
pelajaran berlalu, habis dilahap waktu. Aku seakan terbelenggu, diam tak berani
menoleh ke kiri ke kanan. Selepas ustadzah killer itu pergi, nafasku bisa
berhembus lega. Suasana horor yang pastinya sangat mencekam itu telah usai. Aku
menghadap kebelakang sekedar memastikan keaadaan. “Hei, Eltsa!” Uswa menegurku
ketika aku sedang fokus meninjaui seisi kelas. Aku hanya mengangkat alis, malas
menanggapinya yang memang banyak bicara. “coba perhatikan Adin, dari tadi dia
tidur dibelakang. Kesel ngeliatnya, huufft!” dia mendengus kesal sembari
berjalan, menggesekkan dua alas sepatunya pada lantai berbahan dasar keramik
itu.
Dia menuju
bangku terbelakang, menghampiri Adin yang tertidur pulas. “Din bangun! Kamu
sudah tidur dari tadi lho. Sadar diri dong, kamu itu ada di kelas pilihan
dengan orang-orang pilihan juga!” Uswa geram, pukulannya pada bangku Adin
menghasilkan dentuman keras. Seketika Adin bangkit, dia terjaga dari tidurnya.
“Mau kamu apa hah? Disini semuanya sama, aku sekolah juga bayar!” Suara Adin
naik beroktav-oktav, mengalahkan dentuman keras yang dihasilkan Uswa tadi. Aku
bahkan berdiri tegang, reflek atas kejadian itu. Aku tahu dia sangat marah,
wajah putihnya memerah. Kemudian ia pergi meninggalkan kelas. Suara sepatunya
yang bergema di koridor sekolah mulai menghilang perlahan. Beberapa anak di
kelas nampak mengelus dada. Beberapa juga ada yang masih takut untuk berbicara,
sepasang bola mata mereka tak berkedip. Aku duduk kembali, mengambil posisi
paling nyaman. Dia benar-benar tak kembali sampai akhir pelajaran hari ini di
tutup.
Alam
kembali menangis menghasilkan cipratan sejuk dengan setitik kecil noda
mengotori putihnya lantai musholla. Angin meraung-raung melengkapi derasnya
hujan di sore hari ini. Terdengar bising suara dari dalam kamar, mencoba
menyelamatkan alas kaki yang hanyut dibawa derasnya arus. Aku hanya terdiam
tenang karena sandalku sudah berada di tempat yang aman. Kutoleh dia yang ada
di hadapanku. Dia terbahak-bahak menonton kawannya yang ramai memunguti
sandalnya masing-masing. Aku menangkap percakapannya dengan Arin. “Din kok
malah tertawa? Sandalmu nggak hanyut?” tanya Arin. “Hahaha… sudah hanyut dari
tadi,” aku terkekeh geli mendengar jawabannya. Seketika hujan mereda, dia kembali ke kamar membawa sisa-sisa tawanya.
Tak sesuai
harapan, diniah tidak diliburkan. Para santri mengeluarkan lontaran-lontaran
kekecewaan. Beranjaklah aku memasuki kelas sambil menggendong beberapa kitab.
Kelasku sunyi tak sebising kelas lainnya. Namun, kemudian pecah kesunyian kelas
berkat Adin memasuki kelas mengagetkan kita semua. Wajahnya terlihat begitu
santai. Poninya keluar di atas jidat, kancing bajunya tak dikenakan, kitab yang
ia bawa seperti telah digunakan berpuluh-puluh tahun, dia hanya memakai bawahan
sarung rombeng yang lebih pantas dibuat keset daripada sarung. Dia memang
pantas di sebut preman pondok. Yang lainnya nampak tak terima mereka mencaci
dibelakang, dan sibuk menilai. Yang dicaci
hanya berleha-leha, sembari meletakkan kepala di dampar (meja panjang
untuk mengaji) dibarisan paling belakang, tanpa merasa bersalah maupun risih
sedikitpun.
Aku tahu
persis sebagian besar santri di kelas unggulan ini sangat membenci Adin yang
memang jauh berbeda dari mereka. Tak lama kemudian ustadzah datang mengucapkan
salam dan disambut ramah oleh kawan-kawanku. Raut muka ustadzah seketika geram
melihat kelakuan Adin yang nampak terlelap. Ustadzahpun memanggil Adin dengan
nada suara tinggi. Sontak dia langsung terbangun, lantas disuruhnya ia berdiri.
“Adin!! Perlu saya sebutkan pelanggaran kamu di depan teman-temanmu? Waktumu
hanya seminggu lagi untuk berubah, sementara ujian akan segera dilaksanakan,”
Adin hanya menunduk, baru kali ini aku lihat wajah bersalahnya sementara yang
lain, memandang dengan tatapan-tatapan menyakitkan.
Bulu kuduk
seakan ingin berlari, dinginnya malam menembus selimut merah gelap yang
kukenakan. Ruangan musholla yang terbuka ini benar-benar membawa hawa tak
mengenakkan badan. Lantas aku terbangun untuk sekedar ke kamar mandi. Cahaya
lampu nampak menerangi kamar Annisa 8. Sedang kamar yang lain gelap gulita. Ku
tengok sekejab, seperti malam-malam sebelumnya, Adin terjaga dari tidurnya,
menyempatkan waktu bersama setumpuk kitab yang ia baca dan coba pahami. Tak
heran jika ia telah menamatkan hafalan nadhom alfiyahnya yang berjumlah 1002
melampaui anak paling brilian di kelasku. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Kemudian kulanjutkan langkah ke kamar mandi. Tak lama setelahnya, aku kembali
dari kamar mandi. Lagi-lagi aku mengarahkan pandanganku ke kamar Annisa 8.
Namun Adin tak kutemui di dalam kamarnya. Tumpukan kitab yang ia baca tadi
berserakan di lantai, lantas aku alihkan pandangan menuju musholla. Di situlah
dia kudapati. Di tengah-tengah santri yang tengah terlelap, merangkai ribuan
mimpi. Dia nampak anggun, duduk di atas sajadahnya mengenakan mukenah berwarna
putih tulang. Aku tahu dia tengah berdoa, memanjatkan hajat sedalam-dalamnya.
Beberapa
waktu berselang, hasil ujian yang ditempuh selama seminggu itu tengah di
umumkan. Jantungku berdetak kencang, takut akan kegagalan yang tak akan sanggup
kuterima. Di papan Mading terpampang lima lembar kertas yang berisi nilai dari
hasil ujian. Di kerumunan para santri aku berusaha menerobos, mencari namaku.
Namun, siapa sangka aku malah menemukan nama “Adinda Nur Zamani” menempati
posisi sepuluh besar. Hampir semua mulut kawan-kawan kelasku menganga lebar.
Mereka terkejut tak percaya. Sesekali mereka mencubit pergelangan tangannya
sendiri. Apalah jadi, lagi-lagi mereka mencemooh. Sempat geram namun bisa
kukontrol emosiku. “Hei!! Bisakah kaliah berhenti memandang sebelah mata?
Sementara ketika kalian terlelap, dia terjaga ditengah malam untuk berusaha
melampaui kalian, hajatnya telah tertera pada semesta,” mereka tercengang dan
bungkam seketika. Aku lantas berlalu meninggalkan mereka yang masih tak
percaya.
____________________
Cerpen Mored: Percaya
Reviewed by takanta
on
Februari 08, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar