Ketemu Mas Menteri di Warung Kopi
Ada
guru yang sabar, berusaha menahan-nahan sebab sadar pada pundaknyalah kecemerlangan
manusia Indonesia dipertaruhkan, ujug-ujug malah jadi korban kekerasan. Ada
yang tak tahan, menjewer kuping para bengal dan sudah pasti berujung tersangka.
Keduanya sama-sama repot, tapi jadi murid pun tak kalah repot. Pendiam merenungi
semesta dituduh tak aktif, kritis betulan dicap ngelunjak, kadang sok
tahu. Tak sekolah saja? O, itu lebih repot, artinya mengingkari visi SDM unggul
yang tengah digaungkan, tak sesuai arah langkah menjinjing Indonesia menuju
masa cemerlang yang entah.
“Segala
kekerasan di sekolah itu, Yok,” kata seorang teman yang tak mau disebutkan
namanya kepada saya, ketika ngobrol di Warung Kopi Anti Mumet, barat pabrik
tahu cap nggak, “sebab pendidikan agama cuma diajarkan secara tekstual, menghafal.”
Saya manggut-manggut sambil bergumam hmmm agak panjang. Teman yang lain,
“Sastra. Sastra nggak diajarkan secara serius. Fungsi indah dan bergunanya
nggak ditanamkan.” Habis agama, sastra pun kena. “Palingan sastra itu begini,
puisi aku adalah gubahan a. Chairil, b. Anwar, c. Binatang jalang, d. Chairil
Anwar si Binatang Jalang, e. Fiersa Besari. Sudah begitu soalnya, eh, masih ada
yang jawab e. Padahal,” teman saya ambil jeda, mencomot pisang goreng dan
mengirimnya untuk dididik di sekolah dasar mulut. “Padahal sastra kadang punya
nilai religi, kepahlawanan, kemanusiaan, moral, dan banyak lagi yang kalau
sampai diresapi bisa membentuk watak manusia.” Saya tak mendengar betul, pisang
gorengnya kelihatan enak.
“Lha,
bagaimana murid-muridnya mau santu(y)n,” teman saya yang lain; yang sedang asik
dimainkan game telepon pintar, yang tidak perlu sekolah sudah pintar, agaknya
perlu menimpali, “Yang di atas baku hantam terus kerjanya. Politik ribut;
kongres partai udah kayak MMA.” Betul juga, pemimpinnya hobi berantem, lha,
masyarakat wabil-khusus
murid-murid kenapa enggak?
“Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari,” teman saya yang lagi mengaduk kopi cap
anti mumet mengeluarkan jurus kebijaksanaannya, yang sebetulnya tidak bijak-bijak
amat, “Pemimpinnya malah sibuk berantem, gaji guru honorer yang seupil nggak
diurusin, mau menterinya anak muda kek, anak tua, rektor luar negeri, luar
angkasa nggak bakal klir kalau nggak ada perombakan radikal. Eh, anjir,
kemanisan!”
Sruuuttt
...
*
Problem
pendidikan teramat kompleks, sakitnya dari hulu ke hilir. Bikin nyut-nyut
banyak kepala. Kurikulum yang berjarak dari realitas; menyebabkan pendidikan
tak kontekstual; menihilkan kritisisme anak akan tanggung jawab dan
penyelesaian masalah di lingkungan sekitar. Belum penyebaran tenaga pendidik, insentifnya,
sistem pengangkatan yang semrawut, korupsi bantuan operasional, sampai
arah pendidikan yang bau-baunya tak lebih sekadar menyiapkan keperluan
perusahaan. Pendidikan tanpa kebudayaan. Kebudayaan lebih suka dijual buat tontonan
turis-turis. Salah siapa? Lebih enak disebut tak ada meski sebetulnya kalau
dirunut, ya, ada. Membangun sistem dan konsep pendidikan artinya membangun
manusia, menyiapkan generasi-generasi emas yang bakal membawa Indonesia menuju
senyum Soekarno, Hatta, dan arwah pejuang dan leluhur bangsa. Hanya seringkali
problem fundamentalnya dibiarkan lewat begitu saja. Misalnya, ambillah minat
membaca yang sudah keluar kajian begitu banyak, Indonesia tersungkur
terseok-seok, penyelesaiannya? Cukup sosialisasi, sosialisasi terus pokoknya
sosialisasi. Nggak peduli harga buku mahal, sampai muncul peluang pembajakan
dan sampai kini subur-subur saja, tanpa penindakan dan regulasi yang jelas.
*
“Kalau
gitu,” giliran saya, yang tetap nyut-nyut meski sudah nyeruput kopi cap
anti mumet, “kalau gitu pendidikan kita bakal terus begini-begini saja meski
orientasi presiden Joko ... wi ...”
Tiba-tiba
seorang pemuda ganteng berkacamata berhidung mancung mirip orang keturunan
timteng masuk, sama pesan kopi cap anti mumet, kemudian merebahkan punggungnya ke
dinding, matanya merem, menarik napasnya dalam-dalam, kelihatan seperti orang benar-benar-benar
mumet. Teman saya, si bijak yang sebetulnya tidak bijak-bijak amat,
ndoel-ndoel lengan saya sambil menunjuk ke arah pemuda ganteng mumet dengan
matanya.
Saya
tahu, saya paham, itu Mas Menteri, kelihatannya lagi mumet dan butuh kopi cap
anti mumet demi memikirkan arah pendidikan anak bangsa yang ternyata, tidak semulus
slogan mantan perusahaannya, selalu ada jalan ... Saya
ingin tanya lebih enak mana jadi menteri atau bos tapi urung, kopi anti
mumetnya langsung ditenggak habis panas-panas, beliau ini asli mumet, batin
saya, asli. Saya tak mau mengganggu. (*)
Atribusi
Penulis:
HaryoPamungkas, Mahasiswa Fakultas Kesepian Universitas Kenangan. Nongkrong di
@haryokpam; pakujatuh@gnail.com
Ketemu Mas Menteri di Warung Kopi
Reviewed by takanta
on
Februari 15, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar