Menyiapkan Generasi yang Hebat
Oleh:
Bayu Dewo Ismadevi
Katanya, keberhasilan
dan kesuksesan junior tergantung seberapa besar dan seberapa hebat senior
mangasah dan mengasuh kompetensi juniornya! So, apakah kita termasuk di antaranya?
.
Lepas
jabatan atau lebih tepatnya lepas beban adalah hal yang paling dinanti-nanti
oleh para senior. Sedangkan sebaliknya, adalah hal yang paling ditakutkan oleh
para junior. kok gitu? Ya, karena dengan
berakhirnya jabatan atau beban para senior-senior dapat leluasa bergerak kesana
kemari tanpa harus terikat aturan yang ditangguhkan.
Sebaliknya,
adalah tantangan dan zona baru bagi para junior. Junior harus dapat mebuktikan
kemampuannya selangkah lebih maju atau beribu-ribu langkah lebih maju dibanding para seniornya. Tentu
berat bukan? Tapi, itu sesuatu keniscayaan yang tak dapat kita elakkan.
Terutama, bagi para pegiat organisasi.
Saya
tidak mengamini dan mengimani seratus persen statement di atas meski, saya sendiri yang berujar.
Karena, tidak menutup kemungkinan juga akan terlahir junior-junior yang lebih
buruk bahkan, super buruk daripada seniornya.
Juga, nantinya para junior-junior seperti itu yang akan menjadi biang
kemerosotan suatu organisasi. Sungguh? Sungguh.
Lantas
bagaimana menyikapinya? apakah kita harus menyalahkan para junior itu? atau
para senior yang gagal total mencetak junior berkualitas? Tentu saja tidak,
kita tak bisa sekonyol itu memvonis siapa dan apa yang salah. Dan bagaimana
cara berusaha membuat junior berkualitas?.
Jawabannya? Mari kita dudukkan
bersama permasalahan ini dan kupas tuntas fenomena yang terjadi. Tanpa harus
berjibaku, bersitegang, beradu mulut, atau beradu sudut pandang yang akhirnya
akan berujung sakit hati dan sakit diri diantara kedua pihak.
Ada
dua kemungkinan yang patut kita cermati:
Pertama-tama,
saya akan memulai dari konteks junior karena, galibnya junior menjadi bagan
pertama yang disalahkan jika dihadapkan dengan permasalah senior. "Junior adalah insan yang selalu salah,
sebaliknya senior adalah insan yang selalu benar," mungkin pernyataan ini sudah
tak asing lagi di telinga
kita. Apalagi bagi mereka yang memang getol berorganisasi.
Di
manapun kita tidak pernah menemukan kebenaran yang diciptakan oleh junior walaupun
sejatinya itu benar sebaliknya, kita tak pernah menemukan kesalahan pada senior
walaupun sejatinya itu salah. Terkesan tidak adil sich. Bagaimana lagi, kendati itu sudah merupakan aturan alam.
Namun,
ada hal yang cukup menarik bahkan teramat menarik di balik kisah menyedihkan
dari sosok junior. Semakin pahit dan sedemikian bebal proses yang dienyam oleh
para junior maka semakin besar potensi mereka untuk melangkah menjadi senior
yang hebat bahkan super duper hebat tenimbang seniornya.
Begitu
juga sebaliknya, jika semakin kecil daya dan upaya junior dalam menghadapi
prosesnya, maka semakin kecil pula potensi mereka untuk menyaingi bahkan untuk
mengimbangi saja itu bisa dibilang
mustahil. Sejenak saya menyinggung penuturan Mark Manson dalam bukunya "Seni
untuk Bersikap Bodo
Amat": pengalaman positif adalah pengalaman negatif, juga, pengalaman negatif
adalah pengalaman positif.
Logikanya
begini, siapa saja yang mengutamakan pengalaman positif artinya mendewakan
kesenangan dan kenyamanan sejak dini maka barang tentu hal itu akan berujung
pada pengalaman negatif atau bahasa kerennya menuju "ke-ambyaran", pun begitu juga
sebaliknya. Hemat saya hal itu juga sangat berlaku pada dinamika berproses
junior menuju senior.
Artinya,
terlahirnya junior yang lebih borok dibanding seniornya. Adalah hasil yang
buruk daripada proses yang buruk. Junior yang mengedepankan ego, kesenangan,
kenyamanan, dan segala bentuk produk hedonisme akan terlahir menjadi junior
yang gagal bertransformasi dan ujungnya pasti "ambyar".
Terlepas
dari pembahasan yang melelahkan tentang junior. Mari kita beralih kepembahasan
yang lebih tinggi lagi menuju pembahasan sosok senior. Namun, dalam hal ini
saya mencoba semoderat mungkin untuk mengkaji lebih luwes tentang sosok senior
yang ideal tanpa mengedepankan konsep lumrah tentang senior (konsep;senior
selalu benar).
Dalam
hal ini, hemat saya senior yang ideal adalah senior yang dapat memberikan
edukasi dan pembelajaran yang bermutu bagi juniornya. Bukan senior yang hobi
mendaku-daku sebagai insan intelektual dan terpelajar tenimbang juniornya. Dan
hal itu yang sering kita temukan dipelbagai elemen organisasi dewasa ini.
Edukasi
dan pembelajaran yang diwarisi oleh senior merupakan komponen penting utuk
mencetak kader-kader junior yang "mapan". Maka saya anjurkan untuk
para senior agar lebih berhati-hati dalam meberi asupan yang baik dan berkualitas terhadap edukasi dan media
pembelajaran junior. Sebab, jika sudah salah melangkah jangan salahkan siapa, jika
junior yang anda didik (termasuk junior yang dididik penulis) menjadi
"penyakit" tersendiri bagi organisasi yang kita ayomi.
Senior
yang baik juga harus menjadi panutan dan suri tauladan yang apik bagi
juniornya. Seluruh laku yang dilakukan senior tak terlepas dari pantauan juniornya.
Junior adalah pemerhati yang cakap dan hebat. Maka tak ayal, jika laku
buruk yang dilakukan junior tak jauh
beda dengan laku yang pernah dilakukan senior. So, waspadalah!
Serta
dari situlah saya dan pembaca budiman, dapat menarik benang merah, untuk membuat generasi atau junior
yang kapabil haruslah disokong oleh kerja sama yang erat antara junior dan
senior untuk menciptakan iklim berproses yang kondusif serta efisien untuk masa
depan cerah suatu organisasi. Jadi, Organisasi hebat berawal dari senior-junior
yang hebat. Dan terakhir, sudahkan anda, saya, dan kita semua diantaranya?
Santri PP. Nurul Jadid
Alamat: Bondowoso
IG:bayudewo06
Menyiapkan Generasi yang Hebat
Reviewed by takanta
on
Februari 15, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar