Terapi di Warung Kopi
Dalam
beberapa kasus, media sosial bisa begitu berisik. Kasus paling mencolok: saat
pilpres lalu. Bahkan mungkin sisa-sisa kelahi dua golongan masih berlanjut
hingga kini. Dan itu, sejujurnya agak menyebalkan, meskipun saya insyaf berekspresi
di media sosial merupakan hak bagi penggunanya. Manusia berekspresi di media
sosial; menunjukkan rupa-rupa wajah—dan saya teringat Rahwana. Sang Raksasa
Rahwana memiliki 10 muka, manusia di media sosial barangkali lebih dari
sepuluh. Rahwana bertapa, memenggal satu per satu kepalanya, manusia di media
sosial sebaliknya: semakin ia bertapa di ruang maya, semakin rupa-rupa
wajahnya, karakternya. Peduli apa etiket?
Rupa-rupa
wajah di ruang maya itu bahkan kadangkala bertolak belakang dengan wajah
aslinya di dunia nyata. Betapa, sudah banyak kasus, seseorang dengan mudah
menghujat begini begitu, sangat galak di media sosial namun ketika ditemui
secara langsung, baik dengan bantuan aparat maupun tidak, menangis tersedu
kemudian menyesal. Terbaru kasus yang menyangkut walikota Surabaya, kasus bullying
anak seorang artis, dan banyak lagi. Komunikasi sosial menjadi rontok,
serontok-rontoknya. Hingga pada titik tertentu, ketika keberisikan itu sudah
menjamur dan sulit dikendalikan, mengambil jarak dari ruang maya agaknya
menjadi puasa yang menyenangkan. Dan itu yang berusaha saya lakukan, meskipun
sangat sulit. Sebab ruang maya begitu menggoda. Heeh, sama menggodanya dengan assalamualaikum,
apa kabar, Mas? dari mantan yang entah bagaimana ceritanya, terlihat
semakin manis. Mau tak dijawab, dada ini rasanya gemuruh meletup-letup saking senengnya,
mau dijawab, eh kok takut cuma mau ngirim undangan.
Artinya
harus ada terapi tertentu dengan tujuan membantu saya move on
dari gemerlapnya dunia media sosial, dan saya menjatuhkan pilihan pada warung
kopi pinggir jalan. Bukan semata kopinya murah, namun ia semacam replika media sosial—atau
justru media sosial adalah replikanya. Di media sosial ada interaksi, di warung
kopi pun demikian. Bahkan lebih bagus, menihilkan latarbelakang pendidikan,
ekonomi, dan sosial sekaligus tak ada itu damprat-dampratan. Tak ada goblok
kamu yang begitu mudah diucapkan, dan yang paling bagus: tidak perlu
ketar-ketir cemas ITE. Saya bisa mengobrol ngalor-ngidul tak
ketemu timur barat bersama tukang becak, punggawa ojek online, PNS bolos,
hingga pensiunan guru. O, betapa menyenangkannya! Semua tidak cuma berebut
untuk berbicara tapi juga khusyuk mendengarkan. Barangkali di media sosial itulah
berlaku, lagipula siapa yang masih sudi mendengar kata-kata di dunia ini,
Alina? Meskipun itu ditulis Sukab dengan surat, bukan WhatsApp atau dinding
Facebook.
Siapa
yang masih sudi mendengar kata-kata? O, masih ada, itu orang-orang di warung
kopi, yang kebetulan juga asing dengan dunia media sosial.
Pergeseran
fungsi
Lama
saya coba menyimpulkan, apakah penambahan fungsi media sosial yang sebelumnya
sekadar interaksi, dan kini merembet-rembet menjadi ruang ekspresi pemikiran
bahkan jualan itu baik atau tidak. Namun sejauh apa saya coba, toh,
faktanya itu sudah terjadi dan semakin berkembang. Maka lebih baik memaklumi
positif dan negatifnya. Yang positif diterima, yang negatif, diterima juga,
setidaknya sebagai pembelajaran buat diri sendiri. Hehe bijak ya? Enggak ini
sok-sokan aja hihi.
Satu
hal yang saya catat, tak seperti di ruang maya, obrolan-obrolan di warung kopi
cair-cair saja meskipun beda pilihan politik, sah-sah saja meskipun “tidak
berdasarkan data”. Sebab saya kira, masing-masing bukan hendak memaksakan
kebenaran, menunjukkan kepintaran, atau keyakinan, murni obrolan bumbu
berinteraksi sebagai sesama makhluk Tuhan yang sadar bahwa pagi lebih oke jika
dimulai dengan obrolan ringan dan secangkir kopi penyegar pikiran sempit.
Alhasil
interaksi membuahkan obrolan yang menyenangkan dan menyegarkan; kita bisa
tertawa cekikikan bersama, ngerasani
bupati, presiden begini begitu tanpa takut ITE, bahkan secara jamaah
mengeluh tentang hidup sekaligus cerita pengalaman berharga dan perjuangan
menantang nasib.
Akhirnya
saya sering membayangkan: apakah debat-debat berbusa di ruang maya itu buah
kerinduan terhadap interaksi langsung, yang semakin hari semakin jarang? Sebelum
ruang maya begitu digemari seperti sekarang, mayoritas interaksi dilakukan
secara langsung. Dan, itu adalah masa-masa ketika warung kopi pinggiran berjaya
sekaligus menjadi tempat pertukaran informasi. Tidak perlu repot-repot
memastikan itu berita bohong atau tidak, poinnya tidak mengarah ke sana. Ini
beda dengan interaksi ruang maya di mana satu-satunya kelebihan adalah dilakukan secara tidak langsung. Kita
bebas mendamprat omongan orang, bebas menghakimi, dan dengan gaya sok tahu
bicara begini begitu. Berani-berani saja sebab yang didamprat barangkali
berjarak berkilo-kilo nun jauh di entah. Beranikah kita begitu, misalnya
mendamprat secara langsung lawan bicara di warung kopi pinggiran sebab beda
keyakinan dan pilihan politik tertentu? Silakan saja kalau mau diguyur kopi
panas dan dijejali pisang goreng itu mulut.
Banyak
hal bisa terjadi di warung kopi pinggiran. Banyak sekali. Namun, tetap, semoga
saya tidak berlebihan memuja warung kopi pinggiran. (*)
Atribusi
Penulis:
HaryoPamungkas, mahasiswa Program Studi Ilmu
dan Teori Air Mata, Fakultas Kesepian Universitas Kenangan.
Terapi di Warung Kopi
Reviewed by takanta
on
Februari 29, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar