Cerpen: Aku Pulang, Bu!
Oleh: HarishulMu’minin
Malam mulai merangkak menuju wujud
sempurnanya. Gerimis turun dari rahim cakrawala. Bulan yang semula bersinar
pucat, kini sinarnya sudah tertutup awan dan tak lagi kelihatan, pun juga
kerlip gemintang. Angin berembus pelan, menyelusup lewat celah jendela
indekos Ardillah. Ia duduk di
atas kasur. Pandangannya diarahkan keluar, melihat tetes demi tetes air yang
mulai membasahi tanah.
Genap satu tahun Ardillah tidak
pulang ke desa Dapenda—tanah kelahirannya. Dan sudah genap satu tahun pula ia
tak memberi kabar kepada ibunya di desa. Terakhir kali ia menghubungi ibunya
saat beberapa bulan ketika sudah berada di kota Yogyakarta.
Ardillah teringat perkataannya saat
akan baru berangkat dari desa, bahwa: ia akan memberi kabar kepada ibunya
setiap enam bulan sekali. Tapi kenyataanya tidak, dikarenakan ia sedang sibuk kuliah
dan bekerja, pun ia tidak memiliki nomor telepon ibunya selepas telepon lamanya
hilang.
Ia bekerja sebagai tukang ojek online (Gojek) di sebuah perusahaan
teknologi di Negeri ini. Namun, Ardillah tidak bekerja setiap hari, pekerjaanya
terjadwal. Bila tak
ada jam kuliah ia narik. Bila ada, ia tidak narik.
Saat ini Ardillah sedang menikmati libur
kampus. Pekerjaanya pun ia liburkan sendiri sampai akhir bulan. Entah mengapa
ia meliburkan pekerjaannya. Tetapi akunnya disewakan kepada temannya.
Untung-untung ia bisa mendapatkan uang walaupun tidak narik sendiri.
Terbesit dalam benak Ardillah untuk
pulang. Ia ingin menghabiskan waktu liburnya di desa. Ia sudah teramat rindu kepada ibunya, juga
tanah kelahirannya. Maka, Ardillah pun memikirkan kapan ia akan pulang.
Agak lama Ardillah berpikir, ia
mengambil keputusan untuk pulang besok pagi. Tak mungkin ia pulang sekarang
karena sudah larut malam. Ia beranjak dari kasur, melangkah menuju lemarinya: mengambil
sebagian baju-baju untuk dibereskan ke dalam sebuah koper. Tak lupa, mukena
yang baru ia beli untuk ibunya juga dimasukkan. Memang dari dulu Ardillah ingin
sekali membelikan mukena baru untuk ibunya, dan baru sekarang keinginannya
tercapai. Setelah semuanya beres, Ardillah kemudian memesan—via telepon—tiket bus untuk kepulangannya besok.
Di luar, hujan turun sangat lebat, disertai
kilatan dan guntur. Ardillah teringat suatu waktu, kala ia masih kanak-kanak, di mana ia sering
menutup kuping bila ada kilatan dari langit. Juga, ia akan memeluk ibunya bila mendengar
suara guntur.
Sungguh masa kanak-kanak adalah suatu
nostalgia yang penuh ironi dan disesaki banyak kenangan indah. Ya, bagi Ardillah, kepungan masa lalu telah menjadi tali
yang mengikat gerak kehidupan. Mungkin sejarah tidak pernah ada andai semua
orang di masa tuanya mengalami amnesia. Andai aku diberi kesempatan untuk
mengulangi masa kanak-kanak, aku akan mengulanginya lagi, dan pastinya akan sangat
bahagia sekali, gumam Ardillah sembari mengkhayal.
Lamunan Ardillah buyar ketika
tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya. Lampu di dalam kamarnya ia matikan. Pintu
dan jendela dikunci. Kemudian tubuh Ardillah ambruk di atas kasur.
Matahari mulai menyingsing di ufuk
timur. Sinar keemas-emasannya membuat mata silau bila memandangnya. Ardillah
sudah bangun sejak tadi subuh. Ia sedang mempersiapkan segala keperluan untuk dibawa pulang.
Sesaat setelah selesai berkemas, ia langsung
menuju rumah pemilik kos. Jarak rumahnya tak terlalu jauh dari indekosnya.
Sambil menjinjing sebuah koper, Ardillah berjalan dengan langkah santai. Ia
menikmati nuansa pagi yang begitu indah.
Di atas pohon mangga, Ardillah
melihat burung-burung yang sedang berjemur. Burung-burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan menggerakkan-gerakkan tubuhnya. Lalu,
Burung-burung itu berkicau satu-satu, berkicau sahut-menyahut, berkicau
susul-menyusul. Ardillah menikmati kicau itu. Ia juga melihat kupu-kupu yang
hinggap di bunga. Sesekali lebah datang, menghampiri kupu-kupu yang sedang
mengisap sari bunga.
Tak terasa Ardillah sudah sampai. Ia
berdiri di mulut pintu rumah pemilik kos, kemudian
mengetok pintu dan mengucapkan salam. Tak lama berselang, engsel pintu
berderit, pintu terbuka, dan
pemilik kos keluar.
“Ardillah!?”
“Iya, Bu.”
“Tumben kamu ke sini? Eh, sebentar,
pakaianmu rapi, terus bawa koper, mau ke mana kamu?”
“Ini, Bu, Ardillah mau pamit. Hari
ini Ardillah akan pulang ke desa.”
“O, mau pulang ternyata. Ya sudah,
hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan.”
“Iya, Bu, terima kasih.”
“Nggeh,
iya. Eh, jangan lupa sampaikan salam Ibu ke orangtuamu di desa.”
“Iya, Bu, pasti!”
Ardillah menyalami tangan pemilik
kos, mengucapkan salam dan berjalan menuju jalan raya. Ardillah mempercepat
langkahnya. Ia sudah tak sabar ingin lekas-lekas sampai.
Di pinggir jalan, Ardillah tak
melihat tukang ojek. Hanya becak dan dokar yang berlalu-lalang. Ia sadar kalau
saat itu masih pagi sekali. Ardillah kemudian beringsut ke seberang jalan. Tak
lama setelahnya, ia melihat satu pengendara ojek. Langsung ia
melambai-lambaikan tangan. Lantas, tukang ojek tersebut berhenti.
“Ke mana?” tanya tukang
ojek.
“Ke Terminal Giwangan, Pak.”
“O, Baik. Mari naik.”
“Agak cepat, ya, Pak. Soalnya sudah
hampir jam pemberangkatan bus yang saya pesan.”
Tukang ojek itu hanya mengagguk.
Mesin motor si tukang ojek menderu.
Dengan cepat ia membawa penumpangnya. Ardillah merasa dirinya adalah pelanggan
pertama dari ojek itu. Dari kaca spion, terlihat raut wajah si tukang ojek
tampak bahagia. Ia tak henti-henti tersenyum sepanjang perjalanan.
Sekitar seperempat jam, Ardillah
sudah sampai di terminal Giwangan. Setelah
membayar, ia mendatangi orang yang bertugas melayani tiket pemberangkatan. Ia
harus mengantri beberapa menit untuk mendapatkan tiket tersebut.
Tiket sudah didapatkan. Ardillah
mencari nama bus yang tertera di dalam tiketnya. Hampir saja ia ditinggalkan,
karena bus yang akan ditumpanginya hendak berangkat. Beruntung Ardillah datang di waktu
yang tepat. Lantas ia langsung masuk dengan terburu-buru.
***
Selama perjalanan pulang, di dalam
bus, Ardillah duduk bersebelahan dengan seorang kakek. Ia begitu ramah terhadap
Ardillah. Sejak bus keluar
dari batas wilayah kota Yogyakarta, kakek itu terus mengajak Ardillah
mengobrol. Tutur kata yang digunakan kakek itu
sopan, membuat Ardillah nyaman meladeni obrolannya. Di sela-sela
obrolan, sesekali kakek itu melucu dan membuat Adillah tertawa.
Ardillah tiba-tiba teringat mendiang
kakeknya. Dulu, Saat ia berumur 8 tahun, kakeknya sering mendongenginya dengan
cerita-cerita yang lucu. Sering juga Ardillah ditakut-takuti bila ia hendak kencing, “Awas ada
wewegombel di kamar mandi.” Dan Ardillah
pun mengurungkan kehendaknya dan cepat berlari. Kakeknya tertawa terbahak-bahak
ketika melihat cucunya yang tergopoh-gopoh
ketakutan. Tapi kemudian ia mengantar Ardillah pergi ke kamar mandi karena
kasihan.
Setelah selesai kencing, Ardillah langsung berlari meninggalkan
kakeknya. Kemudian ia balik menakut-nakuti, “Awas, ada wewegombel di kamar mandi, Kek,” ucapnya dengan
suara yang kencang. Kakek Ardillah tersenyum sambil geleng-geleng kepala
melihat tingkah lucu cucunya.
Ardillah kembali mengobrol dengan
kakek di sebelahnya. Bus melaju pelan kemudian berhenti. Kakek di sebelah Ardillah
mengakhiri obrolannya.
“Akhirnya sudah sampai,” gumam kakek itu.
Sejenak Ardillah mengerutkan alis
dan melihat kakek itu mengambil tas
bawaannya.
“Sampai ke mana, Kek?” tanya Ardillah
polos.
“Ya, sampai ke rumah Kakek,” jawab
kakek itu sambil nyengir melihat wajah polos Ardillah. Kemudian ia menggendong
tasnya.
“Siapa namamu tadi, Nak?”
“Ardillah, Kek.”
“O, iya, lupa Kakek. Maklum, sudah
tua. Nak Ardillah, Kakek duluan, ya. Semoga Nak Ardillah selamat sampai
tujuan.”
“Iya, Kek, terima kasih.”
Kakek itu berjalan ke depan menuju
pintu, kemudian keluar. Bus melaju lagi. Ardillah merasa kesepian dengan
turunnya kakek tadi. Sudah tidak ada lagi yang mengajaknya ngobrol. Sudah tidak
ada lagi yang membuat ia tertawa selama perjalanan. Ada sesuatu yang terasa mengganjil
dalam hatinya.
“Walah, iya, Aku lupa menanyakan
nama Kakek itu,” gumam Ardillah sambil menepuk dahinya.
Bus melaju kencang melewati jalan
tol. Jalanan sudah mulai ramai pengendara. Ardillah menyandarkan bahunya ke
dada kursi. AC membuat badannya kedinginan. Kernet sedang menagih uang ke
setiap penumpang. Musik dangdut tak henti-hentinya mengalun, membuat kernet itu
menggoyangkan sedikit pinggulnya sambil menerima uang. Mulutnya terlihat ikut
bernyanyi. Tapi Ardillah tidak tahu judul musik dangdut itu. Mugkin hanya sopir
dan kernet bus ini yang tahu judulnya, pikir Ardillah.
Beberapa lembar uang Ardillah berikan
kepada kernet. Selepas itu ia membenarkan posisi duduk. Bersandar lagi. Kemudian
memejamkan mata. Sesekali kepalanya terjedot ke kaca jendela saat bus melewati
jalanan berlubang. Matanya terbuka. Tapi kemudian dipejamkan lagi.
***
Matahari sudah condong ke arah barat.
Tak terasa Ardillah sudah sampai. Sambil mengucek-ucek matanya, ia turun dari
bus. Rasa pusing agak sedikit mengganggu kepalanya. Akhirnya, rindu dalam hati
ini pada tanah kelahiran sudah terobati, gumam Ardillah sambil menengadahkan
pandangannya ke cakrawala.
Sejenak Ardillah menghela napas,
kemudian berjalan pelan di atas tanah yang becek. Sepertinya sudah terjadi
hujan tadi malam, pikir Ardillah. Bila akan melewati jalan yang tergenang air,
Ardillah mengangkat kopernya dan berjalan dengan sangat hati-hati—takut terpeleset.
Ardillah mencium aroma petis yang
entah dari mana asalnya. Juga Ia melihat para nelayan yang pulang melaut. Di
tangan mereka terdapat beberapa ekor ikan. Ada juga yang ditemani istrinya.
Istri nelayan tersebut membantu menenteng ikan yang cukup banyak.
Apa yang saat ini Ardillah lihat,
merupakan pemandangan yang sudah biasa terjadi di tanah kelahirannya. Tapi tak
dapat dipungkiri, karena Ardillah merindukan pemandangan yang seperti itu.
Tetangganya banyak yang menjadi nelayan, pun mendiang ayah Ardillah sendiri.
Lagi-lagi ingatan Ardillah terlempar jauh menuju masa kanak-kanak. Ardillah
mempercepat langkahnya. Ia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan ibunya, untuk melepas
kerinduan yang selama ini sudah menggunung.
Selang beberapa menit, Aridillah
sampai di halaman rumahnya. Ia melihat asap yang mengepul di bagian belakang rumahnya.
Pasti ibu sedang memasak di dapur, pikir Ardillah. Lekas-lekas ia pergi ke
belakang rumah.
Benar saja, ibu Ardillah ada di
dapur. Mukanya dipenuhi banyak keringat dan memerah karena panas yang
dihasilkan oleh petis yang sedang dimasaknya.
“Ibu,” ucap Ardillah. Ibunya
menoleh. Tiba-tiba matanya terbelalak melihat kepulangan anaknya dari kota.
“Ardillah!?” jawab ibunya
seraya langsung berdiri.
Ardillah langsung mencium tangan
ibunya. Keduanya berpelukan saling melepas rindu. Terdengar isak tangis dari
ibu Ardillah. Tampaknya rasa rindu dalam hatinya melebihi rasa rindu yang ada
dalam hati Adillah.
“Kamu, kok, tidak bilang-bilang mau
pulang, Nak?”
“Iya, Bu, soalnya telepon lama
Ardillah hilang.”
“Pantesan kamu tak ada
kabar, Nak.”
“Ardillah minta maaf, Bu. Ibu mau
kan memaafkan Ardillah?”
“Iya, Nak. Jauh-jauh hari Ibu sudah
memaafkan kamu, Nak!”
“Ibu tidak marah?”
“Tidak, Nak.”
Ardillah semakin mengeratkan
pelukannya. Kerinduan yang menggunug di hatinya, kini sudah hancur dan rata—terobati.
Dan ia baru menyadari, bahwa tanah kelahiran adalah ibu yang selalu ramah dan
terbuka haribaannya. Tanah kelahiran adalah ibu yang tak pernah menolak
kedatangan anaknya. Air mata Ardillah tiba-tiba tumpah dan membanjiri pipinya. (*)
Harishul Mu’minin, kelahiran Sumenep 12 Mei 2001. Anak dari seorang Nelayan di Pulau Garam.
Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Sekarang bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.
Cerpen: Aku Pulang, Bu!
Reviewed by takanta
on
Maret 22, 2020
Rating: 5
Tidak ada komentar